Sendirian

4.7K 298 0
                                    


Diana mungkin terlalu naif, dia seharusnya tahu bagaimana Aletta sekarang. Dia seharusnya ingat jika Aletta tak akan pernah membiarkan kehidupannya tenang selagi masih di sisi Arvin. Tetapi, meninggalkan Arvin juga hal yang sulit baginya.

"Lo jadian sama Arvin?" tanya Aletta dengan suara dingin. Matanya menusuk tajam, emosi dan kesakitan akan patah hati tersirat jelas.

Aletta merasakan dunianya runtuh saat mendengar kabar hubungan Arvin dan Diana kemarin. Beruntung saja Diana karena kesibukan Aletta gadis itu baru sekarang punya kesempatan untuk memberikan pelajaran.

"Iya." Diana menunduk karena tak tahan menatap mata Aletta.

"Hahaha!" tawa sarkas cewek berkulit putih pucat itu menggelegar. "Gue masih inget banget sama omongan lo, Di. Di mana lo bilang kalau 'gue nggak suka sama Arvin, dia yang suka sama gue' tapi nyatanya? Lo jadian sama dia. Asli! Gue nggak nyangka kenapa ada cewek semunafik lo," cibir Aletta.

"Waktu itu memang Kak Arvin suka sama aku dan aku nggak ada rasa apa-apa ke Kak Arvin."

"Lo nggak capek bohong terus? Lo itu pengkhianat! Bisa-bisanya lo suka sama tunangan gue!"

"Dia masih calon tunangan kamu, Aletta! Dia cinta sama aku, aku juga. Jadi, bisa nggak sih kamu stop kejer-kejer dia? Semua sia-sia, kamu cuma akan kehabisan—"

Kalimat Diana terhenti begitu Aletta menyiramkan es teh yang ada di tangannya. "Biar nggak panas." Aletta melempar cup es teh ke sembarang arah.

Diana yang berdiri di hadapannya terdiam kaku. Tubuhnya bergetar menahan amarah dan tangis.

"Kamu seharusnya tahu diri." Suara Diana kembali mengudara. "Sampai kapanpun, kalau kamu terus gini Kak Arvin nggak akan bisa cinta sama kamu."

Plak!
Satu tamparan melayang mulus di pipi Diana.

"Sorry, gue bukan lo. Gue bisa dengan cara gue."

"Aletta!" Suara menggelegar Arvin mengejutkan Aletta. Cowok itu berlari dari ujung lorong seperti orang gila. Mendorong Aletta yang mematung karena kaget akan kehadiran Arvin. Lorong sunyi mendadak sangat ramai karena hal itu.

Dari arah belakang Anasya dan Agnes berlari mendekati Diana yang basah seragamnya sembari sengaja menabrakkan pundaknya ke bahu Aletta.

"Lo apa-apaan, sih? Kenapa lo kayak gini, huh?!" Arvin membentak Aletta, lagi. Di depan banyak siswa-siswi sekolah.

"Lo harusnya tahu," jawab Aletta dingin.

"Hubungan kita masih samar, Ta! Sedangkan gue sama Diana udah jelas. Lo harusnya sadar diri! Gue 'kan udah bilang, lo itu seharusnya batalin pertunangan kita! Lo yang nggak mau! Lo yang mau bertahan, jadi lo juga harus bisa nerima kenyataan."

"Arvin, lo kenapa sih belain dia?! Lo kenapa cinta banget sama dia? Apa yang dia punya, coba?"

"Hati nurani! Dia punya nurani untuk menyayangi dan mencintai orang dengan tulus, dia punya satu hal penting yang nggak akan ada di lo sebagai cewek nggak tahu malu yang egois, manipulatif!"

Cukup. Aletta rasa cukup ia mendengar semua hinaan itu. Dadanya sudah sesak. Hingga kemudian Aletta memilih untuk pergi. Langkah Aletta melamban saat melihat Agnes di belakang Anasya. Mendadak sosok Agnes mengingatkan Aletta akan sesuatu. Sehingga sebuah senyuman sinis dan tawa kecil yang meremehkan terlihat. Agnes yang diam di belakang Anasya melihat senyuman tersebut merasa terhina.

"Woy! Lo ngapain, sih?" Hendery yang baru saja menghampiri Aletta menatap gadis itu heran bercampur kesal.

"Gue lagi luapin emosi."

"Ya nggak gini juga," keluh Hendery. Dia menahan langkah Aletta. Gadis itu hanya menatapnya datar. "Sebagai temen, gue nggak rela lo kayak tadi. Ta, lo boleh benci, tapi jangan ginilah. Nanti semua orang makin benci sama lo."

"Gue nggak peduli."

"Ta—"

"Hei, lo sebenarnya kenapa, sih? Masih temen 'kan? Nggak lebih. Jangan atur gue! Gue nggak suka!" seru Aletta. Detik kemudian, langkah jenjangnya menjauh dari Hendery yang sudah sangat kalut.

"Gue kayak gini tuh karena gue sayang sama lo!" teriak Hendery yang spontan menghentikan Aletta.

"Lupain cinta lo. Itu cuma nyakitin lo karena gue nggak akan suka sama lo."

Hendery tersenyum sinis. "Kalau gitu, lo juga lupain Arvin, karena sampai kapanpun dia nggak akan cinta, bahkan suka sama lo!" balas Hendery sinis.

Posisi mereka sama, keadaan mereka sama. Mencintai seseorang yang mencintai orang lain. Tetap berdiri tegak mengudarakan seruan cinta meskipun yang dicintai tak menjawab seruan mereka. Meskipun hujan dan panas menyerang kulit, meskipun pisau selalu menyayat hati. Memang, pada dasarnya cinta itu akan membuat orang bodoh. Membuat orang menjadi makhluk tak berguna dan tak berdaya akan rasa yang ada di hati.

TBC

ANTAGONIS [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang