Suasana sore itu terasa amat kelam. Orang-orang berlalu lalang dengan pakaian serba hitam. Wajah-wajah mereka tampak muram penuh kesedihan. Beberapa lainnya, memilih untuk menyalurkan emosi lewat tangisan.
Dengan gaun yang sama hitamnya, Jeon Heejin berdiri tepat di depan peti mati diletakkan. Di sampingnya, Heejun berdiri sarat akan kebingungan. Beberapa orang menghampiri Heejin untuk merangkulnya seraya berujar kalimat-kalimat penenang.
Hambar. Kosong. Heejin tidak berbohong bahwa rasanya ada yang hilang. Tapi mati-matian, Heejin berusaha untuk terlihat tegar. Kemudian ia mendongak, bertepatan ketika laki-laki itu masuk ke dalam ruangan pula dengan setelan yang sama hitam. Pandangannya lurus tepat ke arah Heejin. Laki-laki itu mendekat dan memeluk Heejin tanpa aba-aba.
Tumpah ruah. Pecah. Rasa yang tengah Heejin redam itu pecah menjadi tangisan. Orang-orang yang datang menatap dengan heran. Bagaimana bisa Heejin menangis di pelukan laki-laki lain ketika upacara pemakaman kematian suaminya? Mungkin begitu yang mereka pikirkan.
Tapi Heejin tidak peduli. Ia meremas gaunnya kuat-kuat selagi menangis hebat dalam rengkuhan laki-laki di depannya.
"Dari sekian banyak orang, kenapa harus kak Minho yang dikorbankan?" tanyanya dalam isakan.
Laki-laki itu, Hwang Hyunjin memeluk Heejin semakin erat. Membiarkan Heejin menangis semaunya. Perasaan Hwang Hyunjin sama saja. Membingungkan. Ada rasa hangat dari pelukan Heejin yang akhirnya ia temukan dalam ingatan. Ada rasa sakit yang menikam. Ada rasa bersalah, karena hanya demi mereka berdua, beberapa jiwa telah dikorbankan.
Kutukan itu benar-benar mengerikan.
Dalam waktu beberapa menit, isakan Heejin perlahan memelan. Hyunjin kemudian berjongkok untuk menggendong Heejun yang masih tampak kebingungan. Sebenarnya, ada apa dengan orang-orang?
Hyunjin meraih telapak tangan Heejin untuk ia genggam. Mereka berjalan ke arah pria tua yang duduk di sudut ruangan. Ia tampak linglung dan kosong. Dua orang laki-laki berjaga di belakangnya. Hal yang membuat Hyunjin makin nyeri adalah bahwa kedua tangan pria tua itu diborgol.
"Tenanglah Hyunjin, cucuku tidak akan merebut Heejin darimu. Kalaupun dia akan merebut Heejin, aku sendiri yang akan membunuhnya,"
Kalimat itu tiba-tiba bergaung dalam kepala Hyunjin. Kalimat yang dahulu dilontarkan dengan nada canda dan diakhiri dengan tawa. Siapa sangka, bahwa kalimat itu menjadi nyata?
Fralino Damian, menjadi tersangka utama untuk pembunuhan cucunya sendiri, Lee Minho.
Fakta itu begitu menyakitkan. Jika menjadi Fralino, mungkin Hyunjin telah terkubur dalam kehancuran. Tapi lihatlah pria itu. Ia justru tersenyum ketika menyadari Hyunjin dan Heejin berjalan mendekat ke arahnya.
"Senang melihat kalian bersama lagi," ujarnya dengan suara gemetar.
Hyunjin tengah berusaha meredam emosinya. Bersusah payah tidak menangis di depan pria ini.
"Maaf karena sedikit terlambat menyatukan kalian kembali."
Hyunjin menggeleng.
"Maaf, karena Kak Minho harus dikorbankan."
Satu hari sebelumnya...
Laki-laki yang usianya telah lebih dari 75 tahun itu tengah duduk di depan mansion miliknya sembari menikmati pemandangan pantai. Sesekali, ia menyesap teh hangat yang disajikan oleh pelayannya. Beberapa tahun belakangan ini, Fralino memang memutuskan untuk hidup tenang sendirian. Segala urusan bisnis dikendalikan oleh anak dan menantunya. Sedangkan cucu satu-satunya itu, kabarnya telah menikah. Fralino tidak dapat datang karena kala itu tengah dirawat di rumah sakit. Kemudian sampai kini, Fralino belum pernah melihat sosok cantik istri dari Lee Minho. Entahlah, Fralino hanya percaya bahwa Lee Minho pasti telah memilih yang terbaik baginya.
"Tuan, seseorang ingin menemui anda."
"Siapa?'
"Tidak tahu, Tuan. Rambutnya berwarna putih salju.
Putih salju? Fralino mengernyit heran. Seumur hidupnya, Fralino hanya pernah satu kali melihat sosok dengan rambut utuh seputih salju. Puluhan tahun lalu, ketika kematian Eugene Sam.
"Persilahkan ia masuk."
"Baik, Tuan."
Fralino berjalan tertatih dengan dibantu salah seorang pelayannya menuju ruang tamu. Benar, sosok yang tengah duduk di ruang tamu miliknya ialah sosok yang sama dengan yang pernah ia lihat puluhan tahun lalu. Wajahnya sama sekali tidak menua. Masih tetap tampan luar biasa.
"Selamat sore, Tuan Fralino. Saya Trinh Lavesh."
Oh, jadi namanya Trinh Lavesh.
Fralino mengangguk-angguk.
"Kau satu bangsa dengan Eureka Apsara 'kan?"
Trinh mengangguk dan tersenyum.
"Karena anda telah tau mengenai hal tersebut, maka saya akan langsung menjelaskan alasan saya kemari..."
Kemudian cerita Trinh mengalir begitu saja. Fralino sibuk mendengarkan urain cerita panjang itu tanpa menyadari bahwa matahari diluar sana telah tenggelam. Tepat ketika cerita Trinh mengakhiri ceritanya, Fralino mengeluarkan intruksi.
"Siapkan pesawat ke Seoul secepatnya."
Tanpa berganti pakaian atau apapun, Fralino hanya menggunakan mantel yang telah disiapkan. Langkahnya tergesa dengan diikuti beberapa orang pengawal. Namun sebelum keluar dari mansionnya, Fralino berhenti dan menoleh kepada tangan kanan yang amat ia percaya.
"Feliź, siapkan TRX-7. Lengkap dengan terisi satu peluru."
TRX-7 merupakan pistol paling mengerikan yang dimiliki Fralino. Tingkat keakuratannya 99,7%. Pelurunya menguarkan racun.
Penerbangan ke Seoul itu berlangsung cepat. Dari bandara, Fralino langsung bertolak ke tempat yang telah disebutkan oleh Trinh.
"Maafkan aku Hyunjin."
Suara itu Fralino dengar ketika ia baru sampai di pintu masuk. Kemudian tanpa pikir panjang, Fralino mengangkat pistolnya untuk menembakkan satu-satunya peluru pada cucunya sendiri.
Bersamaan dengan ambruknya Lee Minho, Fralino melempar pistolnya ke sembarang arah dan berlari ke arah cucunya. Rasanya sakit sekali. Fralino harap, setidaknya kemampuan menembaknya menurun sedikit. Fralino harap, TRX-7 mengalami 0,3% kemungkinan untuk error. Tapi rupanya tidak, peluru itu tepat tertembak jantung. Sebagaimana yang dikatakan oleh Trinh Lavesh. Sempurna untuk membunuh dua jiwa sekaligus.
Namun sebelum racun dari satu-satunya peluru itu menguar, kornea mata Minho kembali seperti selayaknya milik Minho sendiri. Nanael telah seutuhnya hilang. Lee Minho tersenyum di pangkuan Kakeknya yang tengah menangis. Kakek yang amat ia sayangi dan hormati.
"T-ter-i ma kk-kasi-ih, K-kka-kek," ujarnya dengan suara gemetar,"ss-samp--pai-kk-kak ma--aaf kku --ke--pp-padda mer--e--kha."
Usai. Kedua kelopak mata itu tertutup dengan sempurna. Sebagaimana detak dan napasnya yang tak lagi ada. Satu kematian lainnya, telah tercipta.
Fralino masih tersenyum.
"Mungkin memang takdir Minho seperti ini," katanya.
Pandangan Fralino lurus kedepan dimana peti mati Lee Minho mulai diangkat dan dimasukkan Krematorium. Peristiwa itu terasa amat lambat dan menyakitkan. Bersamaan dengan tubuh Lee Minho yang lebur menjadi abu, ikatan benang merah Hwang Hyunjin dan Jeon Heejin kembali terikat kuat. Kali ini, tidak ada yang dapat memutusnya.
Hwang Hyunjin dan Jeon Heejin telah sempurna dapat bersama.
•••••
Eh-hm, ini ga bisa disebut happy ending ya sebenarnya? Hehe, tau kok. Ini happy ending dari sisi Hyunjin-Heejin, tapi saf dari sisi Fralino sama Minho dan lain-lain. Huhu, sebenernya sedih sih Minho jadi korban:( Tapi ya mau gimana lagi. Btw, abis ini tinggal epilog ya (ni keknya baru full narasi happy happy). Cie, ntar kalo dah epilog berarti udah saatnya berpisah sama story ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Miraculous 2: Repeat The Story
Roman pour Adolescents"Mari Kita bertemu di reinkarnasimu selanjutnya." Setengah Abad berlalu. Kalimat yang di ucapakan oleh Eureka puluhan tahun lalu seperti mantra, menjelma menjadi sebuah kutukan. Di belahan bumi, Tuhan menciptakan Eugene dan Eureka yang lain. Tapi un...