Propose

2 0 0
                                    

Malaka mengerjap pelan. Perlahan pandangannya menjadi jelas. Ia menatap laki-laki yang tengah berbincang dengan ibunya di ujung kasur. Tidak hanya laki-laki itu dan ibunya saja, melainkan juga ada wanita paruh baya lainnya sedang duduk di kursi di samping meja tempat Malaka meletakkan laptopnya.
Laki-laki itu, Andra, terdiam menatap Malaka yang terbaring di kasurnya. Sedang dua wanita paruh baya, ibu Malaka dan juga mamanya, keluar dari kamar Malaka. Menyisakan dua insan yang dilingkupi canggung.

Andra mendekati Malaka yang telah duduk di atas kasurnya sendiri.

“Gimana keadaan kamu?” tanya Andra sambil tersenyum.

Senyum itu ternyata menular. Malaka ikut tersenyum pada laki-laki itu.

“Ya... gini,” ucap Malaka pelan. Ia masih mencerna keadaan di sekelilingnya.

“Kamu seminggu ini istirahat bener nggak sih?” Malaka terkesiap mendengar ucapan Andra.

“Istirahat kok, ”

“Tapi kamu masih bikin konten loh, La..” ujar Andra.

“Cuma yang udah booking aja kok. Kenapa?”

Malaka bangkit dari ranjang. Gadis itu keluar ke balkon kamar diikuti oleh Andra. keduanya mengambil duduk  di dua bean bag yang ada disana.

“Gue panik tau waktu telpon tadi pagi. Lo muntah-muntah sambil nangis kayak gitu, gue pikir kenapa. Jangan gitu lagi ya, La.” Malaka tersenyum menatap pada Andra. laki-laki itu nampak khawatir, Malaka bersyukur. Artinya ia sudah tak marah lagi.

“Maafin gue ya, hehe...”
“Maafin gue udah bikin lo panik. Maafin juga udah bikin lo tersinggung waktu itu. Maafin aja ya hehehe...”Malaka tersenyum pada Andra.

“Gue maafin, pokoknya jangan diulangin aja.”

Keduanya saling mengangguk. Diam dalam keheningan yang meyerbu hari yang hampir gelap itu.

“Soal lamaran itu--” Malaka menggantung ucapannya sampai Andra menghadap ke arahnya.

“Kamu mau? Kalau nggak mau nggak perlu dipaksain kok. ” ucap Andra.

Malaka menggigit bibir bawahnya. Ia menjadi takut dan terselip rasa takut di dalamnya.

“Udah nggak berlaku ya?” tanya Malaka lirih.

Andra menatap Malaka heran. Gadis itu nampak lebih diam dari biasanya, ”Padahal gue pengen nerima.” Andra terbelalak mendengar penuturuan Malaka.

“Gimana?”

“Gue mau nikah sama lo hehe... ” hening itu datang lagi.

“E.. t-tapi kalau lo udah nggak pengen ya udah sih nggak papa hehe...” ujar Malaka memecah keheningan di antara mereka karena Andra nampak shock.

“Enggak enggak. Masih berlaku kok,” 

oOo

“Malaka!” suara Andra menggema di seluruh sudut lapangan.

Lelaki itu mengedarkan pandangnya ke seluruh sudut lapangan. Mencari keberadaan teman kecilnya, Malaka.
“Malaka stop it!” Andra berteriak makin kencang mengetahui Malaka yang terus berlari mengelilingi lapangan di malam yang dingin.
Malaka tak bergeming. Ia tetap melanjutkan  apa yang ia kerjakan. Berlari kencang hingga nafasnya terdengar dari kejauhan.
Andra berlari berlawanan arah dengan Malaka. Lelaki itu mencoba menghadang Malaka. Sayangnya Malaka berhasil berputar arah dan lari keluar lapangan. Membuat Andra menggeram frustasi.
“Malaka, You’re such a crazy women I know!” Andra berteriak pada Malaka yang sudah jauh di luar.
Merasa sia-sia, laki-laki itu kembali mengajar Malaka. Nampaknya gadis itu berlari ke rumahnya sendiri. Andra merasa agak tenang. Setidaknya ia tidak akan kehilangan Malaka jauh-jauh. Lantas ia pelankan langkah kakinya.
Sekembalinya Malaka bersama adiknya dari pertemuan keluarga ia menghilang. Ternyata ia berada di lapangan perumahan. Sedang berlari sedari lepas maghrib hingga hampir tengah malam. Tentu saja itu membuat khawatir keluarganya juga keluarga Andra. Lebih-lebih Dean, adik Malaka. Ibu mereka sedang menginap di rumah besar. Wanita itu belum diberitahu tentang kondisi Malaka. Tentu saja Dean tak ingin membuat ibunya khawatir, tetapi ia mengutuk banyak-banyak kebodohan yang diperbuat oleh kakaknya ini. Dean benar-benar jengah, namun rasa takut kehilangan Malaka juga tak dapat dibendungkan.
Malaka tiadak pernah merasa baik dengan keluarga besarnya. Bahkan jika bisa tidak bertemu ia tidak akan bertemu dengan mereka. Malaka merasa begitu jengah dengan kebohongan-kebohongan yang digulir oleh orang-orang yang berbagi DNA dengannya itu. Ia jengah, lelah, ingin menyerah dan berhenti.
Andra tertegun ketika sampai di depan rumah Malaka. Nampak keributan disana. Orang tuanya dan belarian ke halaman belakang rumah Malaka. Nampak pula adiknya yang gemetar di dekat pintu samping rumah Malaka.
“Rin!” Andra menghampiri adiknya itu.
“Ada apa?” Andra dekap sang adik yang nampak ketakutan.
“Sherin ada apa?” merasa tak mendapat jawaban Andra beranjak meninggalkan Sherin.
“Kamu duduk aja di dalem,” ucap Andra pada Sherin sambil berlalu.
Andra belari ke halaman belakang. Keributan itu semakin nampak di hadapan Andra. Andra terlejujut, ia terperangah, mendadak menjadi bisu dan kaku.
“Malaka...”
Nampak Malaka yang basah sekujur tubuhnya dan tak sadarkan diri  di tepi kolam renang. Di atas gadis itu nampak Dean menekan dada Malaka beberapa kali dan memberi nafas buatan.
“Ma...” Andra menyentuh tangan mamanya yang nampak cemas dan hampir menangis.
“Andra, bawa Malaka ke rumah sakit. Dia tenggelam, tolong.” Butuh waktu beberapa detik bagi Andra untuk memahami perkataan sang mama.
“Andra CEPAT hiks!” Andra bergerak maju ke arah Malaka dan Dean.
“Dean, ke rumah sakit ayo!” ucap Andra sambil mengambil posisi akan menggendong Malaka.
“Dia belum bernafas, airnya belum keluar!” ucap Dean setengah panik.
Andra memberi aba-aba pada Dean untuk menyingkir. Sedang ia segera menggantikan Dean untuk memberikan pertolongan pertama pada Malaka.
“Malaka hei!” Andra memanggil nama gadis itu sambil memberikan CPR.
“Sudah kau lakukan berapa lama?” tanya Andra pada Dean.
“Sekitar dua menit.”
Andra nyaris frustasi. Akhirnya lelaki itu menekan dada malaka lebih keras sampai terdengar suara ‘bug’
“Andra, sialan!” Dean memekik sambil menepis tangan Andra dari Malaka melihat apa yang telah lelaki itu perbuat pada kakaknya. Bagaimana jika terjadi sesuatu pada Malaka karena perbuatan Andra barusan.
“Huk! Huk!” Malaka terbatuk. Ia mengeluarkan air dari mulut dan juga hidungnya. Gadis itu terengah.
Andra kembali pada Malaka. Mengusap wajah gadis itu pelan. “Malaka, can you hear me? Lo denger gue?” tidak ada sahutan dari Malaka. gadis itu tidak bergeming dengan mata yang terpejam dan nafas yang tinggal satu dua. 
“Andra cepat bawa ke rumah sakit. Mobilnya sudah siap di depan!” Andra segera menyelipkan kedua tangannya pada leher dan luturt Malaka. Menggendongnya setelah menenagr ucapan sang ayah.
Mobil Malaka dikendarai oleh ayah Andra. Sedang di Andra duduk di depan dan Dean di belakang memangku kepala kakaknya. Mobil itu membelah jalanan dengan tergesa.
“Dia nggak bernapas,” ,ucap Dean lirih di tengah keheningan itu.
“Apa?” Andra dan ayahnya terbelalak mendengar ungkapan Dean.
“D-dia nggak nafas. G-gue harus gimana?” tanya Deak panik sambil mengusap telapak tangan Malaka yang dingin.
“Kasih nafas buatan! Kasih nafas buatan.” Ujar Andra panik.
Dengan tergesa dan panik Dean memberi nafas buatan pada Malaka. Sedang Andra mengusap agak kencang telapak tangan Malaka.
“Kita sampai!” ucap ayah Andra. Dengan segera mobil yang mereka kendarai berhenti di depan UGD. Andra segera keluar dari mobil, begitu pula ayahnya. Ia segera membuka pintu uuntuk mengeluarkan Malaka dari dalam mobil.
Malaka segera degiring ke UGD sesaat setelah diletakkan pada sebuah brankar.
“Kamu temenin Malaka sama Andra ya. Om parkir mobil sebentar.” pesan ayah Andra pada Dean yang nampak bergetar di samping mobil.
Dean mengusap wajahnya kacau setelah mobil kakaknya beranjak pergi. Laki-laki itu tak mengira Malaka akan senekat ini. Dengan lemah ia duduknya dirinya di kursi tunggu di depan UGD. Beberapa orang menatapnya keheranan. Baju yang basah, wajah yang pucat, dan tubuh yang gemetar tak pakai alas kaki pula. Ia hampir-hampir seperti orang tenggelam.
“Dean, Andra mana?” suaura ayah Andra menginterupsi dirinya.
“Di dalam, Om. Menemani Malaka.” ucap Dean. Ia masih sedikit shock dengan ini.
Ayah Andra mengusap bahu Dean pelan. “Kamu tenangin diri dulu disini atau ke kantin cari sandal. Om ke dalam urus administrasinya. ”
“Om,” langkah ayah Andra terhenti karena panggilan Dean.
“Dia nggak akan mati kan? Malaka-”
“Dia akan baik-baik saja. Tenang aja.” Ucap ayah Andra meyakinkan Dean.
“Ini, kamu ke kantin beli sandal sama teh anget. Badan kamu gemeter,” ucap ayah Andra sambil menyerahkan satu lembar uang senilai lima puluh ribu rupiah.
“Terimakasih, Om.”
Ayah Andra berlalu meninggalkan Dean setelah mengusap kepala laki-laki yang sudah ia sanggap sebagai anaknya itu. Pria setengah baya itu lantas masuk ke ruang UGD. Di dekat pintu masuk nampak anak lelakinya, andra, tengah menulis sesuatu di meja administrasi.
“Gimana?” tanya ayah Andra pada putranya yang baru saju menyerahkan beberapa lembar halaman yang telah ia tandatangani kepada petugas.
Andra menghela nafas, “Masih ditangani dokter.”

oOo

“La,” ucap Andra sambil menggenggam tangan gadis yang baru saja menerima lamarannya itu.
“hm?”
“Aku inget kapan pernah ambil ciuman kamu dulu,” ucap Andra pelan.
Malaka diam sambil tersenyum getir.
“Tolong jangan lakuin itu lagi ya. ” lirih Andra sambil menatap wajah gadisnya.
“Gue takut kehilangan lo. ”

MALAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang