20 - [SI MANTAN CEMBURU]

904 41 2
                                    

"Abang mau ngapelin anak orang? Bawa-bawa martabak." Pertanyaan yang tidak terduga dari seseorang yang matanya bengkak gara-gara kejadian tadi siang.

Ibrahim namu di lobi apartemennya Rayya sekarang, by the way. Nanti kalian akan tahu kenapa.

Bau margarin, nutella, keju, dan susu kental manis menguar dari kotak yang dibawa Ibrahim. Seingat Ibrahim, bila istrinya moody dulu, martabak manis adalah salah satu obat penawarnya setelah sesi cuddling yang cukup lama di kamar.

"Ngapelin calon istri kayaknya boleh-boleh aja, deh." Bola mata Rayya berputar dramatis, sukses membuat Ibrahim tertawa.

"Hush. Aku belum kasih jawaban ya. Abang kege-eran."

"Harus yakin kalau kamu akan jadi istriku lagi nanti. Abang selalu minta sama Allah." Rayya malah meringis. Ibrahim terkadang bisa over pede hal-hal yang sudah ia yakini. Sudah hapal betul Rayya sifat si mantan suami yang satu ini.

Tunggu sebentar. Sepertinya Ibrahim melewatkan sesuatu. Dia terdiam sejenak. Rayya ikut-ikutan duduk diam menunggu Ibrahim.

"Belum? Berarti kamu masih mempertimbangkan Abang kan, Ray?" Rayya menutup matanya. Ia menyesal dengan kata-katanya sendiri.

"Maksud aku-"

"Terima kasih. Abang akan manfaatkan kesempatan kedua ini, Rayya. Karena selama beberapa hari ini Abang sudah berpikir dan minta petunjuk sama Allah. Semoga Allah tunjukkan jalan terbaik buat kita berdua." Rayya memutar bola matanya.

Lagi-lagi kata berdua. Rayya paling tidak tahan bila Ibrahim melibatkan kata berdua setiap berbicara dengannya. Kata berdua membuat pendiriannya goyah. Kata berdua juga mempunyai arti Rayya akan selalu diikutsertakan dalam setiap rencana masa depan Ibrahim.

Rayya menunduk karena apa yang dia katakan tidak sepenuhnya salah. Ditambah kata-kata mantan suaminya di telepon ketika dia sedang emosi. Abang akan perjuangin kamu lagi. Bagaimana Rayya tidak luluh?

"Aku belum bilang setuju, ya." Ibrahim terkekeh.

"Iya iya. Makan gih martabaknya." Helaan napas ringan keluar dari mulut Rayya. Lega karena Ibrahim berhenti membahas perihal kesempatan kedua.

"Tapi nggak ada garpu. Hand sanitizer juga nggak ada. Bentar, aku ambil ke atas. Abang masih mau di sini?"

"Masih. Abang mau lihat kamu makan martabak dulu baru pergi. Tapi Ray, please jangan ajak Abang ke apartemen kamu lagi, ya. Mau Abang, mau laki-laki lain, nggak boleh. Bahkan Romi nggak boleh masuk ke unit kamu. Kecuali Papi. Ingat itu, Ray. Hanya Papi."

Kini giliran tawa Rayya yang meledak. Akhirnya Ibrahim bisa melihat bibir perempuan yang dirindukannya beberapa hari ini tertarik ke kiri dan kanan. Matanya juga ikut tertawa. Si duda muda itu bisa berlama-lama memandang pemandangan indah di depannya.

Ibrahim, get yourself together, perintah Ibrahim menyadarkan dirinya sendiri.

"Iya, iya. Aku udah kapok kok bawa Abang ke unit aku. Nggak lagi deh. Padahal dulu waktu kita masih bersama rasanya biasa aja tuh. Aku tenang-tenang aja. Malah sekamar. Justru setelah kita pisah malah jadi aneh. Perasaanku nggak tenang waktu Abang di dalam apartemenku."

"Itu artinya kita masih dijaga, Ray, dari hal yang nggak baik. Makanya waktu itu kita dikasih perasaan nggak nyaman."

"Setelah aku pikir-pikir, Abang benar juga. Waktu itu aja Romi mau ngikutin aku ke lantai 15 langsung aku larang kok."

"APA?! Romi mau masuk ke unit kamu, Ray?" Si Duda sewot. Justru Rayya malah tertawa.

"Dia pikir karena dia sering masuk kamarku dulu waktu di Bukittinggi jadi-"

Unfinished Business [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang