[12] "Naluri Penentang"

4.4K 1K 24
                                    

Ruang musik lantai dua ternyata tidak kosong.

Kim Dokja melihat tanda biru yang terpajang di depan pintu, mengartikan ruang tersebut sedang dipakai. Dia ragu sesaat sebelum mendorong pintu itu terbuka untuk mengecek langsung.

Alunan melodi yang segera dikenalinya sebagai salah satu lagu milik pemusik klasik Chopin mengalir lembut. Pemuda itu melangkah masuk sebelum menutup pintu pelan. Ruang yang lengang menyambut kehadirannya.

Beruntung, ruang musik tidak sedang dipinjam oleh satu kelas melainkan hanya digunakan oleh seseorang. Jika ada kelas yang sedang belajar, Kim Dokja sudah pasti akan kembali mengundurkan dirinya dengan sopan, tidak ingin mengganggu ketenangan belajar orang lain, biar pun Kyrgios ada untuk menjamin kehadirannya.

Kim Dokja lantas bersandar di dinding dekat pintu, memandang ke arah sisi jendela di seberangnya, tempat di mana sebuah grand piano hitam terpajang dan seseorang sedang terhanyut memainkan nada tanpa menyadari kedatangannya.

Tidak perlu untuk menebak agar tahu siapa itu, bahkan jika sosok tersebut sedang memunggunginya, Kim Dokja yakin dia tak akan pernah bisa lupa siapa pemilik punggung lebar itu. Punggung yang nyatanya telah duduk di depannya sepanjang tiga musim penuh tahun lalu.

Walaupun Yoo Jonghyuk berada di antara kerumunan, Kim Dokja punya kepercayaan diri bahwa dia akan dengan mudah menemukan kehadiran pemuda itu tanpa kesulitan, karena sebaik itulah Kim Dokja mengenali sosoknya.

Namun, Kim Dokja baru tahu jika Yoo Jonghyuk rupanya bisa bermain musik? Sejauh yang dia ingat, Yoo Jonghyuk sendiri tergabung di klub sains waktu kelas satu. Kenyataan baru yang ditemukannya ini jelas mengejutkannya.

Di tengah tempo musik yang melambat dan hendak mencapai akhir, ponsel Kim Dokja mendadak berdering nyaring.

Pemuda itu tersentak dan buru-buru mengangkat teleponnya. Dia lekas berbalik memandang dinding sembari menahan kejutan yang membuat jantungnya terasa nyaris melompat ke tenggorokan.

"Mom, aku sedang di sekolah. Sudah kukatakan berkali-kali jangan meneleponku saat di sekolah!" gumam Kim Dokja menekan suaranya.

Dia bergegas membalikkan badan tanpa melihat tanggapan pihak lain, jantungnya terus berdetak tak beraturan seakan dirinya tengah tertangkap basah memasuki wilayah orang lain.

Dari belakangnya, suara permainan piano Yoo Jonghyuk tidak lagi terdengar. Kim Dokja memejamkan mata, menghela napas berat pada nasib yang tak pernah berdiri mendukungnya.

Suara ibunya terdengar tak acuh atas protes putranya. Persephone berkata cepat di seberang telepon, "Maaf, Mom lupa mengabarimu pagi ini, aku dan ayahmu akan pergi beberapa hari ke Busan. Jika butuh sesuatu, sampaikan saja pada kepala pelayan dan uang jajan tambahanmu sudah Mom transfer. Kau ingin beli sepatu olahraga baru, 'kan?"

Kim Dokja mengernyit. Ketenangannya telah perlahan kembali menguasai. "Tiba-tiba sekali?" sergahnya merasa tidak adil. Padahal belum lama sejak orang tuanya kembali dari perjalanan bisnis yang lalu, sekarang mereka harus meninggalkannya lagi.

Persephone mengembuskan napas dari seberang panggilan. Nadanya menyimpan khawatir, tetapi tetap terurai lembut untuk memberikan pengertian hangat pada putra semata wayangnya. "Iya, keluarga pamanmu kecelakaan dan kami harus pergi menjenguknya. Aku paham sekolahmu sedang sibuk dan kau mesti mempersiapkan diri untuk tampil di pagelaran seni, jadi fighting! Jangan khawatirkan hal lain. Selebihnya, kau bisa mengajak Sooyoung menginap di rumah jika kau kesepian, tapi ingat jangan macam-macam sama anak gadis orang."

Kim Dokja baru akan memekik protes soal pernyataan tak masuk akal itu ketika sambungan teleponnya sudah diputus duluan. Wanita itu sama sekali tidak membiarkannya menentang atau memberinya kesempatan menahan mereka.

"Kebiasaan," gerutu Kim Dokja menurunkan ponselnya dan mengganti mode ke getar. Beruntung dia sedang tidak di kelas sekarang.

Lantas, Kim Dokja perlahan sadar akan sesuatu, dia terlambat menyadari sesuatu yang lebih penting untuk tadinya dia protes.

Tunggu sebentar, mengapa ibunya bisa tahu dia diminta bersiap tampil di pagelaran itu? Dia bahkan baru diberitahu hari ini. Kening Kim Dokja menekuk akan banyak dugaan buruk. Sekarang tampaknya sudah jelas siapa biang utama skenario baik ini.

Namun, pemuda itu tidak tenggelam terlalu lama untuk memarahi ibunya di dalam hati. Toh, itu percuma saja. Wanita itu tidak ada di hadapannya sekarang. Alih-alih dia selanjutnya teringat hal terpenting lainnya, bahwasanya seseorang yang sangat tidak ingin dia temui saat ini masih ada di ruangan yang sama dengannya.

"Tenang Kim Dokja, bersikap saja sok cuek seperti yang semestinya kau lakukan," batin Kim Dokja merapalkan ketenangan pada dirinya sendiri, mendorong sebaik mungkin agar dia jangan sampai terhanyut pada rasa takut lebih-lebih bersalah.

Dengan itu, Kim Dokja berbalik dan kembali bersandar santai di dinding seakan dia bukanlah penyusup gelap saat ini. Yoo Jonghyuk juga rupanya tidak menatap ke arahnya dan masih dalam posisi memunggunginya.

Hati Kim Dokja segera diliputi kelegaan mengetahui itu.

Yoo Jonghyuk lantas berkata tanpa intonasi, "Ruangan ini masih akan kupakai hingga 40 menit ke depan, kembalilah setelah itu."

Apa dia barusan sedang diusir? Kim Dokja mengernyitkan keningnya sedikit tak senang.

Mungkin sebab belakangan ini dia terbiasa cari ribut dengan Yoo Jonghyuk dan berupaya menarik kesan buruknya, sehingga pikiran pikiran pemuda itu tidak lagi dapat menarik garis lurus. Apa pun yang Yoo Jonghyuk katakan, otak Kim Dokja akan selalu menerjemahkan balasan otomatis yang tidak menyenangkan. Hampir sudah seperti refleks yang buruk.

Jadi bibir Kim Dokja berucap sebelum dia memikirkannya lebih jauh. "Itu hakku untuk pergi ke mana saja yang yang kuinginkan. Jika kau tidak suka, kenapa tidak kau saja yang tinggalkan tempat ini?"

Yang mana segera disesalinya.

Mulutnya tampaknya mulai terbiasa melawan Yoo Jonghyuk secara naluri. []

.

.

.

Bersambung.

Gapapa Ja, itu pesona terbesarmu!

[BL] Their Story (JongDok)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang