Sanksi

4.7K 261 0
                                    


Ruangan kepala sekolah saat ini mendadak tegang, ada papan Diana yang diam duduk di hadapan kepala sekolah, menyaksikan video yang diberikan Fandy ke Pak Bandi—kepala sekolah SMA Jaya Negara.

Rahang pria paruh baya itu mengeras. Lirikan tajamnya ke arah Diana kentara sekali. Membuat gadis itu menunduk kian dalam. Meremas jemari mengurangi gelisah.

"Sesuai laporan dan barang bukti yang sangat jelas. Maka, Ananda terpaksa kami Drop Out, karena perbuatan ini sudah sangat tidak bisa ditolelir lagi."

"Masih mending lah, daripada sampe ke kantor polisi," timpal Fandy.

Diana menoleh ke arah Fandy dengan tatapan marah. Sedang cowok itu duduk bersama temannya, sebagai saksi, menatap dengan tatapan menghina ke arah Diana.

"Obsesi Diana sudah sangat parah, saya menganjurkan agar Bapak memeriksakan dia ke psikolog," saran Nando.

"Kalau lah waktu itu tidak ada teman-teman saya, mungkin kejadiannya akan lebih buruk." Arvin yang sejak tadi diam menyahut.

"Hah!" Paman Diana menghela napas. "Kalau kakekmu tahu mungkin dia bisa sangat kecewa, kamu berprestasi, kamu harapan keluarga, Diana. Kenapa kamu malah seperti ini, hah? Kakekmu bisa sedangan jantung!"

"Ya Paman jangan bilang ke kakek!"

"Berani kamu meninggikan suara?!" Hampir saja satu pukulan melayang ke wajah Diana, jika saja pria paruh baya itu tidak menahan emosi di detik terakhir.

"Lebih baik sekarang kita pulang. Kamu di sini sudah cukup membuat Paman malu. Soal pendaftaran sekolah baru, kita bicarakan perlahan. Karena mau ditutupi pun kakekmu akan tahu," putus paman Diana. Begitu kemudian beliau pamit pada Pak Bandi dan meminta maaf pada Arvin sekali lagi, sebelum kemudian pria itu beranjak bersama dengan Diana.

***

Kelimanya keluar dari ruangan kepala sekolah dengan perasaan lega. Perbincangan ringan menjadi topik sepanjang jalan mereka menuju parkiran. Sekolah sudah sunyi, kasus ini sengaja dibahas usai pelajaran karena untuk melindungi nama baik sekolah dan Diana, ini adalah permintaan Arvin sendiri yang tidak mau mempersulit keadaan dengan gosip yang akan melemahkan mental seseorang.

"Kalau lo nggak minta kasusnya dibahas setelah pulang sekolah, rasa tuh bocah abis dibully, Bang," celetuk Danu yang sudah duduk di sepeda motornya. Memakai helm seraya menatap Arvin yang tersenyum simpul menanggapi kalimatnya.

"Lo kebaikan Bang, kenapa dikasih kendor, sih?" Fandy yang geram sejak tadi mulai berkata lagi. "Seharusnya kita bawa ke kantor polisi, aja! Pelecehan terhadap lelaki!"

"Bakalan ribet kalau libatin polisi, gue nggak mau ribet, DO aja udah cukup kayaknya," balas Arvin.

"Ah, nggak asik." Fandy menghidupkan sepeda motornya, kemudian beranjak dari tempat parkir.

Semuanya sudah pergi, tertinggal Arvin yang sudah siap menjalankan kereta, tetapi ia tersadar sesuatu setelahnya.

"Gue pengen ketemu sama Aletta," lirihnya.

Ya, meskipun Hendery tak memberitahu jawaban bagaimana dari Aletta yang ia meminta bertemu. Arvin tak peduli, toh rumah mereka dekat, mereka bisa bertemu di rumah saja nanti.

Sebuket bunga sudsh dibeli Arvin sewaktu pulang. Begitu tiba rumahnya yang sunyi karena ibu dan ayah yang masih di luar kota menyambutnya, tetapi kali ini Arvin tidak terlalu lama di rumah, ia mampir hanya untuk memasukkan kereta ke garasi, melepas sepatu, meletakkan tas, kemudian ia berjalan ke rumah Aletta dengan buket bunga mawar putih kesukaan gadis itu.

"Bibi?" Arvin tersenyum singkat. Kemudian melirik ke dalam rumah. "Aletta-nya ada?"

Wajah asisten rumah tangga Aletta yang membukakan pintu seketika berubah, ia menatap Arvin dengan tatapan tak enak.

"Non Aletta nggak di rumah, Den."

TBC

ANTAGONIS [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang