Menangislah

5.1K 330 3
                                    


Nando digiring teman-temannya untuk memasuki mobil, sedang Aletta setia memegang tangan Agnes. Ketika hendak memasuki mobil untuk ke apartment Nando. Agnes menghentikan langkahnya.

"Gue nggak mau ikut," tuturnya.

Aletta menatap empat temannya. Kemudian hela napas terdengar. Aletta mendekati gadis yang ada di sebelahnya. Masih setia menggenggam erat tangan Agnes.

"Kalian pergi aja, gue di sini sama Agnes," ujar Aletta.

"Serius, Ta?" tanya Hendery khawatir.

"Serius."

***

Aletta menarik Agnes berjalan ke taman area perumahan yang tak jauh dari rumah Anasya. Keduanya duduk dalam hening. Tetapi, hening itu tak lama ketika suara rintih tangis Agnes terdengar.

Senyuman Aletta terlihat sendu. Ia menghela napas kemudian mengusap kepala Agnes lembut. "Di sini dulu, gue mau ke mini market bentar. Jangan ke mana-mana, puasin dulu nangisnya sampai lo lega."

***

Aletta tiba dengan beberapa sekantung plastik belanjaan yang agak besar. Ia mendekati Agnes menyerahkan tisu, kemudian air mineral.

Tawa Aletta hampir saja lepas ketika melihat make up Agnes sudah luntur membuat wajahnya terlihat aneh.

"Gue hapus make up lo dulu," ujar Aletta kaku.

Agnes menurut. Ia membenahi posisi. Duduk menyamping menatap Aletta dengan mata bengkak. "Kulit gelap lo nggak cocok pake foundation warna terang. Baju merah muda lo juga malah keliatan norak, terus aey shadow lo juga terlalu terang, lo tahu kalau emak-emak ke kondangan gimana? Lo keliatan kayak gitu."

Agnes menepis tangan Aletta kasar. Matanya menyorot tajam. "Lo kalau mau ngeledek gue jangan diawali sikap sok baik, gue benci," sinis Agnes.

"Gue cuma ngasih tahu, Nes. Bukan ngejek." Aletta membuang kapas yang sudah kotor ke plastik yang dibawanya. "Ide siapa sih yang pakein make up kayak gini?" tanya Aletta dingin.

Agnes diam. Ia tak menjawab untuk beberapa saat. Hanya tangan gadis itu terkepal kuat karena kesal. "Anasya. Dia bilang ini model tercantik."

"Lo percaya?"

"Gue yang ngga ngerti ginian tahu apa, Ta? Ya, gue cuma bisa percaya sama temen gue," sahut Agnes.

"Temen, ya?" Aletta tertawa miris. "Sekarang jangan bilang dia temen, nggak pantes orang kayak dia jadi temen lo, lo bisa dapet yang terbaik, Nes."

Mata gadis berkulit gelap itu kembali berkaca-kaca, hingga tak lama kemudian dia menjatuhkan kepala ke bahu Aletta. Menangis menumpahkan kesedihan dan kekecewaan.

"Nangis sampai semua sedih lo hilang."

"Huee! Sroot!" Agnes menarik tisu dan membuang semua cairan di hidungnya dengan lancar. Lantas kembali bersandar.

"Gue ngga nyangka dia begitu!" Agnes berujar sembari menghapus air matanya. "Gue tahan sih selama ini semua sikap yang nggak enak, dengan pikir 'mungkin ini bisa ngebantu'. Tapi gue ... gue nggak nyangka kalau gue dimanfaatin."

Aletta mengusap puncak kepala Agnes terus. Berharap bisa membuat gadis itu tenang, karena sebenarnya Aletta bukan orang handal yang bisa menenangkan seseorang dan membangunkan mereka dari kesedihan. Aletta bukan orang yang bisa mengatakan 'semua akan baik-baik saja' di saat keadaannya memang tidak baik-baik saja.

"Ta, maafin gue dan makasih, ya," lirih Agnes. Tangannya mulai menggenggam satu tangan Aletta yang ada di atas pundaknya. "Maaf selama ini gue benci sama lo, gue beneran salah tentang lo," imbuhnya.

"Udah mendingan?" tanya Aletta melihat keadaan Agnes.

Gadis tersebut mengangguk. Dengan senyuman yang agak dipaksa. Pasti tidak mudah baginya untuk tiba di masa 'mendingan' yang dimaksud. Apalagi jika mengingat bagaimana Agnes selama ini mengikuti Anasya.

"Mata lo bengkak," kata Aletta seraya mengeluarkan sesuatu. "Tadi gue beli teh hijau ini, gue juga minta air panas. Jadi tadi udah gue sedu, gue tahu mata lo bakalan bengkak," jelas Aletta.

"Nangisnya udah dua jam," kata Aletta lagi sembari terkekeh pelan. Sungguh tidak disangka jika Agnes sudah menangis selama itu, bahkan dia sendiri saja tidak sadar.

"Serius?" tanya Agnes.

Aletta menyalakan ponsel dan memperlihatkan waktu yang tercantum di layar depan. "Nih."

"Lo——"

"Udah, kompres dulu mata lo," potong Aletta.

Agnes menurut, ia menyandar pada bahu kursi taman. Memejam mata kemudian Aletta meletakkan kantung teh hijau di atas kedua kelopak Agnes.

Sembari menunggu keduanya terus berbincang. Tentang banyak hal. Entah sedih, senang, atau hal yang menyangkut perasaan mereka yang berbeda jauh selama ini. Yang masa Aletta merasa kasihan dengan Agnes, dan Agnes yang membenci Aletta.

"Aletta!" Suara yang mencipta hening di antara Aletta dan Agnes berasal dari seorang pemuda tinggi dengan jas putih yang berdiri agak jauh dari mereka.

"Ah, iya gue lupa ada janji sama Arvin," gumam Aletta menepuk dahi.

"Lo ada janji apa?" tanya Agnes.

Aletta tersenyum sembari mengangkat jari kelingkingnya. Kemudian beranjak meninggalkan Agnes yang penasaran.

TBC

ANTAGONIS [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang