Pada saat Ibrahim keluar dari ruangannya, ia sempat melihat sekilas karyawan baru yang ditempatkan di divisinya. Jantungnya berdetak sangat kencang ketika seseorang yang berhijab biru langit sedang tersenyum kepada bawahannya yang lain. Senyum teduh yang membuatnya pernah bertekuk lutut pada seorang wanita yang sama sekali jauh dari tipenya. Senyum yang rela ia tukar dengan berbulan-bulan penuh jatuh bangun mendapatkan restu sang Mama, dan mengejarnya demi mendapatkan sebuah kata YA agar mau menikahinya. Dan senyum itu masih sama menawannya. Ia terpana sesaat di tempat sampai Devon mengguncang tubuh Ibrahim.
"Lo apa-apaan?!" desis Ibrahim rendah. Sebab, pikirannya yang sedang melakukan napak tilas ke masa lalu di interupsi dengan tidak sopannya oleh Devon. Sedangkan yang digalakin senyum-senyum tidak jelas.
"Badan aja yang di bumi. Pikiran lo ke mana? Gue panggil dari tadi nggak nyahut. Atau jangan-jangan lo lagi memantau anak-anak baru itu?" goda Devon.
"Ck. Mikir lo kejauhan. Gue mau ke SDM dulu."
"Gue Cuma kasih tahu di awal ya Im, kalau tuh cewek yang jilbab biru target gue." Ibrahim memutar bola matanya dramatis dan raut wajahnya menegang, sedikiiit. Ibrahim enggan menimpali kali ini.
"Btw, ngapain ke SDM?"
"Mau tanya, apa mereka benar-benar melamar di bagian marketing atau enggak." Ibrahim mengedikkan kepalanya samar ke arah tiga wajah baru divisi marketing itu. "Gue nggak mau orang yang nggak ada skill-nya kerja di bawah pengawasan gue," kata Ibrahim sekenanya. Ia tahu betul kalau setiap kata yang diucapkannya tidak ada yang benar. Hanya saja, kehadiran perempuan berhijab biru langit itu membuat jantungnya sedikit... berdebar. Lagi. Dan dia tidak suka dengan kenyataan itu. Siapa tahu memang salah menempatkan.
Salah menempatkan? Aaargh!!! Apa yang aku pikirkan sih?
"Ha? Perusahaan nggak mungkin salah lah menempatkan karyawan." Devon memang benar.
Ponsel Ibrahim bergetar dalam saku celananya dan menghentikan Devon yang ingin berkomentar lebih jauh alias protes.
Nama yang tertera di layar ponsel Ibrahim membuat keningnya berkerut berlipat-lipat. Mami? Kenapa nelpon aku? Pria itu bergegas meninggalkan Devon.
"Im, jangan lama-lama. Anak-anak nunggu di ruang rapat."
"Ya," ucap Ibrahim dan menghilang masuk ke dalam ruangannya dan menutup pintu dengan rapat.
"Halo. Assalamu'alaikum Mi," sapa Ibrahim. Mami adalah mantan mertua Ibrahim.
"Wa'alaikumsalam Ibram. Apa kabar, Nak?" Suara yang sudah lama tidak Ibrahim dengar, dan sejujurnya, ada perasaan hangat menelusup di hatinya. Dia sangat menghormati Mami sejak pertama mereka dipertemukan.
"Alhamdulillah Ibram baik, Mi. Mami sehat? Masih rajin minum obat jantung kan, Mi? Jangan sampai lupa ya Mi." Dia masih ingat kesehatan jantung Mami sempat drop dan mesti pasang stent. Jadinya beliau harus rutin minum obat setiap hari.
Suara keibuan di ujung sana terkekeh pelan. "Makasih ya kamu masih ingat sama obat Mami. Mami Alhamdulillah sehat. Berkat doa anak Mami yang satu ini." Lagi-lagi dada Ibrahim menghangat.
"Ibram selalu doain Mami dan Papi sehat dan panjang umur."
"Terima kasih. Duh, Mami jadi kangen sama Nak Ibram. Kapan-kapan kita ketemu ya. Sama Papi juga."
"Baik, Insya Allah Mi."
Aah, bertemu lagi dengan mantan mertua tanpa mempunyai ikatan apa-apa lagi dengan anaknya? Ia tidak tahu apakah itu ide yang bagus atau tidak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unfinished Business [Completed]
RomanceApa jadinya ketika mantan suami dan mantan istri dipertemukan takdir sebagai bos dan staf? Ini adalah cerita tentang dua manusia yang masih mempunyai urusan yang belum selesai di antara mereka. Mereka bisa menyelesaikannya nggak ya? Atau malah frasa...