Dion baru selesai mandi, ia masih menggunakan handuk yang melilit di pinggangnya, langsung mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru apartemen, mencari kekasihnya yang entah berada dimana sekarang. Setelah mencari keseluruh ruangan, akhirnya Dion dapat menemukan Ayra yang sedang terduduk di balkon.
"Ah, there you are! Aku kira kamu lagi di dapur By." Ucap Dion yang menghampiri Ayra sambil mengusap kepalanya lembut.
"Hei," balas Ayra dan memeluk pinggang Dion yang masih berdiri. "Nggak kok, kamu laper emang?" Tanya Ayra menengadah kepalanya, yang membuat perut Dion geli karena napas Ayra yang hangat.
"Nggak juga sih, aku nyariin kamu aja By. Aku pikir kamu hilang dibawa genderuwo." Jawab Dion asal dan memilih duduk di sebelah Ayra.
"Ih, kamu tuh ya By! Udah malem, jangan sembarangan." Kali ini giliran Ayra mencubit perut rata Dion.
"Ya terus kamu kenapa di sini? Udah malem, baby. Anginnya kenceng, nanti kamu masuk angin loh, By!" Ujar Dion sambil menatap wajah kekasihnya yang cantik sambil mencubit hidungnya dengan gemas.
Bukannya menjawab, tapi Ayra hanya membalas dengan berdeham.
"Sayaaang, aku nanya loh. Di jawab dong." Ucap Dion yang memasang wajah cemberutnya dan memilih duduk di sebelah Ayra.
Lucu,
Ayra terdiam, tidak langsung menjawab pertanyaan Dion. "Aku mau peluk, boleh?" Ucap Ayra beberapa detik kemudian.
"Ya boleh lah, By, ini aku malah ngerasa dianggurin, kalo nggak di peluk kamu." Jawab Dion dengan membuka tangannya, tanda siap di peluk.
Tanpa basa-basi Ayra langsung memeluk Dion, menyembunyikan wajahnya di balik ceruk leher Dion. Saat ini hanya pelukan yang Ayra butuhkan. Pelukan menenangkan dan nyaman, di mana Ayra dapat menghirup aroma tubuh kekasihnya. Dion yang menerima pelukan itu membalasnya dengan mengusap punggung dan kepala Ayra dengan lembut, sesekali memberi kecupan kecil di puncak kepalanya. Keduanya terdiam, hanya terdengar suara hembusan angin.
"Kamu masih kepikiran soal pembimbing, By?" Kali ini Dion mulai membuka suaranya, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Lalu Ayra melepaskan pelukannya dan menggelengkan kepalanya.
Ekspresi Ayra saat ini sangat menggemaskan, ingin mencubit.
"Sebenernya agak kepikiran sih, By. Tapi cuma sedikit. Tapi nggak tahu kenapa, perasaan aku kok nggak enak aja gitu." Jawab Ayra yang sibuk menggerakkan jarinya membuat motif abstrak di dada Dion.
"Terus kenapa? Lagi kangen bunda?" Jawab Dion yang menebak asal dan sedang menahan geli karena jari Ayra.
Ayra masih menggelengkan kepalanya.
Tak lama Ayra membuka suaranya yang agak serak. Ia tidak sedang sakit tenggorokan, tapi entah mengapa pertanyaan kali ini membuat suaranya agak menghilang. "By, masa tadi aku kayak ngeliat Kak Eca deh di Puncak."
Dion yang mendengar pertanyaan Ayra, langsung tercekat, rahangnya mengeras, dan dahinya berkerut.
Apa Ayra sempat melihat dirinya dengan Alexa? Batin Dion.
Tampak berpikir, tapi Dion langsung menjawab dengan tegas. "Nggak ah, By. Kamu salah liat kali."
"Umm, iya kali ya. Dia udah jadi dokter ya, By?" Tanya Ayra penasaran.
"Mana aku tahu, By. Nggak mau cari tahu juga." Ucap Dion jujur sambil mengangkat bahunya.
"Dia pinter banget ya, By? Hebat deh bisa jadi dokter."
"Apaan sih kamu, By. Kok jadi ngebanding-bandingin gini? Kamu juga hebat By. Jarang loh cewek mau jadi anak teknik. I'm so proud of you!" Jawab Dion lembut sambil menatap dalam manik mata Ayra yang teduh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Happier Than Ever [COMPLETED]
RomanceDia yang kupercayai sebagai pemilik hati ini seutuhnya. Namun dia juga yang menghancurkanku hingga menjadi butiran debu. Melupakan memang takkan pernah mudah. Merelakan yang pernah ada, menjadi tidak ada adalah kerumitan yang belum tentu dia tahu ra...