"Papi, Mami," sorak Rayya dari kejauhan.
Papi Rayya mendorong satu koper hitam di tangan kanannya dan merentangkan tangan kirinya menyambut pelukan si anak gadis. Mereka melepas rindu seakan tidak bertemu bertahun-tahun. Kemudian pelukan hangat lain Rayya labuhkan pada Sang Mami.
Rayya kembali menjadi anak kecil ketika berhadapan dengan mereka yang telah membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Sifat manjanya otomatis keluar. Dia anak dari orang tuanya lho. Tidak ada salahnya, kan?
"Anak Mami yang paling cantik." Setelah berpelukan, Ibu Bestari mencium kening dan kedua pipi anaknya. Sebuah tas kertas yang dibawa Mami Rayya langsung berpindah ke tangan anaknya. “Nih pesanan kamu.”
“Asyiiiik. Makasih Mami." Manjanya Rayya membuat Ibrahim diam-diam tersenyum.
"Rayya anak Papi. Sehat, Nak? Makin kurus Papi lihat. Nih buktinya. Pipinya makin cekung. Makannya nggak teratur, ya?" Pak Hamdan merangkul erat si anak gadis berjilbab mocca dan mencium kening Rayya.
"Rayya makan teratur kok, Pi. Papi nih, makin buncit aja tuh perut. Mami, ada nggak larang Papi untuk nggak makan gulai tunjang* sama sampadeh gajeboh**??"
"Ada. Tapi kalau Papi kamu makan di luar, Mami nggak tahu deh dia makan apa aja sama temen-temennya. Pusing Mami."
Rayya menghadiahi papinya bibir monyong tanda protes.
"Bram. Apa kabar?" tanya Pak Hamdan dengan suara berat berwibawanya.
Ibrahim menyambut uluran tangan Pak Hamdan dan membawanya ke dahi dengan khidmat dan hormat. Pak Hamdan, sang mantan bapak mertua yang sudah ia anggap papa sendiri.
"Alhamdulillah baik, Pi. Papi sehat?"
"Alhamdulillah. Yah, gini lah kalau sudah kepala enam. Makannya nggak bisa sembarangan." Pak Hamdan terkekeh. Ibrahim ikut tertawa kecil.
"Halah, Papi ngomongnya ke orang gitu. Mami yang deg-degan setiap Papi ngeluh sakit kepala dan memdadak lemes. Tahu-tahunya, makannya nggak dijaga. Kolesterol tinggi pas diperiksa. Papi kamu memang begitu, Ibram."
Hati Ibahim menghangat ketika dia masih dianggap anak oleh dua orang tua ini. Padahal, setahun tidak bersua bukanlah waktu yang singkat.
"Papi nggak ada temen mancing sekarang." Wajah Ibrahim seketika menyesal.
"Kalau ada waktu, Ibram akan ke Bukittinggi dan kita pergi mancing, Pi."
Janji apa yang kamu buat, Ibrahim? Jangan janji pada Papi bila akan sulit untuk dipenuhi.
"Mami gimana, sehat kan?" Giliran punggung tangan Bu Bestari yang dibawa Ibrahim ke keningnya.
"Alhamdulillah Nak Ibram. Anak Mami makin ganteng aja." Mami menepuk-nepuk kecil pundak Ibrahim yang setinggi kepala Mami Rayya. Yang dipuji malah garuk-garuk kepala.
"Makasih, Mi."
"Mama buatin rendang daging sama rendang paru kesukaan Ibram." Mata Ibrahim berbinar-binar. Dia memang suka hampir semua masakan Bu Bestari. Apalagi rendang buatan beliau.
"Beneran Mi? Nggak merepotkan Mami? Buatnya kan lama."
"Ya enggak dong. Ini anak juga suka." Bu Bestari menunjuk Rayya. "Jadi sekalian Mami bikin banyak. Ada ayam goreng kesukaan Rayya juga. Nanti bawa pulang ya, Bram."
Rayya yang bergelayut manja di lengan maminya diam-diam memperhatikan kedekatan Ibrahim dengan kedua orang tuanya.
Seandainya saat-saat bahagia seperti ini dipindah ke masa lampau, mungkin kami berdua... Astaghfirullah. Kamu nggak boleh berandai-andai, Rayya. Setan makin suka bikin kamu mengkhayal yang enggak-enggak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unfinished Business [Completed]
RomanceApa jadinya ketika mantan suami dan mantan istri dipertemukan takdir sebagai bos dan staf? Ini adalah cerita tentang dua manusia yang masih mempunyai urusan yang belum selesai di antara mereka. Mereka bisa menyelesaikannya nggak ya? Atau malah frasa...