Kita dan Mereka (29)

65 23 0
                                    

Follow Instagram : Queen_Nkn9

Butuh teman cerita? Sini DM aku via Wattpad or Instagram

✯ Reading for one benefit ✯

❝ Nelangsa ; Sakitnya menjadi orang tidak berada, hidup dicela, bergerak di caci maki semua.❞

•• Kita dan Mereka ••

Setelah kejadian itu aku memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan yang membuat hawa semakin panas.

Aku duduk di depan teras rumah yang dipenuhi oleh sampah-sampah hasil pungutan ayah.

"Tuhan gak adil!" teriakku tiba-tiba, mataku terasa panas dan air mata tiba-tiba jatuh ke pipiku.

"Tuhan itu adil." balas ayah lalu duduk disampingku.

"Kalau Tuhan itu adil, kenapa doa Stella gak pernah terkabul?" tanyaku kepada ayah lalu menenggelamkan wajah.

"Kalau semua yang kita mau terkabul, nanti kamu lupa kalau kamu itu manusia."

"Nak, hidup ini tidak sempurna."

"Jika kamu berharap semua menjadi sempurna, maka pergilah ke surga, disana semua akan menjadi nyata." nasehat ayah kepadaku.

"Tapi Stella capek, Ayah." jujurku sambil menarik nafas dan kembali duduk tegak.

"Katanya dalam setiap keluarga akan ada anak yang bisa menjadi patokan kesuksesan atau perubahan dalam rumah itu, tapi sepertinya itu semua mimpi bagi Stella."

"Stella bahkan sampai sekarang belum bisa ngelakuin apa-apa."

"Stella enggak berguna, Ayah."

Aku marah, aku marah pada diriku. Aku marah kepada diriku, mengapa aku tidak bisa menjadi harapan bagi keluargaku.

Ayah tiba-tiba mengelus puncak kepalaku dengan begitu pelan dan lembut.

"Kalaupun nanti kamu tidak bisa jadi apa-apa, ayah bangga punya anak seperti Stella." tutur ayah begitu lembut.

Ada rasa sakit yang semakin terasa sesak. Ayah mengucapkan kalimat itu dengan begitu tulus, tapi hatiku terasa semakin sakit.

"Maafkan Stella, Ayah."

"Maaf untuk apa? Maaf untuk harapan yang belum bisa menjadi nyata?" tanya ayah lalu tersenyum dengan lembut, ia menatapku dengan intens.

"Kamu sendirilah yang kecewa kepada dirimu karena harapanmu, bukan ayah ataupun ibu."

"Jadi, ucapan maafmu itu harusnya untuk dirimu, bukan untuk ayah atau ibu." nasehat ayah lalu membuat aku langsung memeluknya.

"Stella bangga punya Ayah!" seruku dalam pelukannya.

Ibu tiba-tiba datang membawa pisang goreng dan secangkir teh hangat. Aku melepas pelukan ayah dan tersenyum ceria kepada ibu.

"Apa kamu tidak melihat jam, Stella?" tanya ibu pelan, membuat aku ingat dan segera menepuk jidatku.

Segera ku berlari meninggalkan ayah dan ibu. Bergegas menuju kamar mandi untuk wudhu, aku terlupa menunaikan ibadah shalat ashar, padahal waktu sudah menunjukan pukul setengah lima petang.

Setelah selesai shalat aku segera mengadahkan tangan untuk berdoa.

"Jangan kabulkan doa Stella hanya karena Engkau melihat Stella."

"Tapi tolong, kabulkanlah doa Stella karena Engkau melihat seberapa keras perjuangan orang tua Stella."

"Ayahku telah berhasil mendidik ku."

Kita dan MerekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang