Tidak Ada Pembantu

20 7 0
                                    

oOo

Malaka tidak bisa tidur. Semalaman ia terjaga. Suasana hatinya tak menentu. Tapi ia tak ingin diam saja.

Gadis itu membuat video semalaman. Mulai video tutorial makeup sampai review makeup yang baru saja sampai dua hari yang lalu. Ia tetap profesional. Reviewnya tetap jujur. Hasil makeup nya tetap bagus. Gadis itu begitu istimewa.

Pagi ini, jam enam. Malaka sudah bersiap hendak berangkat bekerja lagi. Tidak, sebenarnya ia ingin menghabiskan waktu—bensin maksudnya—untuk sekedar keliling kota bersama ibu. Niatnya sih begitu.

Tapi gagal. Ibu mendapat kabar bahwa Marsya melahirkan semalam. Pagi ini ibu berniat menjenguk Marsya dan bayinya di rumah sakit. Lalu Malaka?

Malaka hanya mendengus saja. Tak menanggapi apa-apa. Terlebih saat berbelok ke ruang keluarga yang merangkap ruang tamu, Malaka sudah melihat adik semata wayangnya bersama dengan istri dan anaknya.

"Enak sekali. Berkunjung seperti tamu!" gerutu Malaka dalam hati.

"Pagi, Mbak." sapa Rachel, adik ipar Malaka. Malaka hanya mengangguk singkat.

Setelahnya Malaka berbalik kembali ke dapur, menemui ibu. Di dapur ibu sedang memasak. Ada dua gelas teh hangat yang ia duga untuk adik dan juga adik iparnya yang sedang duduk manis di ruang tamu seperti taja dan ratu.

Malaka menghela nafas. Ia benar-benar frustasi sekarang. Rasanya kepalanya pusing sekali.

"Ibu hari ini jenguk Marsya?" tanya Malaka sambil membumbui sop yang masih di masak di atas kompor.

"Iya. Sama adikmu itu nanti." jawab ibu sambil mengaduk gula yang baru di masukan ke cangkir teh hingga larut.

Malaka mengangguk sambil bergumam untum menanggapi jawaban ibunya "Hnm"

"Kamu nanti ikut sekalian ya?" tawar ibu hati-hati.

"Nggak deh, Bu. Aku capek. " jawab Malaka membuat ibu membuang nafas. Ia cukup tahu, tapi juga lelah terus melihat sikap putrinya, Malaka, yang semakin hari semakin tertutup.

"Sebentar aja. Cuma basa basi aja," bujuk ibu. Namun, Malaka tak peduli.

"Ini buat mereka kan?" tanya Malaka memastikan dua cangkir teh di atas nampan adalah untuk adik dan adik iparnya pada ibu.

"Iya."

"Biar aku bawa." Malaka meraih nampan berisikan dua cangkir teh dan beberapa biskuit. Malaka beranjak pergi dari dapur. Ia berjalan menuju ruang tamu.

Prang!!!

"Huaaaa"

Nampan beserta isinya berhamburan. Disusul suara tangis bayi berusia satu tahun yang merupaka anak Dean dan Rahel, Hasna.

"Ada apa ini?" ibu tsrgopoh gopoh melihat ke ruang tamu.

"Anjing!" umpat Dean pada Malaka.

"Mas!" peringat Rachel pada suaminya, adikku, yang mengumpati Malaka di depan bayi mereka.

"Kalau kalian merasa bagian dari keluarga ini seharusnya kalian ikut bantu ibu di dapur. Minimal kalian bersihin ini semua." ucap Malaka datar sambil melirik pecahan kaca dari gelas dan piring yang berhamburan di lantai karena ulahnya.

"Sialan. Anjing, Lo. Sampah! Lonte!" maki Dean semakin geram pada Malaka sambil mencengkram kerah baju Malaka.

Malaka hanya menatap Dean datar bergantian dengan menatap adik iparnya yang masih menenangkan Husna yang masih sesenggukan.

"Kenapa sih beranten terus? Capek ibu lihatnya. " ucap ibu dengan emosi. 

"Mas, udah. Jangan gitu." bujuk Rachel pada Dean. Membuat Malaka benar benar jengah pada laki-laki brengsek di hadapannya.

"Udah? Mending lo beresin ini semua. Buat diri kamu berguna di rumah ini." ucap Malaka datar karena Dean hanya menarik kerahnya saja, tidak kunjung bicara. Tentu saja Malaka jengah dan lelah.

"Lo yang bikin masalah, Bencong!" malaka berdecih mendengar jawaban adiknya yang tak bermutu. Sangat-sangat tidak bermutu untuk diucapkan satu-satunya laki-laki di rumah itu.

Srkk

Malaka menghempas kasar cengkraman tangan Dean pada kerah kemejanya. Selanjutnya ia berjalan ke belakang mengambil kresek dan kain pel. Ia harus membersihkan kekacauan di depan. Menunggu Dean atau Rachel membersihkan? Sama saja menunggu singa menjadi gajah. Tidak mungkin. Pasti akan berujung ibu lagi yang membersihkan. Jadi, lebih baik Malaka saja yang bertindak.

Ibu kembali ke dapur, melanjutkan memasak. Wanita itu sudah hapal dengan tabiat kedua anaknya. Jadi ia tidak akan bergerak banyak. Ia tahu putrinya itu sudah dewasa untuk menentukan ini dan itu. Selama tidak ada pertumpahan darah, ia rasa tidak masalah.

"Seenggaknya mulai sekarang kalian tahu. Di rumah ini, kalian tidak akan dapat makan atau minum jika tidak mengambilnya sendiri. " ucap Malaka sambil membereskan becahan beling di lantai.

"Dan Rachel, maaf membuatmu tak nyaman. Tapi di rumah ini tidak ada pembantu. Kami terbiasa melakukannya sendiri. Aku harap kamu mengerti karena kamu adalah bagian dari keluarga ini sekarang. Bukan orang lain." pesan Malaka pada adik iparnya yang mengangguk sungkan padanya. Malaka berlalu dari ruang tamu.

Gadis itu merasa tak enak pada Rachel sebenarnya. Tapi, jika tidak diberitahu seperti tadi Malaka tahu Rachel tidak akan bergerak. Wanita itu berada dalam kendali Dean jika tidak digertak.

"Ga usah didengerin. Orang gila kayak dia cuma sampah." Dean masih mengumpat tentang Malaka pada Rachel.

"Jangan gitu, Mas. Bener kata mbak Malaka. Aku jadi sungkan sama ibu sama Mbak Malaka." ujar Rachel. Ia merasa bersalah.

"Kamu itu di rumah ini istri aku. Kamu istri aku. Bukan pembantu. Ngerti." tekan Dean pada Rachel.

"Karena aku bukan pembantu. Karena aku istri kamu di rumah ini. Maka aku adalah bagian dari keluarga ini. Kamu yang membuat aku merasa jadi orang asing. " jawab Rachel tegas. Dean terdiam. Ia selalu kalah bicara dengan Rachel yang sudah geram.

Sedang Malaka dan ibu tersenyum mendengar dialog Dean dan Rachel. Mereka bersyukur sekarang Dean memiliki Rachel yang mau mengerti keadaan mereka dan tidak tinggal diam jika Dean salah. Rachel benar benar istri yang baik. Dia partner yang sempurna bagi Dean.

oOo

8 O 20
9 M 22

MALAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang