Semanis Cokelat, sepahit kopi

4.4K 306 3
                                    


Tidak ada lagi Aletta yang kasar. Semua orang seharusnya tenang. Tetapi, justru semuanya semakin takut. Senyuman yang ditunjukkan cewek cantik itu justru menciptakan ketakutan yang kian besar. Sapaannya seolah seperti teguran keras, perhatiannya seperti ancaman bagi semua orang.

"Hai! Selamat pagi!" sapa Aletta yang mendatangi segerombolan siswi di lorong sekolah menuju kelasnya.

"Pa-pagi, Ta."

Aletta tersenyum saat mendapatkan balasan. Lantas pergi. Begitu setiap empat hari belakangan. Ia juga tidak lagi mencari masalah, selalu bahagia, dan tersenyum. Mendekati Arvin pun hanya memberikan bekal, walau tidak pernah disentuh oleh cowok dingin itu.

Meskipun begitu Aletta tak pernah berhenti selama beberapa hari belakangan.

"Kalau gue berubah, lo bisa suka sama gue, 'kan?" Aletta berkata dengan senyuman manis seraya menyerahkan kotak makanan ke Arvin yang sedang duduk bersama Diana.

Seketika wajah Diana berubah menjadi tidak senang tetapi masih berusaha tersenyum canggung.

"Lo nggak bisa kayak gini, Ta. Ada Diana," kata Arvin mengingatkan.

Aletta tersenyum lagi. Ia yang semula membungkuk untuk melihat wajah Arvin yang sedang duduk di bangku taman langsung tegak. Kemudian ia duduk di tengah-tengah antara Arvin dan Diana.

"Diana pernah deket banget sama gue, lo juga sama, Vin. Lo itu jodoh gue gimana pun ceritanya lo bakalan jadi suami gue. Kalau lo nggak kebiasa dadi sekarang nanti kaku," jelas Aletta meraih lengan Arvin.

"Gue sama sekali nggak pernah berpikir untuk nikah sama lo di masa depan. Bahkan gue harap lo pergi sejauh mungkin dari hidup gue."

Senyuman manis itu luntur. 'Kenapa? Kenapa waktu udah jadi baik pun Arvin masih sama?' batin Aletta. 'Gue cuma mau deket sama Arvin. Gue juga mau ngerasain cinta Arvin. Susah banget, ya?' tanya Aletta dalam hati.

"Ta," panggil Hendery yang baru saja tiba. Cowok berambut cokelat itu menarik lengan Aletta hingga cewek tersebut berada dalam dekapannya. "Lo ngapain, sih? Masih belum nyerah?" tanya Hendery.

Aletta yang ada di dekapannya mendongak. Kemudian menjauh sedikit. Gadis itu meraih jari telunjuk Hendery. Seperti ini biasanya Aletta kalau sedih. Dia tidak mau digenggaman sepenuhnya. Dia selalu ingin memegang jari telunjuk seseorang di dekatnya untuk mendapatkan ketenangan.

"Gue ngasih cokelat sama kopi buat Arvin," jawab Aletta dengan senyuman manis yang tenang.

"Percuma." Arvin berdiri, detik kemudian tangannya membuang bingkisan yang tadi diberikan oleh Aletta.

"Lo bener-bener nggak punya perasaan. Bukan Aletta yang jahat, tapi lo, Vin. Lo yang udah nyakitin dia, lo juga yang bikin dia jadi cewek nakal sebelumnya. Kenapa? Setelah berubah pun lo masih kayak gini ke dia? Bisa nggak sih sekali aja lo hargai Aletta."

"Dia, yang udah merebut segala kebebasan gue, dia yang udah bikin hidup gue sesempit tempurung nggak patut untuk dihargai atau menerima cinta gue. Sedangkan dia aja nggak menghargai kebebasan gue," balas Arvin terhadap kalimat Hendery.

Keduanya sudah tersulut emosi. Buku jari Hendery memucat karena genggaman eratnya. Tangannya gemetar menahan emosi. Hampir kepalan tangan tersebut melayang jika saja Aletta tak menggenggam kepalan itu dengan tangan dinginnya.

Kemudian menampilkan senyuman getir menahan sesak. Setiap saat berhadapan dengan Arvin selalu seperti ini. Hendery tidak mengerti jalan pikir Arvin. Apakah dia tidak bisa mencintai Aletta yang tulus? Hendery yang dijuteki saja bisa luluh, bagaimana bisa Arvin tidak? Apakah Arvin tidak bisa melihat kepahitan yang ditelan bulat-bulat oleh Aletta selama ini? Atau selama ini pemuda itu buta?

Tidak bisa melihat batin seseorang yang terluka karena kalimat dan perlakuan kasarnya.

Aletta juga bodoh, selalu saja mengirimkan manisnya cokelat padahal tahu jika imbalan yang akan didapat adalah cairan gelap yang pahit seperti kopi. Panas, pahit, dan hitam.

TBC

ANTAGONIS [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang