Tiga Puluh

38.7K 2.3K 74
                                        

"Sebenarnya Mas Alvin dan Hilya ke mana ya, kok udah jam segini belum pulang juga padahal tempat jualan rujak kan nggak terlalu jauh dari sini."

Melati tinggal sendirian di dalam rumah sedangkan di luar ada satu satpam. Bik Yani pamit pulang kampung untuk menemani ibunya yang tengah sakit dan tidak tahu kapan akan balik ke sini lagi. Sudah tiga hari Melati dan Alvin tidak memakai jasa pembantu. Urusan rumah mereka kerjakan bersama dengan Alvin yang ikut turun tangan ke dapur juga mengepel lantai dibantu Hilya. Capek tapi ada rasa bahagia bagi mereka saat mengerjakan kerjaan rumah ditambah mengurus Hilya.

"Ya ampun kenapa aku sampe nggak kepikiran untuk coba telpon aja. Kita ambil hp Bunda dulu ya Nak. Bunda coba telpon ayah," kata Melati pada calon bayinya.

Sampai di kamar, meja samping tempat tidur menjadi tujuan untuk Melati karena itu tempat ia menaruh ponsel. Dengan cepat tangannya meraih gawai dan mencari kontak Suaminya, mengutak-atik sebentar dan Melati meletakkan ponsel pada telinga kanannya.

Detik berikutnya dahi Melati mengernyit saat panggilannya pada ponsel sang suami tidak kunjung ada tanggapan. Tiba dipanggilan ke 12 Melati merasa jengah dan mematikan ponsel.

"Telpon aku nggak diangkat. Ini maksudnya apa sih? Mas Alvin kenapa jadi nyebelin gini coba."

Omelan demi omelan terus keluar dari bibir Melati. Sesekali juga ia melihat jam tangannya yang semakin menunjukkan waktu sudah benar-benar malam.

"Kalau tahu bakal kayak gini lebih baik aku nggak usah minta dicarikan rujak aja tadi. Mas Alvin, kamu di mana sih? Anggap aku ini istri nggak? Kok nggak ada satu pun pesan."

Melati mendudukkan dirinya di atas tempat tidur. Moodnya yang memang kurang baik semakin hancur akan hal ini. Akhirnya menangis menjadi pilihannya untuk menyalurkan segala rasa yang bersarang di hati.

Beberapa menit ia terdiam dengan Isak tangis dalam kesendirian di dalam kamar, indra pendengarnya menangkap suara deru mobil milik sang suami di depan rumah. Alih-alih bangkit untuk keluar kamar menjemput Alvin, Melati malah mendiamkan saja.
Kecewanya pada Alvin bukan tidak beralasan kan? Istri mana yang tidak khawatir jika sang suami tidak ada kabar padahal ponselnya aktif. Mengundang curiga memang.

Melati mengusap pipinya dari air mata saat terdengar suara daun pintu yang dibuka dari luar. Itu pasti Alvin.

"Sayang, kok dari tadi aku panggil nggak nyahut sih? Kamu pasti dengar kan?"

Kosa kata untuk menyahut ucapan Alvin sudah sampai batas leher Melati, sebentar lagi akan sampai di lidah dan mungkin akan segera meluncur ke luar melalui terbukanya bibir tapi Melati memilih diam dengan bibir yang tetap ia kunci serapat mungkin.

Alvin menutup pintu dan melangkah mendekat pada tempat tidur. Melihat sang istri tidak menoleh sedikit pun membuat Alvin menahan langkah karena ingat jika tujuannya keluar rumah tadi sebenarnya untuk mencari rujak yang diinginkan sang istri.

"Ya ampun Alvin. Apa yang udah kamu lakukan...."

Setelah menghela panjang, Alvin kembali mengayunkan kakinya mendekati tempat tidur dan berdiri tepat di samping tempat tidur.

"Sayang."

Melati memejamkan mata mendengar suara Alvin. Susah payah ia mengatur emosi agar tidak meledak. Bagaimana pun ia harus mendengar Alvin, mungkin ada hal besar yang membuat Alvin tidak mengabari dan mengangkat teleponnya.

"Iya Mas?"

Deg.

Hati Alvin berdenyut nyeri mendengar suara serak khas habis menangis milik Melati. Melati menoleh dan mengukir senyum tipis pada Alvin.

"Ayahnya udah pulang, Nak. Adek nggak usah khawatir lagi ya," ujar Melati pada calon bayinya.

Lagi-lagi Alvin tersayat mendengar Melati. Rasa bersalah terus mengitarinya.

Melati bangun dari tempat tidur dan meraih tangan Alvin untuk ia kecup.

"Mas Alvin baik-baik aja kan? Aku khawatir soalnya telpon aku nggak diangkat terus," kata Melati.

Alvin menatap mata sang istri yang kini berair.

"Sayang...,"

"Rujaknya ada nggak? Aku sama adek udah nggak sabar pingin makan rujak," tanya Melati.

Alvin hanya diam dan tidak tahu harus menjawab apa.

"Ada di luar ya? Ya udah kita turun yuk. Ayah temanin Bunda makan rujaknya ya."

Alvin menggeleng saat Melati akan mengamit tangannya untuk keluar dari kamar. Istrinya yang mengerti raut wajah Alvin terdiam dengan tatapan yang tertuju pada sang suami.

Melati menyeka air matanya dan mengangguk pelan. Ia lepaskan tangannya dari tangan Alvin.

"Aku keluar ya. Air hangatnya udah aku siapin."

Tidak salah lagi, Melati tidak ingin mendengarnya.

"Sayang, aku jelasin....,"

Cekalan lembut Alvin pada tangannya, Melati lepas dengan lembut.

"Besok aja Mas. Emosi aku lagi sudah dikontrol. Takutnya kita malah berantem nanti. Ada baiknya aku keluar dulu...aku mau tenangin diri dulu."

Melati mengambil ponselnya.

"Malam ini aku tidur sama Hilya. Adeknya lagi ngambek sama Ayah... Bunda mau buat rujak sendiri di dapur. Makasih ya Ayah udah usaha cari rujak tapi mungkin bukan rezeki Bunda dan Adek jadi nggak ketemu ya."

Melati mengangkat tangannya saat melihat Alvin akan angkat bicara.
Ia tidak mau mendengar Alvin. Ada feeling yang membuatnya ragu untuk mendengar penjelasan sang suami. Melati tidak ingin menangis untuk malam ini.

Ia keluar dari kamar dan Alvin mematung di tempatnya. Ia bingung bagaimana cara menjelaskan pada sang istri tentang Gea. Alvin akan menghancurkan hati Melati jika ia beritahu tadi harus menolong Gea sehingga lupa dengan tujuan utamanya keluar rumah bersama Hilya.

"Maafin aku Sayang."

Ummi double up nih, yuk komen yang ramai❤️❤️❤️

Duda Anak satuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang