Kita dan Mereka (4)

267 70 102
                                    

"Setiap mereka yang sekarang tengah berjaya adalah mereka yang dulunya penuh usaha, tak ada hidup yang instan di dunia. Bahkan untuk membuat sebuah mie instan saja kita butuh tenaga dan usaha."
• Kita dan Mereka •

༺༻

Hari ini aku melangkah dengan lesu menuju sekolah baruku. Aku masih memikirkan bagaimana keadaan Erika sekarang, apakah ia baik-baik saja?

"Stella!" panggil seseorang, namanya Brillian. Katakan saja bahwa dia adalah primadona sekolah, ya memang seperti itu adanya.

Tapi aku tidak suka dia, karena dia selalu menjelek-jelekkan diriku dihadapan semua. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa, sebab aku hanya dari kalangan keluarga yang biasa. Aku tak akan pernah mampu bersaing dengannya. Maka dari itu ada baiknya aku diam saja, suatu saat aku yakin bisa membalas semua ucapannya.

Oh ya, masih ingat dengan Bianca? Bolehkah aku mengatakan aku membencinya? Aku pikir kita hanya sampai di sekolah dasar saja, tapi ternyata dia juga satu SMP denganku.

Mengapa tidak Erika saja? Ya, aku selalu saja menginginkan takdir mengganti semuanya. Tapi sekali lagi bukan aku sutradaranya.

"Dia itu gak pernah mandi," bohong Brillian kepada salah satu laki-laki di kelasku.

Aku hanya mampu diam saja, ingin sekali aku membalas semuanya. Tapi aku hanya murid biasa yang terlahir bukan sebagai keluarga kaya raya, bagaimana jika nanti aku membuka suara dan pada akhirnya aku juga yang akan menanggung semua.

"Dia juga bodoh, hahahaha!" tawa renyah Brillian, disusul Bianca di belakangnya.

Aku hanya mampu menunduk dalam diam, apakah menjadi orang miskin harus ditindas tanpa mendapat keadilan?

"Tapi dia cantik." ujar Raja membuat Brillian dan Bianca murka.

Sebab itu raut wajah mereka berdua berganti dengan kekesalan.

"Nanti pulang sekolah kita kerja kelompok dirumah ku, ya."

Aku mengangguk mengiyakan bersama lainnya, ketika raja berkata akan membawa kami kerumahnya untuk mengerjakan tugas bersama.

Semua berlangsung kembali dengan baik, hingga akhirnya aku sampai di rumah Raja. Tak aku duga rumah Raja begitu megah bak istana raja.

Tak henti-hentinya aku melihat sekeliling sambil berdecak kagum.

Aku sampai di pintu utama rumah ini, aku membuka tali sepatuku karena sadar bahwa sepatuku akan mengotori lantai mahal ini.

"Ngapain kamu lepas sepatumu, Stella?" tanya Raja.

Aku ingin menjawab namun pada akhirnya tersela oleh Bianca. "Sepatu dia gak cocok nyentuh lantai kaya kamu ini, Raja."

"Mereka benar Raja, sepatu bututku tak pantas untuk menyentuh lantai indah ini."

"Gak-" belum sempat Raja membalas perkataanku.

Lagi-lagi Bianca menyela dan berkata. "Orang rendahan seperti dia mana mampu untuk membeli sepatu seperti kita, lihatlah sepatunya yang bahkan sudah tidak layak pakai."

Padahal aku sudah terbiasa dihina, namun mengapa tetap saja sakit rasanya? Apa ia boleh menangis kali ini saja? Hatinya benar-benar tengah rapuh.

"Aku pasti akan membeli sepatu sepertimu suatu saat nanti," lantangku bertekad.

"Mana mungkin seseorang seperti kamu bisa membeli sepatu sepertiku, jangan ngayal Stella!"

"Untuk menabung membeli sepatu ini saja kamu butuh puluhan tahun, hahahaha!"

Kita dan MerekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang