Pernyataan Gila

5.8K 363 2
                                    


Perpustakaan yang sunyi langsung riuh saat seorang gadis dengan wajah garang memasuki ruangan tersebut.

"Weh, bocil!" teriaknya. Seolah tak kenal tempat. Dia bahkan tak peduli dengan seisi perpustakaan yang menggerutu akibat kelakuannya.

"Aku, Kak?" tanya pemuda yang duduk dengan headphone dan buku sejarah di tangannya.

"Apa maksud lo?" tanya Aletta seraya meletakkan susu stroberi di atas meja perpustakaan yang digunakan si pemuda.

"Ngasih Kakak susu," jawabnya santai.

Aletta menatap name tag yang bertuliskan. 'Hendery Lee'. Gadis itu tersenyum miring, tak heran, wajah pemuda itu memang terlihat seperti campuran Asia Timur. Aletta menghela kasar. Kembali ingat tentang note yang membuatnya kesal.

"Iya, gue tahu. Tapi tulisan ini apa maksudnya?! Lo iseng banget dasar bocil," omel Aletta.

Hendery bangkit dari kursi, berjalan mendekat ke arah Aletta, dan saat itu barulah Aletta sadar tentang postur tubuh si Hendery yang sangat menjulang. Tetapi ideal dengan tubuh atletisnya. Tampaknya ia sangat menjaga makan dan pola hidup. Tetapi bukan itu yang penting. Sekarang masalah bertambah saat melihat wajah songong Hendery.

"Gue tampol juga muka lo." Aletta hendak memukul Hendery tetapi tangan pemuda itu berhasil menahannya.

"Kalimat 'aku suka kamu' itu, beneran, kok. Nggak bohong. Aku cuma mau ngungkapin, aja. Salah, ya, Kak?"

Aletta diam. Nggak sepenuhnya salah sih, tetapi kekesalan Aletta yang membuat semuanya terlihat salah.

"Semua orang berhak mencintai dan dicintai, karena itu aku mencintai Kakak yang mencintai orang lain. Jadi, Kakak nggak hanya mencintai orang lain, tetapi juga dicintai," tutur Hendery seraya beranjak dari sana. Tangannya sempat mengusap puncak kepala Aletta hingga rambut gadis itu tidak serapi sebelumnya.

"Woy! Rambut gue!" pekik Aletta begitu sadar dengan apa yang dilakukan Hendery.

Sedang pemuda itu hanya tertawa kecil seraya meninggalkan perpustakaan. Telinganya memerah, sedang senyumannya tak juga hilang. 'Gue maju selangkah,' batinnya.

***

"Kak Arvin," panggil Diana.

Pemuda yang terlihat dengan duduk di meja kantin sendirian tersenyum membalas panggilan Diana.

"Mau gabung?" tanya Arvin.

Diana mengangguk penuh semangat. Kemudian Arvin duduk tepat di hadapan Diana. Beberapa fokus sontak tertuju ke arah mereka.

Tak sedikit yang mendukung hubungan antara Diana dan Arvin.

"Tapi, Diana apa nggak takut ya sama Aletta yang mengklaim Kak Arvin pacarnya." Seseorang berkata demikian dengan wajah khawatir. Diana yang mendengar tertegun. Benar juga. Kenapa ia sangat berani melakukan ini?

Tiba-tiba suara tepuk tangan tinggal terdengar. Dari arah masuk kantin terlihat Aletta yang berjalan seraya bertepuk tangan. Menatap tajam ke arah Diana dan Arvin. Semua yang ada di kantin menegang kaget dan takut.

"Wah, perusak hubungan orang. Bisa-bisanya lo bangga duduk di kantin bareng calon orang, nggak punya urat malu, ya?" cibir Aletta.

Diana menunduk. Antara emosi dan sedih.

"Al, gue yang mau duduk di sini," bela Arvin.

"Utututu, romantis ya, belain orang yang dicintai, rasanya gimana tuh?" sindir Aletta pada Arvin.

"Aletta! Cukup, ya! Aku memang miskin. Aku nggak punya, aku nggak secantik kamu, aku nggak sehebat. Kamu punya segalanya, tetapi, bukan hak kamu untuk mengatur kehidupan kami sebagai manusia!" marah Diana. Gadis itu berdiri dengan mata merah yang membulat sempurna, buku jarinya memutih karena kepalan yang erat.

Aletta tertawa mengejek. Kemudian tangannya meraih es jeruk Diana dan menuangkan es itu ke tubuh Diana. "Biar nggak panas," ujarnya yang kemudian beranjak dari sana tetapi dihentikan oleh cengkeraman tangan Arvin.

Pemuda itu menarik Alerta hingga berbalik tetapi bersamaan dengan itu tamparan yang sangat keras meluncur di wajah Aletta. Gadis itu tertegun. Seketika Arvin mendorong Aletta menjauh. Pemuda itu juga cukup terkejut atas apa yang sudah ia lakukan.

Setelahnya, Arvin langsung pergi dari sana, tanpa sepatah kata pun. Meninggalkan Aletta yang terluka baik psikis dan fisik. Bulir air matanya hampir jatuh di hadapan banyak orang jika saja Hendery tak datang menutupi wajahnya. Pemuda itu menarik Aletta ke dalam pelukannya. Membiarkan gadis yang menahan tangis itu meluapkan segala kesedihan.

"Nangis, aja, Kak. Nggak usah ragu."

Kalimat itu menyadarkan Aletta tentang apa yang ia lakukan dan apa yang terjadi. Spontan ia mendoronh Hendery. Matanya memerah, gadis itu masih menahannya. Pipi Aletta yang memerah serta sudut bibir yang terluka membuat hati Hendery merasa sedih.

"Bibir Kakak—" Hendery yang hendak mengecek luka tersebut ditepis. Tatapan Aletta beralih ke arah Diana yang sudah dikerumuni orang-orang yang mempedulikannya. Ada yang menyerahkan jaket, ada yang mengeringkan seraganya.

Hela kasar menguar, Aletta lantas memilih pergi dari sana. Ketimbang hatinya semakin nyeri.

***

Bugh!
Untuk kelima kalinya Arvin memukul tembok. Kini jari tangannya terluka karena kelakuannya. Pemuda itu bersandar pada tembok. Ingatannya memutar pada kejadian beberapa menit lalu, di mana tanpa sadar tangannya memukul Aletta dengan sangat keras.

"Pengecut banget gue," lirihnya.

"Arvin!" Suara Aletta yang berseru di lorong sekolah terdengar. Kini Arvin yang ada di lorong dekat tangga menuju rooftop menoleh ke arah suara. Terlihat Aletta yang terkejut melihat kondisinya.

"Lo ngapain tangan lo, anjir?!" tanya Aletta panik. Gadis itu langsung pergi setelah berucap seperti itu.

Arvin hanya mengernyit heran. Mengabaikan Aletta, ia duduk di anak tangga. Tak lama langkah kaki tergesa-gesa terdengar. Nampak lah sosok Aletta dengan kotak P3K di tangannya.

"Lo—"

Belum sempat berkata, Aletta sudah duduk di anak tangga yang berada di bawahnya. Menarik tangan kanan Arvin. Kemudian membersihkan luka dengan alkohol.

"Lo ngapain, sih, sampe begini?!" tanya Aletta.

Arvin tak menjawab, ia hanya melihat wajah Aletta yang masih memerah serta ujung bibir yang terluka. Seketika Arvin menarik tangannya. Ia bangkit, menjauh dari Aletta.

"Gue obatin dulu!" kesal Aletta.

"Nggak usah sok peduli," balas Arvin.

"Gue bukan sok peduli, gue emang peduli. Karena gue suka sama lo, ngerti nggak, sih?!"

Arvin diam tak menanggapi. Sesaat keduanya larut dalam hening, detik kemudian barulah hening buyar karena Arvin berjalan meninggalkan Aletta di lorong sunyi itu.

"Dasar batu! Keras banget! Tapi gue cinta," gumam Aletta yang gemas dengan kelakuan Arvin.

TBC

ANTAGONIS [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang