15 - [KETIKA IMAN PARA MANTAN DIUJI]

559 43 0
                                    

Perjalanan menuju unit Rayya di lantai 15 seperti melakukan perjalanan panjang nan menegangkan. Ada apa sih dengan mereka berdua? Tadi Rayya dengan entengnya menawarkan Ibrahim minuman hangat dan handuk untuk mengeringkan bajunya. Tapi sekarang dia malah keringatan dan tengkuknya panas dingin ketika dalam 20 langkah lagi mereka akan sampai di depan pintu unit miliknya. Ke mana semua keberanian tadi, wahai mantan selebgram?

Ibrahim apa lagi. Ia berjalan diam di sisi Rayya sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Tiba-tiba saja bibirnya berat hendak berbicara. Yang bisa dilakukan pria itu sekarang hanyalah melirik dari sudut mata kirinya perempuan berjilbab hitam itu sedang berjalan menunduk di sampingnya.

Mungkin yang sebenarnya terjadi adalah, dua anak manusia yang berbeda jenis kelamin tanpa ikatan pernikahan sedang digiring ke sebuah tempat tertutup, dimana hanya ada mereka saja di sana. Lalu sebuah bisikan merayu mendayu-dayu membisikkan gendang telinga mereka, tidak ada yang melihat.

Hati berkata lain, namun kaki tetap melangkah.

Unit 1515. Itu nomor apartemen studio Rayya.

"Masuk, Bang. Maaf, berantakan," ucap Rayya yang mati-matian menahan gugup di dalam.

"Terima kasih." Sekilas memandang, tidak ada kata berantakan yang bisa disandingkan dengan kondisi real time unit sederhana Rayya. Dalam dua langkah saja, Ibrahim dapat melihat isi unit Rayya. Mulai dari dapur, meja makan, ranjang, dan lemari. Semua dapat terlihat dalam sekali pandang. Begitulah konsep apartemen studio. Sebuah hunian yang di desain untuk penghuni single. Sangat 'efisien' dan minimalis dalam menata semua barang.

"Duduk dulu, Bang. Aku buatin susu coklat panas."

"Terima kasih," jawab Ibrahim seperti robot.

Dalam lima menit, segelas susu dan handuk tebal tersedia dia atas meja. Si Bos langsung menyeruput isi mug hitam itu. Lalu, handuk tadi disampirkan ke pundaknya.

Lima menit yang terasa seperti lima jam membuat Rayya tidak tahan.

"Bang Ibram."

"Rayya."

"Ab-abang duluan," ucap Rayya setelah mereka bicara bersamaan.

"This is not gonna work."

"Maksud Abang?"

"Sebaiknya kita bicara di luar. Mau temani Abang makan malam?"

"Kenapa tiba-tiba?" Rayya hanya heran dengan perubahan topik yang tiba-tiba ini. Tapi kalian tahu, ajakan Ibrahim barusan membuat hati Rayya dari lubuk terdalam lega, seperti disiram air dingin.

"Tuh." Kedikan kepala Ibrahim ke arah mangkuk yang minya sudah mengembang cukup menjelaskan segala-galanya. "Jangan sering makan mi instan, Ray."

"Kulkasku lagi kosong."

"Delivery."

"Hujan. Kasihan tukang ojeknya."

Rayya yang masih saja perhatian dengan orang lain. Wanita seperti ini yang kamu ceraikan, Ibrahim? Kamu rugi besar.

"Ayo. Kalau lima menit lagi Abang masih di sini, lama-lama Abang bisa gila." Sebegitu frustasinya ya, Ibrahim?

"Hah? Kenapa bisa gila? Nggak ada yang aneh dengan unit aku," bela Rayya mati-matian.

Ibrahim tidak menjawab pertanyaan Rayya. Malah menandaskan sisa susu coklat tadi dan langsung bangkit berjalan menuju pintu.

"Abang tunggu di lobi." Suara pintu menutup membuat Rayya menghembuskan napas yang tertahan dari tadi. Spontan tangan kanannya menekan dadanya yang bergemuruh.

Unfinished Business [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang