Kita dan Mereka (5)

242 59 36
                                    

"Jadikan setiap hinaan dan perkataan menyakitkan, sebagai ajang pembalasan untuk menjadi lebih baik di masa depan."
• Kita dan Mereka •
༺༻

"Ibu," lirihku pelan dengan tangan gemetaran.

Hujan petir dengan air begitu deras menghujam gubuk kecilku yang sudah koyak. Aku sudah terbiasa terjaga dari tidur kala aku harus memastikan air di wadah tidak tumpah.

Namun aku tidak bisa terbiasa dengan suara petir yang begitu jelas kilatnya hingga masuk melalui celah gubuk ku.

"Ibuuu ... aku takutt." tubuhku gemetaran, aku menenggelamkan wajahku mencoba meredam ketakutan ku.

Sebuah kilat tiba-tiba terlihat jelas dalam mataku, dan seketika gemuruh terdengar hingga ketelingaku.

"IBUUU!" teriakku ketakutan, aku menangis.

Ibu datang dengan wajah khawatir bersamaan dengan ayah dengan banyak wadah yang ia siapkan untuk mengganti wadah lainnya jika sudah penuh.

"Stella kenapa?" tanya ibu khawatir mendekat ke arahku, aku memeluk ibu dengan air mata yang masih berlinang dimataku.

"Ibu, Stella takut petir." ujarku pelan sambil meringkuk di dalam pelukan ibu.

Ibu mengusap pelan rambutku, bersamaan dengan itu hujan badai turun dan membuat gubuk ku tak sanggup menahan derasnya air hingga beberapa celah air berhasil masuk.

Tubuhku menggigil, ibu memelukku dengan erat. Ayah berusaha untuk memberikan wadah ke setiap air yang turun membasahi lantai rumahku.

"Ayah, sampai kapan kita harus terjaga dari tidur hanya untuk memastikan air itu tak akan tumpah?" tanyaku, membuat ayah dan ibu terdiam.

Ayah menunduk, dan ibu terdiam dengan menghela nafas lelah. Kilatan kesedihan terpancar dari mata kedua orang tuaku, rasa sesal memenuhi hatiku.

Harusnya aku tak mengatakan kalimat itu, itu membuat kedua orang tuaku tersakiti. Bodoh, kamu bodoh Stella.

"Maafkan Stella—"

"Kamu tak perlu meminta maaf, Nak."

"Ini semua salah Ayah."

"Harusnya ayah bisa memberikan kamu rumah yang nyaman, rumah yang tidak membuat kamu ketakutan."

Ku lihat tatapan ayah berkaca-kaca, aku tak kuasa melihat tatapan sedih ayah. Ayah bukan seseorang yang mudah untuk menunjukkan raut sedih, namun jika ayah sudah menunjukkannya, itu berarti lukanya teramat pedih.

Dapat ku lihat ibu meremas daster yang ia gunakan, hatiku terasa tercabik-cabik.

"Ayah, ayah sudah jadi ayah terhebat di mata Stella."

"Ayah sudah jadi luar biasa, karena ayah selalu mengusahakan agar Stella bisa makan itu sudah lebih dari cukup untuk Stella." ujarku.

"Stella, ayah tau kamu pasti ingin seperti temanmu yang lainnya."

"Mereka punya sepatu yang bagus, rumah yang mewah, mereka tidur dengan nyenyak dan mereka tidak perlu merasakan bagaimana rasanya dihina."

"Maafkan Ayah, Nak."

Kau tau apa yang lebih menyakitkan dari pada melihat maaf ayah dengan mata berkaca-kaca?

"Andai saja kita tidak terlahir sebagai orang yang tidak punya," ucap ibu pelan membuatku beralih menatap ibu.

Bersamaan dengan ucapan ibu, hujan mereda. Dapat ku lihat suara hujan yang tak lagi terdengar. Belum sempat ayah ingin berbicara, Ibu Aini tetanggaku datang tanpa mengetuk salam membuatku lantas mengalihkan pandangan kearahnya.

Kita dan MerekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang