Teman?

4.6K 309 2
                                    


Kelopak mata itu bergerak. Seketika Hendery mulai antusias menanti sadarnya Aletta. Sampai akhirnya iris kelam itu akhirnya terbuka sempurna. Hendery tersenyum lebar menyambut Aletta yang akhirnya bangun.

"Ngapain lo di sini?" tanya Aletta sinis. Ia ingin bangkit tetapi perih di bagian lukanya membuat gadis itu kembali limbung.

"Lo ngapain sih lari-lari? Baru sembuh juga! Lo tahu? Luka lo pendarahan, Ta! Diperban lagi. Untung nggak parah, untung juga noh nggak melebar, kalau melebar gimana? Bisa keluar usus sama lambung lo dari dalem!"

"Heh! Mulut lo, ya! Dasar bocil!"

"Gue serius! Lo itu, udah kena tusuk pisau, malah gegayaan ikut lari-lari, lupa sama—" Hendery memotong kalimatnya. Ia mendekatkan wajahnya ke arah wajah Aletta dan mengucapkan sebuah kata yang berhasil membuat cewek itu kaget.

"Lo tahu dari mana?!"

Hendery tersenyum lebar. Sejak awal dirinya yakin hal ini akan berhasil membuat Aletta takut.

"Gimana ya kalau semua orang tahu?" gumam Hendery sengaja memancing Aletta.

"Woy! Jangan kasih tahu! Please!"

Cowok itu tersenyum kembali. Ia mendekatkan diri ke arah Aletta. "Dengan satu syarat," ujarnya.

"Lo nggak boleh ngehindari gue, nggak boleh nolak pemberian gue, harus jadi temen gue. Gimana?"

Cewek itu menghela napas kasar. Ia mengangguk lemah. Selain karena malas menanggapi, ia juga sangat tersiksa dengan rasa sakit sampai sulit untuk mengeluarkan tenaga lagi. Perdebatan dan teriak-teriak seperti tadi cukup membuatnya kehabisan sebagai kekuatan.

Jawaban dari Aletta membuat Hendery sangat senang. Cowok itu segera mengeluarkan camilan yang ia bawa tadi. Kemudian menyerahkan obat yang diberikan dokter UKS, kemudian air putih untuk Aletta. Pemuda itu seketika berubah menjadi sosok yang perhatian setelah tadi dia sangat menyebalkan dan menguji kesabaran Aletta.

***

Sekolah sudah sunyi sejak tadi. Pelajaran sudah berakhir, sedangkan Hendery dan Aletta masih di sekolah.

"Jadi sejak jam pelajaran ke empat lo nungguin gue bangun?"

"Iya."

"Nggak takut di marah guru lo?"

"Gue udah izin, kok," jawab  Hendery. "Lagian kalau bukan gue siapa lagi yang jagain lo?" tanya Hendery dengan senyuman jahilnya. Sengaja menggoda Aletta. Meskipun itu bukan godaan tetapi sarkasme.

"Gue juga bingung, ke mana antek-antek lo? Gue inget banget dulu pertama kali masuk sekolah waktu lo demam semua antek-antek langsung datang, bawa ke rumah sakit, naik ambulan. Mana banyak banget lagi anggotanya."

Aletta mengusap wajahnya kasar. Sungguh ia sangat ingat kejadian itu. Meskipun itu bukan yang pertama. Tetapi, detik itu juga adalah puncak kesabaran Aletta menghadapi posesifnya seorang Bramantyo.

"Itu anggota bokap gue. Mereka nggak lagi heboh karena permintaan gue."

"Permintaan gimana?"

"Gue minta untuk nggak heboh untuk masalah kecil. Jadi, setelah itu nggak ada lagi kejadian itu, termasuk sekarang. Mungkin cuma satu sop—"

"Non Tata!" Seorang pria tua dengan rambut penuh uban itu berlari ke arah Aletta. Mengelilingi gadis itu untuk memastikan keselamatannya. "Ayo cepat kita pulang, Non Tata harus banyak istirahat."

Hendery tersenyum kecil melihat kelakuan sopir Aletta. Pemuda itu menggeleng ringan karenanya. Sedang Aletta yang sudah berada di jok belakang mobil menghela napas kasar.

"Mereka begitu, karena mereka sayang, Ta."

Kalimat Hendery dibenarkan oleh si sopir—Bejo. Cowok berambut hitam itu tertawa melihat wajah kesal Aletta yang semakin jelas.

"Lo beruntung punya mereka, Ta. Bahagia terus, ya," tutur Hendery seraya mengusap kepala Aletta sekali lagi.

"Heh! Gue lebih tua! Nggak sopan lo!"

"Seneng banget jadi cewek tua kayaknya," ledek Hendery.

Detik kemudian mobil melaju sedang cewek berwajah kesal di dalam mobil mendadak tersenyum kecil. Ia juga kesal. Tetapi juga bahagia. Semua bercampur menjadi satu.

Hendery masih terlihat berdiri menatap kepergian mobil yang ditumpangi Aletta. Dengan senyuman yang sama. Sosok pemuda itu seolah datang dikirim oleh Sang Kuasa. Menguatkan Aletta yang lemah. Ada banyak sekali hal aneh dan tak terduga dari diri Hendery. Yang pasti, di antara banyak orang yang takut, benci, dan iri terhadap Aletta. Hanya Hendery yang sudi untuk mendekat. Di saat semua orang menjauhinya.

"Takdir udah nentuin ini. Entah lo ada buat gue karena lo beneran cinta sama gue atau cuma karena hal lain yang gue nggak tahu. Yang pasti, semua ini adalah takdir yang harus gue jalani selanjutnya. Entah sakit hati yang bagaimana nantinya, gue bakal hadapi kayak biasa. Menjadi antagonis yang kuat meskipun selalu gagal dan dibenci," gumam Aletta kepada dirinya. Selalu begini di saat ia bahagia. Selalu tak pernah terlupa, karena Aletta yakin, kebahagiaan yang dirasa tak akan lama. Entah detik, menit, jam, atau hari berikutnya, kebahagiaan ini pasti akan hilang.

TBC

ANTAGONIS [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang