Kita dan Mereka (18)

121 36 4
                                    

"Selama percaya bahwa Tuhan itu ada, selama itu pula kau berhak percaya doa-doa mu akan jadi nyata."

•• Kita dan Mereka ••
༺༻

"Aku mau!"

"Aku juga mau hidup seperti kalian."

Setelah menetralkan perkataan yang tidak terkendali. Aku menatap mereka dengan air mata yang berkaca-kaca.

"Ibu,"

"Tolong, katakan pada saya. Apa yang lebih menyakitkan dari terlahir menjadi anak tidak punya?" tanyaku pada beliau, namun beliau hanya diam saja.

"Aku tidak pernah meminta terlahir seperti ini, tapi jika Tuhan memilih takdir ini, aku bisa apa?"

"Leo, aku tau hidupmu serba ada dan memiliki banyak warna. Tapi apakah kau pernah merasakan kasih sayang dan cinta dari orang tua?" talakku membuatnya terdiam kaku.

Aku tidak ingin mengatakan hal ini, andai mulutnya bisa sedikit lebih menghargai, mungkin kalimat menyakitkan ini tak akan aku ucapkan dihadapan semua orang seperti ini.

"Apa maksud lu? Gak usah sok tau!"

"Dan apa maksudmu? Dengan seolah-olah mengetahui takdir hidupku akan seperti apa di masa depan." jawabku membuatnya terdiam.

"Kamu dan kalian marah ketika aku mengungkit satu kekurangan kalian, tapi kalian dengan bebas mengatakan hal-hal menyakitkan tanpa pernah tau bagaimana rasa sakitnya hatiku."

"Apakah ini disebut namanya sebuah keadilan?"

Mereka semua diam. Air mataku sudah jatuh berlinang. Beberapa guru bahkan sudah berkumpul di sana, aku sudah tidak peduli lagi dengan ini semua.

"Apa yang kalian rasakan ketika seseorang mengungkit satu kekurangan kalian? Marah? Kecewa?"

"Sama aku juga, sebab aku manusia sama seperti kalian semua."

"Aku mau hidup yang lebih baik, aku mau kehidupan yang lebih baik."

Beberapa dari mereka menundukkan pandangan, entah karena mereka akhirnya sadar atau malu karena dipermalukan dimuka umum.

"Kekayaan setinggi apapun tanpa sebuah belajar tata cara memanusiakan manusia, maka semua akan sirna dan tidak berguna."

"Hartamu hanya sampai pada dunia, tapi caramu memanusiakan manusia akan sampai alam sana."

"Ada apa ini?" tanya kepala sekolah, Pak Arya, ia yang datang dengan tiba-tiba.

"Coba bapak katakan kepada mereka semua, apa yang sebenarnya terjadi hingga kalian keluar semua." tuturku kepada beliau.

"Ada apa ini, Bu?" tanya Pak Arya kepada Bu Levi.

Bu levi dan mereka semua terdiam.

"Kenapa kalian diam saja ketika banyak  orang? Tapi merundungku saat sendirian."

"Dimana kicauan merendahkan yang tadi ibu lontarkan?"

"Dimana suara hinaan yang tadi kalian bincangkan?"

"Terlahir menjadi tidak punya mungkin ada baiknya, sebab, aku belajar tata cara memanusiakan manusia."

"Aku belajar untuk tau bagaimana rasa sakit akibat ucap kata."

"Aku belajar bagaimana sakitnya menahan sakit akibat ulah kalian semua."

"Aku— aku," tenggorokan ku terasa kering, rasanya kelu mengucapkan kata-kata yang menyakitkan.

"Aku mau, aku mau kek kalian! Aku mau!" tuturku dengan air mata yang terus berlinang, sambil terduduk di depan mereka.

Aku benar-benar lelah dengan ini semua, aku benar-benar capek dengan ini semua. Seluruh fisikku benar-benar lelah dengan ini semua.

Kita dan MerekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang