24 - Surreptitious

215 14 3
                                    

Satu bulan telah berlalu. Setelah Ayra diperbolehkan pulang dari Rumah Sakit, ia kembali ke apartemennya. Namun ingatan itu selalu membawanya pada sosok Dion. Terlalu banyak kenangan bersama Dion di apartemen itu. Sehingga ia memilih untuk menenangkan pikiran, bersama kedua orang tuanya di Semarang.

Kedua orang tua Ayra pun dengan senang hati jika Ayra tinggal sementara di Semarang. Bahkan mereka ingin setelah lulus nanti Ayra langsung pindah untuk membantu Ayahnya mengurus bisnis keluarga.

"Kamu bener mau pulang sekarang, nak?" Tanya Lisa saat sedang membantu Ayra packing.

"Iya, bun. Kayaknya udah cukup deh liburannya. Aku udah lama nggak bimbingan. Nanti kalau aku extend gimana?"

Selama satu bulan tinggal di Semarang, Ayra memang menutup diri dari kehidupannya. Ia lebih menikmati momen bersama keluarganya. Ia memang sengaja mematikan ponsel demi menenangkan pikirannya. Sesekali ia berkabar dengan para sahabatnya. Intensitasnya juga bisa dihitung dengan jari, sebulan ini mungkin hanya tiga kali mereka bertukar kabar.

"Bunda sama ayah sih nggak masalah, Ra. Kami percaya kemampuanmu, yang terpenting saat ini, kamu udah lebih baik." Lisa mengelus kepala Ayra lembut.

"Kamu jangan terus larut menyalahkan dirimu sendiri, Ra. Bunda tahu kok, gimana perasaan Ayra sebenarnya. Bunda bisa ngerasain juga betapa hancurnya kamu, walaupun kamu nggak sepenuhnya jujur sama bunda, iya kan?"

Hati Ayra mencelos mendengar ucapan Lisa. Memang Ayra sengaja untuk tidak menceritakan detail penyebab kandasnya hubungan dengan Dion. Ayra tidak ingin jika Lisa akan membenci Dion. Ia juga tidak ingin hubungan pertemanan Lisa dan Tytan jadi terkena imbasnya juga. Mata Ayra mulai memanas saat ini.

"Bunda tahu semua apa yang Ayra rasa, karena di dalam tubuh kamu, mengalir darah bunda juga,"

Ayra hanya menatap langit-langit, berharap air matanya tidak terjatuh saat ini. "Pesan bunda cuma satu, hidup itu terus berjalan, yang lalu biarlah berlalu, sekarang kamu fokus sama apa yang ada di depanmu. Kalau memang dia yang terbaik buat Ayra, dan mungkin nantinya jadi jodoh Ayra, pasti kalian akan di pertemukan kembali di waktu yang tepat. Percaya deh, sama Bunda."

Kini, cairan itu lolos dari mata Ayra. Tubuhnya bergetar sambil memeluk Lisa. "Menangislah, nak, sepuasnya jika itu bisa melegakanmu. Bunda tahu kamu selalu menahannya. Di hadapan kami, kamu selalu ingin terlihat baik-baik saja. Tapi, bunda tahu hatimu."

Lisa hanya membelai lembut rambut Ayra. Ia membiarkan Ayra menumpahkan semua emosi yang selama ini dipendamnya.

"Kenapa Ayra harus mengalami hal seperti ini, bun?" Ucap Ayra disela isakannya, "Apa Ayra nggak pantas untuk dicintai? Ayra nggak kuat, bun."

Lisa pun ikut meneteskan air matanya. Ia tidak menyangka jika anak gadisnya ternyata sehancur ini. Ayra yang biasanya selalu terlihat ceria, yang selalu membuat kehangatan di keluarga ini, yang selalu menghidupkan suasana dengan cerita-cerita lucunya, ternyata serapuh ini.

"Ra, kamu boleh cerita apapun sama bunda. Bunda akan tunggu sampai kamu siap dan nggak akan maksa kamu. Satu hal yang harus kamu tahu, kamu itu bagaikan matahari yang terus menyinari hari. Tanpa matahari, pagi akan terasa gelap dan semua kehidupan akan berubah. Matahari memiliki porsinya sendiri untuk bersinar. Begitu pula kamu, kamu juga punya porsinya sendiri untuk melengkapi hidup orang-orang yang membutuhkanmu. Dia yang menyakitimu mungkin tidak membutuhkan sinar dihidupnya. Tetapi, suatu saat dia pasti akan menyesal telah mengabaikanmu. Pesan bunda, jika ada yang menyakitimu, jangan kamu balas sakiti, ya nak."

Ayra semakin terisak mendengar nasihat Lisa. Sejujurnya, Ayra ingin sekali menceritakan semua kejadian yang menimpanya. Tetapi, ia tidak ingin membuat Lisa jadi membenci Dion.

Happier Than Ever [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang