Care

6 0 0
                                    

Usai percakapan manis di balkon sore itu Malaka dan Andra pelan-pelan kembali seperti dulu. Sesekali mereka akan berkirim pesan. Keduanya juga telah menyampaikan keinginan dan persetujuan menikah kepada masing-maisng keluarga. Tentu saja itu mendapat tanggapan yang baik. Mereka saling bersyukur.

Hampir dua minggu Malaka tidak berangkat bekerja ke butik. Ia hanya mengawasi saja dari rumah. Semua diserahkan kepada Sarah. Hari ini gadis itu akan mulai kembali bekerja di butik. Tubuhnya memang belum benar-benar fit, tetapi sudah jauh lebih baik. Ia memilih untuk tak berlama-lama beristirahat karena itu membosankan baginya.

Di meja makan, Malaka memakan sarapannya, setangkup sandwich coklat dan keju cheddar.

"Kemarin ibu ngobrol sama mamanya Andra," ucap ibu.

"Bagaimana kalau kalian lamaran secepatnya?" tanya ibu.

Malaka menelan rotinya, "Aku nggak pengin ada lamaran. Langsung menikah saja."

"Kenapa begitu, suudah dibicarakan dengan Andra?"

"Sudah, semalam. Pekerjaan kami padat, mendaftarkan pernikahan di kantor juga butuh waktu, belum lagi di KUA. Pekerjaanku numpuk karena sakit kemarin. Aku nggak mau nambah pikiran dengan acara lamaran. Kalau mau menentukan tanggal dan sebagainya kami rasa lebih baik dibicarakan dua keluarga saja, tidak perlu banyak orang, tidak perlu acara formal."

"But it's your wedding, Malaka!"

"Yah, because it's my wedding I want it to be simple."

Ibu Malaka menghela nafas. "Kamu yakin?"

"Sure. Aku nggak mau bertele-tele."
- Aku nggak mau berubah pikiran- tambah Malaka dalam hati.
Keduanya terdiam sesaat.

"Yaudah nanti coba ibu bicarakan sama mamanya Andra baiknya bagaimana."Malaka menagngguk.

Melirik jam dinding, sekarang sudah pukul 7. Ia harus bergegas sebelum jalanan semakin macet dan membuat emosinya membeludak.

"Aku berangkat. Asslamu'alaikum." Pamit Malaka pada ibunya. Ia kecup punggu tangan sang ibuu dan memberikan wanita itu senyuman manis.

Malaka berangkat dengan ojek online. Tubuhnya masih belum memungkinkan untuk berkendara sendiri. Sewaktu-waktu rasa sakit di kepalanya bisa hinggap. Ia tak mau mengambil resiko. Sebenarnya ia tak mau membuat orang lain celaka karena dirinya. Itu saja.

Malaka memperhatikan jalanan yang ramai oleh pengendara. Ada pengendara sepeda, mobil, motor, angkutan umum, dan sedikit diantara mereka yang berjalan kaki. Sebagian dari mereka adalah orang-orang yang akan berangkat bekerja. Dan segelintir diantaranya mungkin orang-orang tua yang menghabiskan waktu pagi dengan berkeliling kawasan untuk mencari hangat mentari pagi.

Malaka tersenyum dari balik kaca helemnya. Gadis itu menjadi sangat nyaman dengan perjalanan yang ditemani hangat mentari kali ini. Sesekali ia tertawa hingga membuat pengendara ojeknya mengeryit keheranan, tetapi ia sesekali ikut tertawa. Kebahagiaan Malaka seolah menular.

"Makasih ya, Pak." Ucap Malaka pada lelaki setengah baya yang telah mengantarkan dirinya hari ini.

Bapak ojek itu tersenyum, "Terimakasih kembali, Mbak. "

Malaka masuk ke butik. Ia disambut oleh teriakan dari Balqis. Fotografer itu terkejut melihat Malaka ada di depan pintu.

"Mbak Malaka! ya ampun akhirnya..." Malaka terkekeh melihat Balqis yang berhambur memeluknya.

Gadis itu tergelak, "Hai!"

"Aduh... mbak lama banget nggak masuk. Aku sampe pangling liat mbak tadi. Sekarang mbak jadi kurusan gini...." ucap Balqis membuat Malaka tertawa.

"Iya nih, turun lima kilo. Lumayan kan ya nggak usah diet hehehe..."

"Lima kilo?" Balqis terpekik heboh.

"Biasa aja ih. Yang lain pada kemana nih?" tanya Malaka melihat tidak ada tanda-tanda kehidupan lain itu bangunan ini.

"Oh, itu Mbak Sarah sama Hana lagi keluar, beli pentol bakar." Ucap Balqis.

"Pentol bakar? Sepagi ini siapa yang jualan?" tanya Malaka terheran.

"Um... bukan beli sih, cod gitu di gang sebelah. Itu yang jualan temennya si Hana. " terang Balqis.

"Oh.. yaudah kalau gitu aku ke dalem dulu. " Malaka meninggalkan Balqis di galeri depan setelah mendapat persetujuan.

Jantung gadis itu mendadak berdegup kencang. Ada rasa aneh di dalam sana. Bagai ia kembali bertemu kekasih hati setelah sekian abad berpisah. Ah itu mungkin terlalu berlebihan, tetapi Malaka benar-benar merindukan suasana kantor ini. Butiknya yang dua minggu ini ia tinggalkan bagai memiliki sihir indah yang membuat mata dan hatinya berbinar kesenangan.
Malaka duduk di kursinya. Memandang ruangannya yang selalu rapih. Sepertinya Sarah jarang menggunakan ruangan ini. Karena sebenarnya masing-masing orang yang bekerja disini memiliki meja sendiri. Itu terletak di samping galeri belakang. Berdekatan dengan musholla.


Drt.... drt...
Andra menelpon. Malaka mengeryit heran.

"Halo?" buka Malaka.

"Kamu kerja?" tanya Andra di seberang sana.

"Iya."

"Kenapa udah kerja? Kemarin masih pucet gitu." Sungut Andra.

"Udah baikan kok ini. Berangkatnya juga pakek gojek, jadi nggak kenapa-kenapa. "

"Ck-" decak Andra kesal.

"Udah deh, Ndra.. jangan diributin masalah kayak gini doang mah. Aku loh nggak kenapa-napa. I'am totally okay."

"Tapi aku nggak, mama nggak, ibu nggak, papa nggak. Semua orang khawatir sama kamu loh." Nada suara Andra sedikit naik. Membuat Malaka menghela nafas.

"Aku nggak bisa lama-lama diam di rumah. Rasa sakit ini aku yang alami, aku yang bertanggung jawab atas ini. Kamu nggak perlu, kalian nggak perlu. " ucap Malaka pelan.

Hening yang lama setelah itu. Malaka merasa takut tentu saja. Mungkinkah dirinya kembali salah? Pikir Malaka semakin tak terkendali. Malaka meremat kepalanya yang terasa berat. Pandangan matanya memburam, dadanya sesak. Seolah udara tak mau masuk ke paru-parunya.

"Malaka" suara Andra kembali terdengar.

"Khem, iya"

"Aku minta maaf. Kalau gitu kamu hati-hati ya. Jangan kecapean, nanti aku jemput." Ucap Andra.

"Iya, terimakasih."
Malaka menutup teleponnya dan meletakkan benda persegi panjang itu di meja. Malaka mendesah melepas rasa sakit di kepalanya. Ia tidak menyangka sedikit ketegangan saja bisa membuat kepalanya terasa berdentum keras, sakit. Malaka mengusap wajahnya, frustasi. Lagi-lagi semua terasa berputar saat Malaka membuka mata membuat ia kembali menutup kedua matanya erat.

Malaka merasa jengah dengan segala rasa sakit di tubuhnya. Ia ingin berhenti saja, dari ini semua.


MALAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang