Tentang Senja Kita [Sebagian Puisi Dibukukan]

Oktavia Wijaya❤

Dengan susah payah aku memberi ikhlas pada hubungan yang menyebalkan serupa kita. Kuberikan semua bentuk dan jenis sabar di dalamnya. Semoga kalian berlayar sampai ke daratan yang di tuju.

Suatu hari berita datang dari botol bening yang terseret ombak tenang. Secuil kertas dengan tinta merah yang melambangkan kesakitan. Tidak. Ini tidak benar. Aku sudah belajar ikhlas sejauh ini, tapi kenapa?

Taburan bunga pertama menjadi simbol atas kepergian dia, yang tempo hari menjadi bincang dan tengkar diantara kami. Tualangnya telah tamat di muka bumi. Pelayarannya selesai tanpa kabar menyenangkan. Tuhan kembali memeluk erat atas jiwa raganya. Senja telah berpulang.

Tapi hidup tidak boleh sampai di situ. Kita masih hidup dengan akar-akar harapan sisa sebagai penopang. Kamu masih kugenggam di sini, jangan takut. Kita mampu menatap ujung lautan yang sepi cahaya itu. Mari bertahan untuk kata teman.

Lagi-lagi ombak sepi, daratan gersang, angin dingin, kamu menghilang. Hei! Harus berapa banyak lagi ikhlas yang aku bayar?! Apa untuk cinta dan sahabat masih kurang pembayarannya?!

Kuambil cangkul yang terpatri di atas tanah merah yang menggunung. Satu sampai tiga galian kuberi jeda. Air mata sudah tidak bisa lagi ku bendung, terlalu perih di sana. Mengantarkan kepergian terakhir untuk karib yang dijemput Tuhan dan senja. Aku akan baik-baik saja di sini. Sendirian.

Musim sudah meninggalkan jejaknya. Entah tahun keberapa pada abad ini, rasanya hampa. Aku berdiri di depan jendela tua dengan secangkir susu hangat di tangan. Meresapi aroma hujan pagi yang di rindukan dalam kenangan. Kalian abadi di sini, di dada sebelah kiri. Walau detaknya terkadang sunyi, sebab menahan sakit saat merindu berat.