Rama sudah terlelap lebih dulu. Sedangkan Ayra masih terjaga. Badannya terasa pegal, tubuhnya pun butuh beristirahat. Ia merasa sangat lelah, tetapi tidak dengan matanya yang enggan menutup barang sedetik pun.
Ayra gelisah dan mencoba mencari posisi yang membuatnya nyaman. Ia ingin menangis saat ini juga.
Nggak!
Nggak bisa nih gue gini terus! Bisa-bisa badan gue ambruk lagi. Gue nggak mau nyusahin orang sekitar gue lagi.
Kemudian Ayra bangkit dan duduk di tepian kasur. Ia membuka drawer, mencari obat yang bisa membuatnya tidur. Obat yang rutin ia minum satu bulan yang lalu.
Matanya sudah berkaca-kaca. Tangannya bergetar saat ingin meraih gelas yang berada di nakas. Ayra memejamkan matanya dan mengatur napasnya kembali.
Fiuhh, inhale, exhale.
"Kenapa? Hmm?" Satu tangan besar berhasil mengusap lembut punggung Ayra. Namun kesadaran Rama belum terkumpul sepenuhnya.
Ayra menoleh. Tangis itu langsung pecah, "Nggak bisa tidur, hiks!"
Ayra terisak, "Badan gue capek, hiks! Tapi mata gue nggak mau diajak istirahat."
Rama membuka matanya sempurna saat mendengar tangisan Ayra. "Hey, come here!" Ia membuka tangannya dan bersiap merengkuh Ayra.
Tanpa basa-basi, Ayra langsung masuk ke dalam pelukan Rama dan semakin terisak. Ia menenggelamkan wajahnya.
Rama mengusap rambut Ayra. Ia menaruh dagunya di puncak kepala Ayra. Cukup lama mereka berada di posisi seperti itu, tidak ada yang ingin bergerak dari tempatnya. Posisi yang benar-benar nyaman bagi mereka berdua.
"Feeling better now?" Low tone Rama membuyarkan lamunan Ayra.
Ayra menengadah dan menganggukkan kepalanya. Tangisannya sudah berhenti. Namun, tatapan sendu itu masih terlihat jelas di manik mata Ayra.
Cup!
Satu ciuman berhasil mendarat di puncak kepala Ayra. "Jangan nangis lagi, ya? Gue bingung, kalau lo nangis."
"Gue juga nggak mau nangis, tapi air matanya keluar gitu aja." Ucap Ayra polos sambil memasang muka sedihnya.
Rama tersenyum dan mencubit hidung Ayra gemas. Ia semakin mengeratkan pelukannya pada Ayra.
"Bang?"
Rama hanya berdeham.
"Are you okay? Kok gue ngerasa setelah lo balik dari rumah mama, you're not okay."
Rama menghembuskan napasnya pelan.
"Honestly, yes, I'm not okay." Rama menatap lurus, pandangannya kosong.
Ayra menatap Rama dengan tatapan sendu. Ia menarik kepala Rama untuk memeluknya dan mengelus punggung besar Rama.
Baru kali ini Rama bisa bebas meluapkan perasaannya. Ia merasakan ketenangan saat Ayra memeluknya seperti ini. Rasa yang sama seperti pelukan sang mama yang menenangkan.
"It's okay, if you're not okay. Kita kan manusia, perasaan itu nggak cuma rasa senang aja isinya. Pasti ada sedihnya juga. Jadi yaa, wajar kok dan nggak usah malu untuk bilang kita lagi nggak baik-baik aja." Kini Ayra mengusap lembut rambut Rama.
Rama mengangkat kepalanya menatap Ayra. Ia menempelkan punggung tangannya ke dahi Ayra.
"Kenapa?"
"Bahasa lo tua banget, Ra. Kesambet apaan lo?" Kata-kata bijak Ayra membuat Rama mendengus geli. Sebab Ayra yang ia kenal adalah anak yang selalu penuh humor, dan tidak pernah terlihat serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
Happier Than Ever [COMPLETED]
RomanceDia yang kupercayai sebagai pemilik hati ini seutuhnya. Namun dia juga yang menghancurkanku hingga menjadi butiran debu. Melupakan memang takkan pernah mudah. Merelakan yang pernah ada, menjadi tidak ada adalah kerumitan yang belum tentu dia tahu ra...