[13] "Dua Sudut Pandang"

4.5K 1K 152
                                    

Kim Dokja tak berhenti mengutuk dalam hati.

Dia membuka bibir, ingin meralat tapi mengurungkannya segera. Bukankah itu aneh jika dia tiba-tiba minta maaf setelah semua yang telah dia lakukan selama ini?

Kim Dokja memijat pangkal hidungnya, begitu lelah.

Sekarang jalur damai juga bukan opsi yang bisa dia raih. Bagaimanapun, belum ada kepastian penuh bahwa Han Sooyoung menerima pembatalan taruhan ini. Jika gadis itu menolak dan Kim Dokja sudah lebih dulu meminta maaf pada Yoo Jonghyuk, maka semuanya akan kacau balau.

Kim Dokja punya batasan tegas. Dia bisa kalah dari siapa pun, tetapi bukan Han Sooyoung. Itu adalah akhir baginya jika dia membiarkan gadis itu gembira dengan kemenangan dari kejatuhannya.

Tidak bisa.

Kim Dokja sangat keras kepala tentang itu.

Jadi kenapa memangnya jika dia nantinya bisa jadi akan dihajar Yoo Jonghyuk? Bukankah itu justru sempurna? Yoo Jonghyuk tidak mungkin akan menerima pernyataan cinta dari orang sinting seperti Kim Dokja yang terus-menerus mengatakan hal buruk di depannya dan menghabisi kesabarannya.

Kim Dokja selalu menjadi orang yang mudah mengambil sisi positif dalam hidup. Lewat gagasan baru dan keyakinan menyimpangnya, dia kembali menegapkan tekadnya untuk menerobos apa pun di hadapannya. Selama ada jalan, dia tidak akan pernah menyerah—tidak, bahkan jika tak ada jalan yang bisa dilaluinya, maka Kim Dokja hanya akan maju dan menciptakan jalan untuk dirinya sendiri.

Hitung saja sudah kepalang basah oleh hujan, sekalian saja dia terjun ke laut dan meredam dirinya dalam arus. Sedikit ombak tidak akan membuatnya mati.

Kim Dokja menghela napas, jika sudah begini maka dia hanya bisa maju dan mengambil kesempatan lain.

"Aku tidak bisa melewatkan kesempatan ini, tidak ada yang bisa memastikan apa ada kebetulan kami akan berpapasan seperti ini lagi," batin Kim Dokja sembari membawa langkahnya maju mengikis jarak antara dirinya dan Yoo Jonghyuk.

Kim Dokja punya banyak rencana di kepalanya untuk menarik emosi Yoo Jonghyuk dan dia tidak bisa hanya melakukannya di tempat-tempat yang ada orang. Setiap bibit kemarahan itu harus bisa diusik setiap ada waktu sampai suatu hari dia akan memekar dengan emosi penuh.

"Nocturne in C Sharp Minor." Suara Kim Dokja mengalir di samping telinga Yoo Jonghyuk. "Kau memainkannya cukup bagus untuk standar amatir," gumamnya menepukkan tangan di samping bahu kanan Yoo Jonghyuk.

Obsidian Yoo Jonghyuk bergulir ke samping, ditatapnya pemuda yang kini menjatuhkan diri duduk di sisinya tanpa beban.

"Kenapa? Tidak suka orang lain duduk di sampingmu?" Seringai Kim Dokja terukir di sudut bibir.

Dia tahu Yoo Jonghyuk anti didekati. Pemuda itu punya reaksi tertentu saat seseorang mencoba mendekat di sekitarnya. Ketidaknyamanan selalu terpampang jelas di parasnya. Sebagaimana jika Kim Dokja mencoba membantunya di masa lalu. Yoo Jonghyuk saat itu akan selalu mengeraskan rahangnya atau menepis tangannya kasar.

Diberi tatapan dingin seperti saat ini bukan hal yang terlalu berat bagi Kim Dokja. Itu juga sebabnya dia sangat percaya diri dan merasa tidak akan takut atau terpengaruh berlebih—seperti umumnya reaksi orang-orang—saat pertama kali dia melangkah maju di perpustakaan.

Kim Dokja nyatanya sudah mengembangkan kebiasaan untuk menerima watak Yoo Jonghyuk dalam garis tertentu di alam bawah sadarnya. Meski kadang kala dia masih tetap akan ciut jika berpikir Yoo Jonghyuk akan benar-benar memukulnya.

Namun, selama Yoo Jonghyuk tidak melakukan itu, Kim Dokja yakin dia tidak akan pernah tertekan di bawahnya.

Kursi itu cukup luas bahkan jika tiga orang dewasa duduk di sana, tetapi Kim Dokja sengaja tidak mengambil jarak jauh, dia duduk tepat sejengkal pemisah antara dirinya dan Yoo Jonghyuk, membiarkan lengan mereka akan bersentuhan jika dia terlalu banyak bergerak.

Jari Kim Dokja terangkat dan menekan lembut salah satu tuts piano. Dia tidak bisa memainkannya dengan lihai seperti Yoo Jonghyuk. Kim Dokja hanya tahu beberapa lagu klasik sederhana dan sebatas beberapa judul musik modern.

Persephone pandai memainkan piano. Di masa lalu, ibunya adalah seorang pianis muda berbakat di Inggris, hanya sampai ketika wanita itu jatuh cinta pada seorang pria yang selalu datang menonton konsernya.

Musik adalah jalan yang menyatukan kedua orang tuanya.

Kim Dokja tanpa sadar tersenyum lembut kala teringat bagaimana berserinya wajah ibunya dan hangatnya tatapan ayahnya saat keduanya bercerita bagaimana mereka awal bertemu.

Jendela yang dibiarkan terbuka mengembuskan angin musim semi, membawa gorden berderak serta aroma bunga yang memekar. Atensi Kim Dokja teralih, sejenak lupa tujuan utamanya. Pandangannya mengunci pepohonan yang bekersik renyah.

Yoo Jonghyuk duduk di samping pemuda itu, sedari tadi hanya mengunci sisi wajah sosok yang selalu saja tak punya rasa takut di sekitarnya. Berbeda dengan orang lain, Yoo Jonghyuk tidak pernah merasa atensinya mudah beranjak. Sekali dia menaruh pandangan pada satu hal, sulit untuknya berpaling hingga dia benar-benar meraihnya atau menguasainya.

Namun, Kim Dokja bukan hal seperti itu.

Dia bukan lukisan yang bisa Yoo Jonghyuk kuasai jika dia terus belajar dan berlatih. Bukan pula rumus yang bisa dia pahami jika dia terus membaca dan menekurinya.

Hingga saat ini, Yoo Jonghyuk tidak bisa menjabarkan satu hal pun tentang pemuda ini.

"Kim Dokja." Suara bariton Yoo Jonghyuk menggumamkan nama itu rendah.

Kim Dokja spontan menoleh, tak bisa menyembunyikan kewaspadaan oleh panggilan mendadak itu. "... Apa?"

Yoo Jonghyuk menurunkan pandangannya, menatap sekilas pada bulu mata panjang milik pemuda itu yang bergerak tiap kali Kim Dokja berkedip lembut. Yoo Jonghyuk tahu bahwa Kim Dokja punya tatapan yang berbeda. Matanya selalu mencerminkan isi hatinya dengan jelas.

Netra Yoo Jonghyuk sedikit menyipit. Bohong jika dia tidak penasaran alasan pemuda ini mendadak mendekatinya dan menyuarakan berbagai omong kosong bodoh.

Yoo Jonghyuk selalu tahu, seburuk apa pun Kim Dokja melontarkan kalimat, tidak ada sapuan perasaan negatif serupa yang melintas dalam pandangannya. Yoo Jonghyuk sadar dengan sangat jelas, Kim Dokja tidak pernah punya niat buruk padanya.

Itulah mengapa Yoo Jonghyuk hanya diam saja dan membiarkannya.

Kim Dokja tidak tahu, sejak awal dia menarik buku Yoo Jonghyuk di perpustakaan, jika itu orang lain dan bukan dirinya, mungkin orang itu sudah tidak punya keberanian untuk datang ke sekolah lagi besok. Sebab, Yoo Jonghyuk tidak akan membiarkan tangan yang mengusiknya akan tetap utuh.

Alis Kim Dokja mengerut, dia menatap menahan kesal pada pemuda itu. Kim Dokja benci sekali seseorang yang memanggilnya dan menggantung perkataannya. Jika itu Han Sooyoung, Kim Dokja sudah akan membekap mulut gadis itu karena berani mempermainkannya.

Menggertakkan gigi, Kim Dokja berkata, "Aku tidak akan pergi tak peduli apa pendapatmu." Dia menebak jika Yoo Jonghyuk pastinya ingin dirinya angkat kaki dari sini.

Tidak ada alasan bagi Kim Dokja mematuhinya. Ada Kyrgios yang dijadikannya tameng jika pemuda ini mulai marah pada kehadirannya.

Namun, berbanding terbalik dengan apa yang Kim Dokja kira, Yoo Jonghyuk kembali memalingkan wajah ke depan dan tidak peduli lagi pada presensinya.

"Lakukan sesukamu," balas Yoo Jonghyuk tenang sembari mulai memfokuskan kembali pandangannya pada lembaran partitur musik di hadapannya.

Kim Dokja membulatkan mata.

Dia sungguh diizinkan? Atau apa ini sebuah pengabaian? Mungkinkah Yoo Jonghyuk telah tiba di titik tidak mau peduli padanya lagi? Kim Dokja mulai merasa disudutkan.

Jika begini, tidakkah ini berarti kesulitan menarik kebenciannya telah meningkat?

Kim Dokja tidak bisa menahan perasaan terperangah ini, jadi dia bertanya terus terang, "Apa sekarang kau akan mengabaikanku?" Suaranya membawa nada keluhan yang tak tersamarkan.

Yoo Jonghyuk menemukan pertanyaan itu sangat menarik. Dia kembali menoleh lantas membalas tenang, "Jadi apa kau ingin kuperhatikan?"

Itukah tujuannya? []

.

.

.

Bersambung.

:)

[BL] Their Story (JongDok)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang