Tulus atau Hanya Peralihan

4.8K 321 0
                                    

"Mama, Tante, Aletta jujur, kok."

Di ruang rawat Aletta berusaha menjelaskan kejadian bagaimana ia bisa terluka. Ya, tentu saja ia berbohong. Di ruangan tersebut ada Arvin yang juga terikut ke dalam masalah. Masalahnya bukan Aletta yang disalahkan, tetapi Arvin. Karena Erwin mengadukan hal yang terjadi ke orang tua Aletta, dan jelas saja keduanya marah lantas melaporkan Arvin ke orang tuanya. Akhirnya ya begini.

Arvin duduk di sofa dengan wajah dingin, dan ibu-ibu berdiri di sisi ranjang Aletta dengan wajah khawatir, sedangkan para ayah sekarang tengah sibuk di perusahaan, meskipun begitu mereka masih memantau.

"Jujur apa? Apa yang kamu bilang itu beda banget sama perkataan Pak Erwin," bantah Ghea.

"Mama lebih percaya Pak Erwin?" tanya Aletta dengan wajah serius.

"Iya jelas, kamu itu cinta sama dia, pasti kamu akan ngelindungi dia. Kamu bahkan rela—"

"Mama." Aletta memotong kalimat Ghea dengan tatapan memohon untuk tidak melanjutkan kalimatnya. "Aletta beneran nyuruh Arvin nyelametin Diana duluan, karena dia itu trauma atas penculikan, butuh penanganan utama. Toh, Aletta juga nggak kenapa-kenapa, lukanya juga nggak parah, seminggu juga udah sembuh. Jadi, nggak perlu dimasalahin lah. Ini beneran bukan salah Arvin, Arvin sama sekali nggak ninggalin etta di gudang itu," imbuh Aletta.

Hela napas kasar Ghea dan Tiffany mengudara. Kedua perempuan paruh baya itu sangat tidak mengerti dengan cinta anak muda zaman sekarang.

"Pertanyaan Mama, kamu masih mau lanjut perjodohan ini?" tanya Ghea, lagi dan lagi pertanyaan itu keluar untuk kesekian kali di hari ini.

Cewek dengan wajah pucat yang duduk di pembaringan rumah sakit, sudut bibirnya terangkat membentuk lengkungan yang manis dilihat.

"Iya!" jawabnya mantap.

Mendengar jawaban tersebut tiga orang yang ada di ruangan langsung menatap kaget. Beberapa kali ditanyai hal yang sama pun Aletta tetap mau melanjutkan perjodohan.

***

Hanya ada Arvin dan Aletta di ruangan tersebut sekarang. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah enak sore.

"Arvin, kita liat sunset di rooftop, yuk!" ajak Aletta dengan senyum mengembang manis di wajah cantiknya.

Dia bersikap seolah pemuda yang tengah duduk memainkan ponsel tersebut tak pernah melukai hatinya. Masih saja berusaha mengejar cinta dari cowok itu.

"Lo masih sakit," jawab Arvin datar.

"Tapi gue pengen," rengek Aletta.

"Ya, caranya gimana ke rooftop?"

"Gendong gue lah! Peka dikit, dong," sarkas Aletta.

Arvin menghela kasar, harus cukup sabar menghadapi sikap Aletta yang manja dan menyebalkan, selalu memaksakan kehendak diri.

Arvin beranjak dari sofa, mendekat ke pembaringan, melepaskan infus dari gantungan, menyerahkan wadah infus ke Aletta untuk dipegang, kemudian ia berjongkok. Aletta segera turun dari pembaringan, menempel di punggung lebar Arvin, sungguh lukanya masih sakit, tetapi saat bersama Arvin, ia merasa sakitnya sebanding. Memang gila dan bodoh tetapi beginilah Aletta sekarang.

***

"Argh!" ringis Aletta begitu ia turun dari gendongan Arvin. Memang cowok itu tak begitu mulus menurunkan Aletta.

Meskipun mendengar ringisan Aletta Arvin tetap bersikap cuek, ia malah berjalan mendahului Aletta ke ujung rooftop, memegang pembatas rooftop dengan kepala menengadah, merasakan angin sore yang sejuk.

"Ganteng banget, sih," puji Aletta yang memperhatikan Arvin. Seketika cowok itu sadar. Ia mengalihkan pandang ke arah Aletta yang tersenyum seperti orang bodoh.

"Sebenarnya lo tadi kenapa, sih?" tanya Arvin dengan nada kesal.

"Kenapa apanya? Yang mana?" tanya Aletta balik.

"Lo kenapa belain gue?"

"Karena gue cinta sama lo," balas Aletta dengan suara tenang.

"Cinta? Lo yakin?"

"Seratus persen!"

"Gue sih enggak. Coba pikirin lagi, yang lo lakuin tadi itu tulus atau cuma peralihan? Peralihan dari kesalahan lo kemarin."

TBC

ANTAGONIS [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang