Kim Dokja mengusap rambutnya yang baru dicat pirang dengan sedikit tidak nyaman. Stylist ibunya menyarankannya untuk mencoba suasana baru sebelum penampilannya di sebuah kompetisi. Kali ini dia perlu berangkat ke Jepang seminggu lagi.
"Berhenti menertawakanku." Remaja itu begitu geram pada teman kecilnya yang terus saja terpingkal seusai dia mengirimkannya foto selca terbarunya. Entah dingin dari cuaca bersalju ataukah rasa malu yang merasa dirinya memang tampak menggelikan dengan penampilan ini hingga membuat wajah lelaki itu merah padam di balik syal. "Aku tahu ini tidak cocok, aku akan segera mengubahnya sekembalinya aku dari Jepang."
Suara Han Sooyoung mengalir dari seberang sambungan telepon dengan nada geli. "Dasar payah, aku tidak bilang itu buruk. Hanya saja, apa-apaan kacamata bulat jelek itu? Kau jadi kelihatan cupu sekali."
Kim Dokja memperbaiki kacamata yang bertengger di hidungnya. "Penglihatanku memburuk belakangan, kurasa aku akan mulai menggunakan lensa kontak ke depannya."
"Itu karena kau tidak mau mendengarkan nasihatku, sudah kubilang berapa kali berhenti membaca sambil berbaring dan turunkan kecerahan layar ponselmu. Melihat ponselmu dari jauh saja mataku sudah sakit duluan," gerutu Han Sooyoung gemas sekali ingin memukul belakang kepala temannya. Jika saja dia ada di samping anak itu sekarang, sudah pasti novel bersampul keras miliknya melayang sedari tadi.
Kim Dokja berdecak menahan jengkel, ingin sekali dia mematikan ponselnya kalau tak ingat dia cukup bosan menunggu di tempat asing. "Jangan mengguruiku, kau terdengar seperti ibuku."
"Dasar menyebalkan." Han Sooyoung merutuk kecil dan mengubah topik sesuai keinginan temannya. "Di mana kau sekarang?"
Anak itu meniupkan telapak tangan kirinya yang mulai terasa beku sebelum menjawab, "Masih menunggu dijemput."
"Tempatnya, bodoh. Aku tidak tanya kau sedang apa." Lagi-lagi Han Sooyoung menanggapi sinis.
Kim Dokja yang menginjak usia enam belas tahun kian berang. "Aku tidak tahu ini di mana! Memangnya aku tahu jalan apa?"
Terdengar suara helaan napas Han Sooyoung. "Aku lelah sekali denganmu, benar-benar tidak bisa dipercaya. Tuan Muda, kau perlu mulai belajar mandiri dan tidak bergantung dengan siapa pun."
Kim Dokja menendang salju di bawah sepatunya. Dia tidak suka dengan nada mengeluh Han Sooyoung tiap kali dirinya tak bisa lepas dari bantuan sekitar. Padahal ini tidak semata-mata keinginannya melainkan juga campur tangan protektif dari ibunya.
"Aku tahu, aku akan belajar naik bus nanti kalau sudah SMA."
"Memangnya diizinkan? Pasti Bibi akan memberimu sopir atau mungkin mobil sendiri."
Kim Dokja baru akan membuka suara membalas sewaktu sebuah klakson mobil bergema nyaring di udara. Tubuh lelaki itu tersentak kaget. Dia lekas mengangkat pandangan ke depan dengan degup jantung yang berderu hebat.
"Hei, suara klakson apa itu? Apa yang terjadi di sana?" Pertanyaan Han Sooyoung membangunkan kembali kesadarannya.
"Sooyoung-ah, aku akan ke rumahmu nanti malam. Sudah dulu, kututup sekarang." Diputusnya sambungan telepon tanpa menunggu tanggapan temannya.
Kim Dokja berlari ke depan, ikut menghambur ke jalanan yang ramai oleh orang-orang yang bergegas menolong. Dia terlalu terpaku menunduk hingga tak menyadari bahwa sebuah kecelakaan berlangsung di depan matanya. Nurani hatinya tidak membiarkannya untuk diam saja. Sebelum benaknya mengatur pikiran, tungkainya telah bergegas ke depan mencari tahu apa yang bisa dilakukannya untuk menolong.
"Nak, kamu bisa berdiri?" Seorang wanita paruh baya mengulurkan tangan dengan wajah syok.
Rupanya ada seorang gadis yang hendak menyeberang ketika sebuah mobil yang melaju cepat nyaris saja menabraknya. Beruntung bahwa mobil itu sempat mengerem mendadak dan tidak memberi luka parah pada korban.
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Their Story (JongDok)
أدب الهواة[Omniscient Reader's Viewpoint Fanfiction] Katanya, masa SMA itu waktu paling terkenang. Jadi apa masa sekolah Kim Dokja juga begitu? . Atas cetusan bodoh, Kim Dokja bertaruh dengan Han Sooyoung. Han Sooyoung bertaruh bahwa Yoo Jonghyuk, sosok palin...