Keputusan

5K 313 7
                                    


"Lo jahat, Der," sinis Aletta.

"Gue nggak bisa, Ta liat lo terus-terusan ngejar Arvin yang nggak peduli sama lo, gue capek dan sakit liat lo terus disakitin. Gue nggak rela, Ta lo terus sakit demi cinta cowok nggak punya hati itu."

"Tapi nggak gini caranya, bego!" seru Aletta. Pergi meninggalkan Hendery dengan sengaja menabrakkan bahunya ke pemuda itu.

***

Bel istirahat. Sekarang Aletta tidak tahu harus ke mana. Tidak ada tujuan. Ia melihat Anasya dan Agnes yang berdiri di depan kelas, menanti Diana untuk pergi ke kantin bersama. Sekali lagi tatapan Aletta tertuju pada Agnes yang ada di belakang Anasya, memegangi sebuah dompet yang Aletta tahu milik Anasya.

Sinis Aletta melihat mereka. Bukan iri, tetapi ada perasaan iba melihat posisi Agnes. "Sahabat katanya?" gumam Aletta yang masih setia duduk menatap novel horornya. "Babu berkedok sahabat lebih tepat untuk hubungan mereka," imbuh Aletta dengan suara rendah.

Kelas sudah sunyi sedang Aletta masih setia duduk di tempat. Aletta paham kenapa dua hari lalu Arvin begitu marah. Semua karena kecelakaan Diana yang dikiranya itu perbuatan Aletta. Hari ini Diana datang, Aletta melihat luka di dahi gadis itu dan jalan yang agak pincang. Tadi pagi saat di kelas Arvin nampak duduk di sebelah Diana, menemani gadis itu. Wajar Arvin khawatir baru sehari di rumah sakit sudah mau sekolah. Diana memang keras kepala sejak dulu.

Ah, sejak dulu.

Aletta memukul dahinya yang kembali mengingat masa lalu. Gadis itu abai. Tetapi kepalanya terus memaksa ingat.

Arvin menatap Diana khawatir pagi tadi. Tatapan penuh cinta. Cinta yang tulus. Air mata mendadak luruh membasahi pipi Aletta. Rasanya sesak. 'Kapan ya Arvin liat gue kayak gitu?' batinnya.

Sesuatu yang dingin tiba-tiba menempel di pipi Aletta, membuat gadis itu langsung tersadar dari lamunan. Aletta menoleh ke arah pelaku--Hendery. Pemuda itu menarik salah satu kursi dan duduk di sisi Aletta.

"Ngapain lo di sini?" sinis Aletta.

"Nemenin lo," jawabnya seraya membenahi posisi buku yang dibaca gadis itu. "Kebalik, keliatan lo nggak baca dari tadi," imbuhnya.

Aletta menutup buku. Kemudian menatap Hendery penuh kesal. "Lo ngapain di sini?!"

"Nemenin lo, Ta."

"Gue nggak butuh temen!" sentak Aletta.

"Yakin?"

"Iya!"

"Oke, gue bakalan terus dateng sampai lo butuh temen," ujar Hendery. Meletakkan jus yang ia bawa di meja Aletta. Kemudian beranjak dari kelas tersebut.

***

[Udah butuh temen?] nota yang ada di pintu loker Aletta tertulis demikian. Tertulis atas nama 'si ganteng Hendery'.

Aletta meremas nota itu dan membuangnya.

***

"Udah butuh temen?" tanya Hendery yang di hari berikutnya ia melihat Aletta di gerbang.

Aletta berhenti berjalan. Bukan karena mau menjawab Hendery tetapi karena ia melihat seseorang yang ia cari beberapa hari belakangan ini diajak bicara berdua. Arvin.

Aletta berjalan mengabaikan Hendery yang masih setia menunggu jawaban gadis itu.

"Arvin," panggil Aletta.

Pemuda itu tak berhenti. Ia berjalan beriringan bersama Diana.

"Woy!" Aletta mencekal lengan Arvin.

Tangan Aletta ditepis kasar. Wajah kesal Arvin terlihat jelas. Beberapa orang yang lewat mulai tertarik dengan ketiga orang yang akan ribut itu.

"Gue cuma mau ngomong sebentar sama lo," ujar Aletta dengan suara yang lembut kali ini.

"Tapi, kalau Diana mau ikut ya nggak papa," imbuhnya.

***

Tibalah mereka di tempat yang agak sunyi. Arvin berdiri bersama Diana menghadap Aletta yang hendak bicara. Hendery diam-diam mengikuti dari belakang.

"Lo mau ngomong apa?" tanya Arvin dingin.

Senyuman Aletta terlihat. "Gue bakal batalin perjodohan kita," ujar Aletta.

Arvin dan Diana terkejut. Apalagi Hendery yang tahu bagaimana sebenarnya perasaan Aletta.

"Tenang-tenang, perusahaan Om Wisnu bakalan tetep aman, kok. Gue bakal bilang sama bokap pelan-pelan. Btw, selamat mulai sekarang kalian bebas dari antagonis yang mengganggu hubungan kalian."

Aletta tersenyum kembali. Tetapi, siapapun tahu senyuman itu hanyalah tameng kesedihan bagi Aletta yang tengah berusaha untuk kuat.

Pada akhirnya gadis itu menumpahkan semua air matanya begitu tiba di belakang sekolah.

"Udah butuh tem--" Ucapan Hendery terhenti kala Aletta yang duduk meringkuk tiba-tiba bersandar di bahunya. Dengan air mata yang masih mengalir.

"Iya, udah."

Hendery tersenyum. Tangannya mulai membelai puncak kepala Aletta.

"Nih, tadi gue liat boneka kelinci kecil, mendadak keinget lo, jadi gue beli. Sekalian untuk minta maaf juga," tutur Hendery seraya menyerahkan boneka kelinci seukuran tangan orang dewasa ke Aletta.

Gadis itu tak menolak pemberian Hendery seperti sebelumnya. Gadis itu justru menerima dengan senang, memeluk benda kecil itu sayang.

"Makasih, Der. Lo yang terbaik," lirih Aletta.

"Marah lo ternyata nggak seberapa, ya. Gue kira bakalan lama," cibir Hendery.

Aletta mengangkat kepalanya. "Mau gue marah lagi, lo?"

"E-eh, enggak-enggak," ucap Hendery sembari menarik kepala Aletta untuk kembali bersandar di bahunya.

Sedang Aletta sudah tertawa kecil karena wajah panik Hendery tadi.

"Tertawalah puas sebelum takdir mendahului kebahagiaan dengan menghadiahkan kepedihan untukmu lagi, Hendery ganteng 1108," ujar Hendery berlagak puitis. "Eak!" serunya di akhir kalimat dengan jeda beberapa saat.

"Si anjir sok banget nasehati gue!" seru Aletta yang menghadiahi Hendery dengan toyoran tak berperasaan.

"Buset! Oleng gue!" ujar pemuda itu yang sudah tersungkur karena toyoran Aletta.

"Lemah!"

"Gue gibeng jadi emping lo, dasar bantet!" ejek Hendery.

"Lo tiang listrik!"

"Bantet!"

"Tiang listrik!"

"Bantet!"

"Udah! Kita putus satu menit," putus Aletta.

"Kapan pacarannya?"

"Entah." Aletta menggedik tak peduli kemudian kembali menyandarkan kepala di bahu Hendery. "Lo sahabat terbaik gue, Der. Selamanya bakalan jadi yang terbaik."

"Sahabat, doang. Prenjon emang nyesek ternyata," tutur Hendery dramatis. Tangannya memegang dada dan berlagak sok sakit. Eh, bukan berlagak, aslinya memang sakit sih.

"Lebay!" ejek Aletta menggebuk dada Hendery.

TBC

ANTAGONIS [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang