Veren Pasti Merindukan Aminya

8 2 0
                                    

Malaka menginjakan kakinya di rumah. Sudah tiga hari gadis itu tidak pulang. Ia memilih untuk tetap tinggal di butiknya karena—lagu-lagi—pesanan gaun pengantin yang harus segera selesai.

Gadis itu menghela napas lalu beranjak ke dapur, mengambil minum. Ia duduk di kursi dekat kulkas sambil meneguk segelas air. Pandangannya ia edarkan ke penjuru rumah yang nampak lengang. Mungkin ibunya sudah tidur. Hari sudah sangat malam saat ia sampai di rumah.

"Hhh... Mungkin aku harus mandi. " Malaka merasa kegerahan.

"Ah... Tapi males...." ia bermonolog sendiri.

"Baru pulang?" ucap ibu tiba-tiba.

"Ya ampun, Ibu bikin kaget." gerutu Malaka.

"Hehehe" ibu tetawa kecil.

"Iya. Aku mau ke atas ya," ucap Malaka hendak berdiri.

"Malaka, kemarin Andra dateng kemari. " ucap ibu menghentikan gerakan Malaka.

"Dia minta kamu ke ibu. "

Malaka diam. Begitu pun ibu.

"Aku mau ke atas aja, Bu. Ngantuk. " Malaka beranjak pergi.

"Ibu nggak tahu apakah harus melepas kamu atau nggak. Tapi ibu bilang ke dia, semuanya terserah sama kamu." tambah ibu. Malaka yang sudah berada di ujung tangga berhenti dan berbalik.

"Aku udah nolak dia, Bu." jawab Malaka tegas. Ia sudah menolak Andra dan tidak berharap menjadi seseorang yang lebih daripada sahabatnya.

"Aku ke kamar. Selamat malam. Ibu tidak perlu memikirkan apa pun. Istirahat saja." ucap Malaka lagi lalu benar benar pergi ke kamarnya.

Malaka menutup pintu lalu menghela nafas. Ia merasa jengah dengan sikap Ansea yang membuatnya tak nyaman. Bagi Malaka, menikah dengan Andra tidak pernah ada dalam list hidupnya.

Laki-laki yang bekerja sebagai polisi itu hanya ia anggap sebagai sahabat. Tidak lebih. Semua kebersamaan mereka selama ini tidak lebih daripada hubungan yang terjalin karena pertemanan. Dan Malaka tidak ingin lebih.

Hidup berdampingan bertahun-tahun—sebagai tetangga dan sahabat—membuat Malaka paham bagaimana tabiat laki laki itu. Andea tampan, baik, pengertian, tapi tidak pernah sekali pun masuk ke dalam kriteria laki-laki idaman Malaka. Meskipun sebenarnya Malaka tidak pernah memiliki kriteria khusus tentang itu.

"Apa dia bener-bener se-serius ini?"

oOo

Malaka adalah orang pertama yang mengatakan kepada Andra bahwa ia tak menyukai pekerjaan laki-laki itu. Saat Andra mendaftar di akademi dulu Malaka selalu menanyakan keputusan Andra. Terkesan sok ikut campur, tapi Malaka merasakan berat.

Namun seiring berjalannya waktu gadis itu semakin mengerti dengan pilihan Andra. Malaka mencoba memahami dan maklum. Tidak semua orang sepertinya. Toh ini cita-cita Andra dan Malaka sadar ia tak punya hak mengatur.

Keberadaan Andra di hidup Malaka 75% membantunya. Andra selalu ada dan menawarkan diri dalam kebanyakan hal. Memudahkan Malaka melakukan ini dan itu.

Kebaikan Andra tidak akan Malaka lupakan. Laki-laki itu sudah banyak berjasa baginya. Namun untuk menerima lamarannya, Malaka masih berat. Masih banyak yang harus ia pertimbangkan. Baik dari dalam Malaka mapun Andra.

'Drrtt...drtt...' handphone Malaka berdering.

Tertampang nama Sandi di layar handphone-nya. Malaka menggeser tombol hijau ke atas.

"Iya, San. Ada apa?"

"Malaka gue minta maaf." ucap Sandi di sebrang telepon. Malaka mengerutkan dahinya, tentu saja, ada masalah apa? Perasaan Malaka menjadi takut.

"Ada apa?" tanya Malaka lagi.

"Veren... Biarin dia tetep sama gue. Gue nggak bisa jauh dari dia hiks... Dia butuh gue. "

Malaka membeku. Kenapa tiba-tiba?

"A-ada apa, San. Kenapa?" suara Malaka bergetar. Gadis itu tiba-tiba putus asa.

"Maafin gue. Gue takut, Malaka. Gue nggak pengen anak gue kenapa-napa." ucap Sandi masih sesenggukan.

"Jangan mencoba adopsi anak lagi."

"Malaka, ayo menikah denganku. Jika kau menginginkam seorang anak, aku akan berikan."

"Aku cuma ingin kamu hidup seperti orang orang pada umumnya di sini. Memiliki anak tanpa suami akan menyulitkan kamu sendiri nanti,"

"Apa ini ada hubungannya dengan Andra?" Malaka tercekat.

Tak ada sahutan dari seberang sana. Hanya ada isakan tertahan.

"Sandi!"

Please..." lirih Malaka. Ia benar-benar putus asa.

"Malaka aku putus asa saat mengatakan akan memberikan Veren padamu. Namun aku menyadarinya sekarang. Aku tidak bisa jauh dari mereka. Mereka anak-anakku. Maafkan aku harus  membuatmu terjatuh setelah kuterbangkan.

Aku tidak menginginkannya sebenarnya. Tapi, perasaanku dan egoku sebagai ibu tidak mengizinkanku untuk jauh dari bayiku. Malaka, maafkan aku."

"Malaka, kau masih disana?" tanya Sandi karena tak mendapat balasan.

"Malaka?"

"Malaka, maafkan aku." 

"Malaka!"

"Ya?" balas Malaka lirih.

"Kau baik-baik saja? Maafkan aku." sesal Sandi. Ia amat sangat menyesalinya. Ia tahu Malaka kecewa. Pasti kecewa. Ia sudah hampir memberikan putrinya kepada Malaka untuk diasuh dan dibesarkan oleh gadis itu. Namun, sekarang ia membatalkannya. Mengambilnya kembali bahkan sebelum benar-benar ia berikan. Ia merasa bersalah pada Malaka.

"Tidak apa, Sandi.

A-ku akan mencoba memahaminya. Maafkan aku telah membuatmu nyaris terpisah dengan putrimu. Akan kucabut pengajuannya dari pengadilan. Kau jangan menghawatirkan apa pun." ucap Malaka pelan. Keputusasaan telah menelannya bulat-bulat hingga tenggelam.

"Terimakasih, Malaka."

"Aku yang seharusnya berterimakasih. Aku akan berkunjung besok."

"Hm, berkunjunglah. Veren pasti rindu pada aminya."

"Ya. Terimakasih, Sandi."

"Aku yang berterimakasih."

.
.
.

Tiba tiba aja pengin up.
Nggak tahu kenapa sih.
Btw sekarang siang siang. Baru seselai kelas. Capek banget. Lari lari beli kuota data. Pengen nangis aja.

Capek banget ya ternyata kuliah. Hehe

Revisi 7 Maret 2022
Luv

MALAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang