Kita dan Mereka (2)

437 90 119
                                    

"Apa yang kau keluhkan, kadang adalah apa yang orang lain impikan dan kadang apa yang kau impikan, adalah apa yang orang lain keluhkan. Disini kita hanya kurang bersyukur, bukan kurang beruntung."

• Kita dan Mereka •

༺༻

Aku mengganti baju sekolahku, lalu ku langkahkan kakiku menuju dapur. Ku lihat ibu yang tengah membuat sebuah kue, untuk nantinya di jual di pinggir jalan. Senyumku mengembang, sebab aku senang sekali membantu ibu membuat kue untuk dijual.

"Ibu," panggilku, membuat ibu yang tengah membuat kue menghentikan aktivitasnya dan menatapku dengan senyuman.

Aku melangkah pelan mendekat padanya, lalu ku bantu ibu membuat kue. Aku senang sekali berbicara dengan ibu, sampai-sampai aku tak sadar telah berbicara hal yang harusnya tak aku ucapkan.

"Stella," panggil ibu pelan, membuatku menundukkan pandangan.

"Bu guru tadi bilang apa?" tanya ibu sambil menatapku intens.

Aku paling tidak bisa untuk berbohong, lidahku terasa kelu untuk berbicara.

"Ibu," ujarku pelan sambil mencoba untuk tidak menangis.

"Ibu guru bilang sepatu Stella sudah butut," ujarku pelan sambil menunduk karena takut dengan ibu.

Helaan nafasnya terdengar ketelingaku, membuatku menatap ibu yang tengah menunduk.

"Maafin ibu ya, Stella."

Maaf yang terucap dalam bibir ibu rasanya meluruhkan seluruh hatiku. Aku benci harus melihat kesedihan dalam mata ibuku, aku benci harus melihat lagi dan lagi permasalahan datang karena perekonomian keluargaku.

"Nanti kalau ibu ada uang, ibu pasti akan belikan Stella sepatu baru yang bagus. Ya, Stella?" janji ibu sambil mencoba tersenyum.

"Ibu, Stella gapapa. Lagian sepatu Stella gak parah kok rusaknya," balasku mencoba menyakinkan ibu.

Ibu mengelus rambutku dan tersenyum pelan, namun aku dikejutkan dengan air mata ibu yang berlinang.

"Stella, maafin ibu ya?"

"Karena keadaan ekonomi kita, kamu harus menanggung kesengsaraan dalam hidupmu."

Tuhan, bolehkah aku ikut menangis dihadapan ibu? Tuhan, ini menyakitkan.

"Ibu, jangan katakan itu!" tegurku, marah.

"Ibu tidak perlu meminta maaf. Ini semua lebih dari cukup bagi Stella."

Rasanya aku ingin memutar waktu, ke tempat dimana aku tak jadi membantu ibu. Kenapa lidahku bisa keceplosan? Sekarang aku harus melihat air mata ibu yang berlinang.

"Ibu, semua ini sudah cukup bagi Stella. Ibu jangan khawatir, bila Stella besar, Stella akan jadi orang kaya." yakinku dengan penuh tekad, aku akan menjadi orang kaya suatu saat.

Aku ingin memberantas kemiskinan di negaraku, aku ingin membuat semua orang yang meremehkan ku dan keluargaku bungkam pada waktunya. Ya, suatu saat aku pasti bisa menjadi seseorang yang kaya bukan?

Ibu mengelus rambutku dengan lembut, sambil berkata. "Hanya kamu satu-satunya harapan kami, Stella."

Seperti ada sebuah amanah yang ditumpu dalam pundakku, saat ibu berkata hanya aku harapan keluarga ku.

Aku hanya membalas dengan senyuman, lalu melanjutkan membantu ibu hingga selesai. Setelah semua selesai aku akhirnya melangkah menuju kamarku. Ah tidak! Lebih tepatnya kamar kami bertiga, ayah, ibu dan aku.

Kita dan MerekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang