14 - [MEMORI PAHIT SANG MANTAN]

509 44 1
                                    

"Selamat datang di rumah kita," ucap Ibrahim sambil merangkul Rayya masuk dan mengusap lengan istrinya. Rayya menjelajahi rumah masa kecil Ibrahim yang ia tinggali seumur hidup bersama keluarganya dengan matanya. Ia melihat foto berbagai ukuran di frame dan di gantung di dinding ruangan pertama yang ia masuki dengan lebih seksama.

Dulu Rayya memang pernah kemari bersama orang tuanya untuk bersilaturrahim sebelum menikah. Saling mengenal keluarga calon besan, begitu kata Mami Rayya. Namun karena saking gugupnya, Rayya lebih banyak memandang ujung kakinya daripada Mama Ibrahim dan adiknya yang waktu itu belum menikah dengan Reza.

Dari dalam, Buk Wardhani datang dan menyambut menantu dan anaknya yang baru pulang dari honeymoon ke Singapura dan Thailand.

"Anak Mama sudah pulang."

Dua anak itu mencium tangan orang tuanya khidmat dan dibalas dengan usapan sayang di kepala masing-masing.

Sambutan hangat Bu Wardhani membuat Rayya merasa diterima di keluarga barunya. Bagaikan disayang oleh Mami dan Papinya sendiri. Kepingan puzzle kebahagiaannya sudah terkumpul dan terpasang pada tempatnya. Dia, bahagia.

***

Letih. Tentu saja. Perjalanan seminggu dari Bukittinggi-Padang-Jakarta-Singapura-Thailand-Jakarta benar-benar menguras tenaga mereka berdua. Setelah Salat Shubuh, Ibrahim dan Rayya memutuskan untuk tidur kembali. Sungguh, tubuh mereka butuh waktu untuk recharge barang sebentar sebelum kembali ke rutinitas sehari-hari.

Suara dering telepon memenuhi kamar yang temaram itu, sebab gorden jendela belum lah terbuka sejak subuh. Hanya sedikit sinar matahari yang masuk ke sela pori-pori kain. Sampai dering itu berhenti sendiri, tak satu pun dari dua insan itu terbangun.

Dering demi dering kembali terdengar memekak telinga. Tidak hanya dari ponsel Rayya, kini juga keluar dari ponsel Ibrahim.

Dengan mata setengah tertutup, Rayya meraba-raba nakas untuk mencari keberadaan si ponsel yang sangat berisik itu. Tidak ada.

"Kemana sih?" Lagi, tangannya mencari di bawah bantal. "Ketemu," ucapnya setengah senang setengah terbangun.

"Halo." Serak suara Rayya karena bangun tidur terdengar di seberang.

"Ya Allah Nak. Jam berapa ini? Bangun Rayya. Anak Mami nggak boleh bangun kesiangan, apalagi di rumah mertua."

Rumah mertua.

Rumah mertua.

RUMAH MERTUA?

Rayya mulai panik dalam pikirannya. Dia duduk dan tergesa-gesa menyingkap selimutnya. Rayya sempat lupa kalau kini ia sudah menjadi seorang istri dan seorang menantu di rumah suaminya. Ia tinggal bersama mertuanya sekarang. Demi Tuhan.

"Jam berapa sekarang Mi?" tanya Rayya super panik.

"Jam 10. Kenapa baru bangun, Nak?"

"Aku dan Bang Ibram baru sampai tadi malam Mi. Jadi sekarang badan Rayya remuk banget, panek bana. Jadi kebablasan tidurnya habis salat Shubuh." (Letih banget)

"Oalaah. Ya udah. Sekarang mandi, siap-siap bikin sarapan buat suamimu kek, atau paling enggak ngobrol-ngobrol sama Mbak Wardhani, Mamanya Ibram."

"Iya Mi. Makasih ya Mi udah bangunin Rayya. Love you Mi. Rayya matiin ya. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam."

"Kayaknya nggak sempat mandi deh. Cuci muka aja lah."

Panik mendera. Ia lari ke kamar mandi melakukan hajatnya secepat yang ia mampu dan berlari lagi mengganti baju yang lebih presentable di depan mertua nanti. Puk puk bedak tipis sana sini, sedikit lip balm, dan rambut dikuncir tinggi karena memang tidak sempat diapa-apain lagi.

Unfinished Business [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang