Kita dan Mereka (1)

1K 131 146
                                    

"Kau tau apa yang lebih menyakitkan? Saat kita mendengar kalimat tidak mengenakan, tapi kita tak bisa berbuat apa-apa selain diam. Sebab keadaan, memaksa kita untuk diam."
• Kita dan Mereka •

༺༻

Namaku Stella Cornelia Agatha, umurku sepuluh tahun. Ya, tepat tahun ini aku menginjak kelas tiga di sebuah Sekolah Dasar Negeri di kotaku. Aku berharap ada seseorang yang mengerti, bahwa untuk sampai disini bukanlah hal yang kuingini. Aku harap kamu hanya perlu mengerti, bahwa jika kamu bisa memakan sesuap nasi dan tidur disebuah rumah yang nyaman tanpa harus ketakutan. Maka kamu adalah salah satu hal yang akan aku irikan. Sebab untuk semua itu, aku masih belum cukup mampu.

Jangan pernah menebak, sebab belum tentu apa yang kau pikirkan sama dengan apa yang aku rasakan. Jadi, aku ingin mengajakmu berkeliling dihidupku. Hidup yang teramat sederhana, jika kau ingin pergi, pergilah. Sebab aku hanya ingin bersama orang-orang yang benar-benar setia bersamaku.

"Stella!" panggil Erika membuatku yang sedang menulis lantas mengalihkan pandangan.

Namanya Erika, dia sudah tidak memiliki ibu dan sekarang ia hanya bersama dengan ibu tirinya. Papahnya bekerja di luar kota, yang kalian harus tau adalah ibunya tak pernah memberi makan padanya. Hanya ayahnya yang memberikan uang lima puluh ribu untuk kehidupannya. Tak usah di bayangkan, karena aku rasa menjadi dia pasti amat menyakitkan.

"Ada apa?" balasku sambil tetap menulis apa yang ingin aku tulis.

"Pulang sekolah kita pergi ke cafe yuk!" ajaknya, namun membuatku seketika menghela nafas.

Aku melihat apakah ada uang di sakuku, namun yang tersisa hanyalah uang dua ribu. Mana mungkin uang dua ribu rupiah cukup dan mampu membeli makanan, bahkan minuman di sebuah cafe?

"Aku tidak ikut dulu yaa," balasku sambil mencoba tersenyum.

"Dia mana mungkin punya uang, kamu salah ajak orang!" tukas seseorang yang menyela pembicaraan ku dan Erika.

Namanya Bianca, dia ketua kelas dan juga seseorang yang kaya raya. Selain memiliki orang tua yang kaya, Bianca juga memiliki otak yang cerdas. Terkadang aku iri dengan hidupnya, mengapa ia bisa begitu sempurna?

Ah, hanya satu. Hanya satu yang paling aku tidak suka dari Bianca. Dia, dia seseorang yang senang sekali berbicara tanpa pernah memikirkan perasaan lawan bicaranya.

"Hust! Ga boleh gitu tauk!" tutur Erika lalu mengalihkan pandangannya ke arahku.

"Dia benar Erika. Aku hanya gadis biasa, tidak sama sepertimu dan dirinya. Apa yang Bianca katakan adalah sebuah kebenaran, bahwa aku tak akan mampu membeli apapun disana sebab tak memiliki uang yang cukup."

Aku sudah di didik dewasa bahkan sebelum masaku tiba, ya memang rasanya menyakitkan ya. Namun aku percaya, Tuhan adalah maha baik. Sebab itu aku persembahkan cerita terbaik ini kepada Tuhan, cerita terbaik yang ia rancang dengan penuh nikmat dan rasa syukur yang aku ucapkan.

"Gapapa, nanti kalau besar kamu kan bisa jadi orang kaya."

Aku hanya tersenyum mendengar penuturan Erika, apakah aku bisa menjadi seseorang yang kaya raya? Seperti apa rasanya hidup mewah tanpa direndahkan?

"Kalau orang dari awalnya miskin, susah buat jadi orang kaya!" ketus Bianca, membuyarkan ku dari khayalan.

Bianca benar, siapa aku? Berani-beraninya berkhayal bisa menjadi orang kaya. Aku bahkan kesulitan untuk makan, bagaimana bisa aku bercita-cita menjadi seseorang yang kaya?

Guru datang membuatku lantas segera masuk bersama lainnya. Semua awalnya biasa saja, sampai pada akhirnya guru itu menatap ke arah sepatu bututku dan berkata oleh perkataan yang membuatku ingin menangis.

Ya, sesekali aku ingin menangis. Tapi ayah berkata bahwa aku kuat dan tidak cengeng, jadi bolehkah sekarang putrinya menjadi wanita yang cengeng? Sekali saja.

"Sepatu kamu udah butut Stella, kamu gak mau ganti? Ibu lihatnya sampai jijik," ujarnya frontal membuat semua isi kelas memandang kearah sepatuku.

Kau tau apa yang menyakitkan? Saat aku ingin membalas perkataan, namun aku disadarkan dengan keadaan dan terpaksa hanya bisa untuk diam.

"Stella belum punya uang. Nanti kalau Stella punya uang, Stella akan beli sepatu baru, Bu." Jawabku sekenanya sambil mencoba tersenyum ramah.

"Erika, Erika! Kamu kok mau-mau aja temenan sama Stella," ujar Bu Melati sambil tersenyum seolah merendahkanku.

Seisi kelas menertawakanku, menertawakan kemiskinan ku.

Ayolah, katakan padaku apa yang lebih menyakitkan dari ini? Agar aku bisa bersyukur dalam keadaan yang menghimpit hatiku ini.

Aku hanya mampu diam dan menunduk. Memangnya aku bisa apa? Bukankah apa yang dikatakan semuanya memang benar adanya? Aku tak bisa mengelak ketika mereka menertawakan keadaanku, sebab apa yang mereka katakan memang ada benarnya.

Semua berjalan kembali dengan tenang, tapi tidak dengan hatiku yang ingin menangis di tengah keramaian. Sampai jam menunjukkan pukul sebelas siang, yang berarti tandanya harus pulang.

Semua anak bersorak dengan girang, mereka semua berhamburan pergi keluar untuk pulang. Semua anak dijemput oleh orang tua mereka dengan sepedah motor atau bahkan mobil, tapi tidak dengan ku.

Sebab ayah datang membawa sepedah onthel yang sudah rentan, ayah datang dengan senyum khasnya. Membuatku akhirnya terpaksa merentangkan senyum paksa, agar ayah tidak kecewa. Padahal sebenernya hatiku benar-benar ingin menangis saja.

Aku naik dalam goncengan ayah, dan ayah mulai mengayuh sepeda tua tersebut.

"Ayah, bagaimana rasanya naik motor? Apakah menyenangkan?" tanyaku pelan, takut ayah tersinggung.

Ayah yang sedang mengayuh sepeda tua tersebut akhirnya angkat bicara.

"Rasanya sama saja, Stella."

"Hanya bedanya naik sepedah motor tidak akan capek, kalau naik sepedah onthel kerasa capek."

"Stella mau naik sepedah motor?" tanyanya membuatku menggeleng.

Tidak, aku tidak ingin merepotkan ayah. Ayahku sudah susah mencari makan, aku tidak akan berkata apapun.

"Tidak, Ayah."

"Sepedah tua ayah sudah cukup untuk Stella," ujarku sambil memeluknya erat.

Tangisku keluar begitu saja, bagaimana bisa aku mengatakan ini semua? Sedang aku tau perekonomian keluarga ku bagaimana. Aku melihat sekeliling lalu lalang motor saling melaju dengan cepat, tidak dengan sepeda tua ayah yang melaju begitu pelan.

Aku hanya bisa membayangkan, bagaimana rasanya naik sepeda motor, apakah menyenangkan? Pasti menyenangkan karena tidak perlu mengayuh sepeda seperti apa yang ayah lakukan.

"Yah!" panggilku, membuat ayah hanya berdehem karena fokus pada mengayuh sepeda.

"Nanti kalau Stella besar, Stella akan beliin ayah motor. Nanti kita bisa keliling kota jalan-jalan, pasti menyenangkan." ujarku semangat, membuat ayah hanya bisa tersenyum.

Sampai akhirnya kita sampai disebuah gubuk tua, gubuk yang aku tinggali untuk melindungi dan menjagaku dari tidurku. Aku turun dari sepeda tua ayah, lalu ku langkahkan kakiku menuju ke sebuah pintu yang tidak terbuat dari kayu, melainkan terbuat dari papan triplek.

"Assalamualaikum," salamku, yang dijawab dengan senyuman ibuku.

"Waalaikumsalam," balasnya lalu tersenyum padaku, aku menyalimi tangan ibu. Bau khas dari dapur tercium dari tangannya.

Inilah rumahku, rumah sederhana yang suatu saat ingin kujejali dengan prestasiku. Suatu saat, rumah ini bukan lagi rumah gubuk yang sering mereka tertawakan. Tapi rumah gubuk yang akan membuat siapa saja nyaman. Mimpiku, mimpi si kecil yang dikemas dengan air mata ketulusan.

༺༻
Terima kasih telah membaca hingga akhir part satu kisah Kita dan Mereka. Jangan lupa tinggalkan jejak dan komen ya!

See u Next Part All!

<3

Kita dan MerekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang