17 - [MENUNTUT KEJELASAN DARI MANTAN]

571 40 5
                                    


 

Setelah malam yang mendebarkan itu, Rayya sengaja menggantung jaket Ibrahim pada gagang lemari pakaiannya. Karena dengan melihatnya setiap hari dapat membantunya mengambil sebuah
keputusan. Ia masih sayang dan cinta dengan mantan suaminya. Hanya saja, satu rintangan yang membuatnya berpikir seribu kali untuk kembali pada Ibrahim: Bu Wardhani.

Mamanya tidak menyukai dirinya. Bagaimana bisa menjadi menantu lagi kalau restu dari orang tua tidak ada? Tidak ada keberkahan di sana. Karena ini adalah hubungan jangka panjang, maka Rayya tidak ingin gegabah dalam mengambil keputusan.

***

"Bram, kata Ladisa dia di kontrak perusahaan kamu ya?" Ibrahim tengah mengobrol dengan mamanya melalui ear bud, sedang dia sendiri melanjutkan pekerjaannya yang tidak berkesudahan di ruangannya. Gerakan penanya terhenti seketika. Ibrahim menghela napas pendek. Dia benar-benar tidak dalam mood yang baik sekarang. Perjodohan, Ladisa, dan Mamanya. Ketiga-tiganya berputar-putar dalam kepalanya dalam gerak lambat bagaikan biang lala. Bikin pening.

Dan mamanya tidak mendengar protesnya sama sekali.

"Iya, Ma."

"Jadi kalian bakal sering ketemu dong?" Tidak dapat dipungkiri dia mendengar suara semangat dari mamanya. Ibrahim tidak suka. Dan yang lebih tidak Ibrahim sukai adalah, dia belum menemukan momen yang tepat untuk bicara serius dengan mamanya. Perasaan ini menyiksanya. Karena Rayya, harus mendengar maaf dari Mamanya.

"Nggak juga, Ma. Ladisa nggak berurusan langsung sama aku. Bawahanku yang sering berkomunikasi dengan dia."

"Ya, kamu bisa lah hubungi dia. Ketemu, ngobrol walau sebentar. Manfaatkan waktu untuk saling mengenal lebih jauh. Mumpung lagi satu gedung."

"Ibram sibuk, Ma. Dan lagi, Ibram nggak tertarik sama dia. Pernah kan Ibram kasih tahu Mama waktu itu?"

Ia berjalan menjauhi meja kerjanya yang tiba-tiba terlihat sangat sesak dengan pekerjaan yang tidak ada habisnya. Ibrahim berhenti di depan dinding kaca setengah buram. Ia malas menggantungkan tangannya sehingga kini menyembunyikan keduanya di dalam kantong celana. Kini, berhadapan dengan cubicle seorang wanita berhijab biru langit yang terlihat sangat anggun walaupun dari kejauhan. Wajahnya diterpa cahaya yang menembus jendela kaca di sisi kirinya. Dia sangat menawan dengan gaun warna senada dengan hijabnya itu. Ah, Ibrahim terpesona. Sejenak ia lupa sedang berbicara dengan sang Mama di telepon.

Sejak kapan Rayya menjadi lebih menarik dari biasanya? Apa karena sikapnya yang makin dewasa? Atau apa karena kini mahkotanya yang indah sudah ia tutupi sukarela dengan sebuah kerudung? Ibrahim tidak memungkiri ia makin jatuh. Terjatuh ditempat yang sama lagi. Dia, tidak dapat melepaskan Rayya kali ini.

"Ibram. Ibram. Kamu masih di situ?"

Astaga. Aku melupakan Mama.

"Ya, Ma."

"Kamu dengar kata Mama kan? Temui Ladisa. Coba dulu jalan sekali dua kali sama dia. Mama punya firasat bagus kali ini."

"Tapi Ma, Ibram punya alasan kenapa nggak mau meneruskan perjodohan."

Dia alasannya Ma. Dia yang sedang mengetik penuh konsentrasi di meja kerja kecilnya. Dia yang dulu Mama maki-maki. Dan dia yang masih menyuruhku untuk selalu menghormati Mama setelah menerima makian dan teriakan Mama.

"Apa kurangnya Ladisa, Nak? Dia anak yang patuh sama orang tua. Dia terkenal, public figure, cantik pula. Yang penting Mama kenal keluarganya. Mereka dari latar belakang baik-baik."

"Ma. Mama nggak mau dengar alasanku ya? Sampai kapan Mama bertingkah semau Mama? Apa pendapatku tidak penting lagi untuk Mama dengar dan pertimbangkan?"

Unfinished Business [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang