22 - [BERTEMU MANTAN MERTUA JILID DUA]

342 32 0
                                    

Komunikasi adalah koentji.

Hal ini yang ditekankan Ibrahim pada Rayya setelah perempuan berhijab itu mengiyakan ajakan rujuk mantan suaminya. Pedekate selama setahun dan menikah selama tiga tahun tidaklah cukup untuk mereka saling mengenal satu sama lain. Kurangnya ilmu berumah tangga serta kurangnya komunikasi dan keterbukaan di antara mereka menyebabkan kandasnya pernikahan yang baru seumur jagung.

Pernikahan yang sudah berjalan puluhan tahun saja masih bisa karam hanya dengan isu ketidakpercayaan antarpasangan. Apalagi yang hanya 3 tahun. Komunikasi yang buruk membuat masalah semakin parah.

Padahal, kalau saja Rayya mau berterus terang mengenai kepelikan hubungannya dengan mertuanya dulu, mungkiiin saja hal sebesar perceraian bisa cepat-cepat diatasi. Dan kalau saja Ibrahim bisa lebih peka dalam mengartikan keluh kesah Rayya dan lebih adil dalam memberikan kasih sayang pada kedua wanita kesayangannya, konflik dalam rumah tangganya bisa terhindarkan.

"Terus apa lagi, ya? Beras udah. Santan, daun salam, serai, udah. Eh, Lengkuas dan jahe itu yang mana? Mereka bumbu yang paling sering disu'uzonin kan, Bang?" tanya Rayya sambil membaca kertas berisi tulisan tangannya sendiri yang diberi judul Nasi Uduk Kesukaan Bang Ibram.

Oh iya, Rayya sudah memulai misi merebut hati calon mertua dengan belajar masak makanan kesukaan anaknya. Tentu dimulai dengan belanja bahan makanannya dulu.

"Disu'uzonin?" Ibrahim mengulangi pertanyaan Rayya dengan kening mengekerut sambil mendorong troley belanjaan. Mereka berdua sedang berada di sebuah supermarket salah satu mall di Jakarta.

"Iya. Aku sering salah sangka sama mereka. Habis mereka berdua mirip, sih. Jadi sering ketuker."

"Kan baunya beda. Kalau nggak salah. Soalnya Abang juga udah lama nggak bantu Mama di dapur."

"Apa?! Abang tahu bedanya? Wah, kalah banget dong aku. Hal sesederhana itu aja aku nggak tahu. Gimana Mama nggak marah-marah sama aku? Aku nggak tahu apa-apa soal bumbu dapur. Ya Allah."

Ibrahim yang tiba-tiba berhenti mendorong keranjang belanjaan tertangkap oleh sudut mata Rayya. Yang Rayya dapati malah wajah datar si tukang dorong troley.

"Ada apa?" Rayya bertanya dengan tampang lugu.

"Abang nggak menikahi seorang wanita semata-mata karena kehebatannya membedakan bumbu dapur. Abang menikahi kamu dulu karena Abang sudah bisa membayangkan bagaimana luar biasanya masa depanku dengan kamu. Bagaimana nanti kita menua bersama tanpa mencemaskan hari ini mau makan apa hanya karena kamu nggak bisa masak, Rayya. Dan alasan itu masih sama sampai sekarang. Yang Abang lihat dari kamu itu adalah ketenangan, kebahagiaan, tempat Abang akan mewujudkan mimpi-mimpi rumah tangga bersama. Dan kalau Allah kasih rezeki, jadi ibu untuk anak-anak Abang. Anak-anak kita. Abang nggak minta macam-macam dari kamu."

Rayya mematung di tempat dengan mata berkaca-kaca. Rayya baru sadar bahwa dia sebegitu diingikan oleh Ibrahim, baik dulu maupun sekarang. Alasan Ibrahim mau bersamanya yang nota bene manja dan tidak dewasa sukses melambungkan hatinya hingga ke langit ke tujuh. Rayya perlu sebuah tali untuk mengingkat kakinya agar masih bisa menapaki bumi.

Okey, Ibrahim memang meminta mereka untuk saling terbuka satu sama lain. Hanya saja, Rayya tidak menyangka akan mendapatkan Ibrahim mencurahkan isi kepalanya yang tidak pernah ia dengar sebelumnya di lorong food station depan rak tahu dan tempe.

"Ray, kodrat wanita dan istri itu bukan memasak. Kodrat kamu sebagai wanita itu hanya datang bulan, hamil, melahirkan, dan menyusui. Jadi kalau Mama marah kamu nggak bisa masak, Mama keterlaluan dan Abang nggak terima. You don't deserved it. Kamu itu lebih dari itu."

"Duh. Makin gemes sama calon suami. Coba kalau udah halal."

Ibrahim memutar bola matanya. Ia merasa tidak dianggap serius dari tadi. Tapi sesuatu mengganggu pikirannya.

Unfinished Business [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang