8 - [ROAD TO MENJEMPUT MANTAN MERTUA]

658 64 0
                                    


 

Mengenai menjemput kedua orang tuanya, Rayya sudah nego sampai lelah sama maminya selama dua hari agar tidak melibatkan Ibrahim dalam hidupnya lagi. Yang membuat Rayya heran, kenapa maminya tidak menggubris permintaannya? Demi Tuhan, dia dan Ibrahim sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Mereka sudah bercerai. Mereka orang asing sekarang. Dan dari semua orang, kenapa harus Ibrahim? Dia yakin Romi pasti mau membantunya kalau hanya sekedar menjemput Om dan Tantenya sendiri.

Rayya harus putar otak.

Apa yang harus dia katakan pada Ibrahim nanti. Sungguh, dia tidak mau merepotkan mantan suaminya dengan urusan keluarganya lagi. Tidak. Rayya tidak mau Ibrahim mengorbakan dirinya hanya demi keluarganya. Rayya merasa sudah cukup merepotkan Ibrahim ketika mereka masih suami istri. Karena selama itu pula, Rayya hanya menjadi bebannya saja. Dan sampai saat ini Rayya masih menyesal telah menjadi istri yang tidak baik bagi suaminya dulu.

"Ray, lo kenapa mondar mandir depan pintu Pak Bos?" Suara Yuni menghentikan langkahnya seketika.

"Eh, Mbak. Si Bos lagi good mood atau bad mood? Gue mau nanya sesuatu sama dia," kilah Rayya sembarangan. Semua juga pada tahu, walaupun kesannya dingin, tapi si Pak Bos Marketing approachable banget kok.

"Ooh. Si Bos nggak moody kok orangnya. Langsung aja. Yang jelas sopan dan nggak grasak grusuk aja. Manner standar lah."

"Oh gitu. Ok makasih Mbak Yun."

"Sami-sami."

Sungguh pembicaraan yang tidak berguna bagi Rayya. Toh, dia sudah tahu bagaimana sifat Ibrahim yang sebenarnya.

He's just an ordinary but lovely, kind hearted, caring, compassionate and loving man in the world. Duh, Ray. Apa yang kamu pikirin sih? Bego. Rayya memukul-mukul kepalanya sendiri.

"Hah. Yang terjadi, terjadilah, Rayya."

Rayya mengetuk pintu dan seketika mendengar teriakan Masuk dari dalam.

"Selamat sore, Pak." Rayya menutup pintu rapat-rapat.

Ibrahim mendongak dan tanpa sadar kedua sudut bibirnya tertarik samar melihat siapa yang masuk.

"Sore. Duduk Ray." Ia segera menyingkirkan lapotpnya. Rayya lebih penting sekarang, begitu pikir si Ibram.

Si mantan duduk dengan gelisah.

"Abang lagi sibuk?"

"Enggak." Ibrahim menjawab terlalu cepat. Iya, dia terlalu semangat. Padahal pekerjaannya segudang lagi belum diperiksa.

"Hm, Bang."

"Ya?" Rayya memijit ujung jarinya. Entah kenapa sulit sekali mengeluarkan isi kepalanya sore ini. Semua tentang Ibrahim memang masih sulit bagi Rayya untuk mengurainya dengan benar.

Tiga puluh detik berlalu. Rayya masih diam dan Ibrahim tetap menunggu.

"Ray, kamu mau ngomong apa?" tanya Ibrahim akhirnya.

"Itu..."

"Ya?"

"Ehm, Mami dan Papi aku mau datang ke Jakarta. Masalahnya Mami malah mau minta tolong Abang untuk jemput ke bandara. Aku benar-benar nggak enak sama Abang. Nanti aku bilang aja ke Mami, Abang lagi ada acara dan nggak bisa jemput mereka. Mereka pasti bakal ngerti. Sepertinya begitu lebih baik. Abang nggak perlu repot jemput. Nanti biar Romi aja yang-"

"Ok."

Astaga, nama Romi membuatku tidak bisa berpikir dengan jernih.

"Hah? Apa? Maksud Abang, Ok untuk yang mana?"

Unfinished Business [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang