"Kau sungguh berani, aku benar-benar kagum padamu saat ini." Jung Heewon bertepuk tangan tanpa peduli gemanya yang terdengar ke seisi kelas.
Setelah Kim Dokja menginjakkan kaki, keheningan secara otomatis merambati ruangan. Semua obrolan terjeda, berganti tatap yang memusat padanya. Tidak peduli bagaimana semua orang memandanginya, pemuda itu hanya berjalan menuju kursinya tanpa komentar.
Jung Heewon yang duduk tepat di depan Kim Dokja tak ingin melepas begitu saja target yang sudah mengusik rasa penasarannya. "Kau yakin tidak apa ke sekolah?" Melihat kernyitan tak mengerti teman sekelasnya, Jung Heewon mengurai senyum manis. "Meninjau riwayat perkelahian Yoo Jonghyuk, semua lawannya setidaknya selalu butuh perawatan intensif," imbuhnya serius.
Kim Dokja menjatuhkan tasnya ke atas meja. Dia mendudukkan dirinya sambil tanpa sadar berdecak mendengar nama itu lagi-lagi disebutkan. Entah sudah keberapa kali dia mendengar nama itu meluncur ke luar dari bibir orang-orang di sepanjang jalannya menuju kelas.
"Kau salah kalau berpikir kekebalan idiot ini setara dengan mereka," cibir Han Sooyoung menyahut dari samping Kim Dokja. Gadis itu tanpa segan menepuk kepala teman semejanya lantas menyeringai. "Lihat, soal keras kepala aku yakin dia tidak ada duanya."
Kim Dokja melirik tajam Han Sooyoung, tetapi hanya sebatas itu yang mampu dilakukannya untuk menyuarakan protes. Dia sama sekali tidak berminat ikut terlibat perbincangan konyol kedua gadis itu. Tangan Kim Dokja meraih headphone dari dalam tas kemudian dibawanya langkah bangkit berdiri, beranjak pergi tanpa sekali pun memberi balasan.
"Kalau ditanya, bilang saja aku di ruang kesehatan," gumam Kim Dokja tanpa intonasi meninggalkan kelas.
Jung Heewon dan Han Sooyoung saling bertukar tatap sejenak sebelum gadis berambut pendek menukas duluan, "Terima kasih sudah memulai, kau memang paling ahli membuat seseorang tidak nyaman."
Tanpa merasa bersalah, Jung Heewon mengangkat bahu ringan. "Aku pikir aku keliru tentang sesuatu. Sepertinya ada masalah rumit di antara mereka melampaui dugaanku."
Dia hanya bergumam kecil. Namun, kebungkaman Han Sooyoung dan cara teman kecil Kim Dokja itu memalingkan wajah merengutnya tanpa penyanggahan, gadis itu segera tanggap asumsinya dapat dibenarkan.
"Hei, Sooyoung. Sebenarnya apa yang sudah terjadi di antara keduanya?" Intuisi Jung Heewon bisa merasakan kelumit kusut yang kian menyulut keingintahuannya.
Han Sooyoung berdesis tanpa mengangkat tatapan. Matanya kini mengunci layar ponselnya yang menampilkan sebuah ruang obrolan. "Kenapa kau bertanya padaku? Memangnya aku yang bermasalah?" ketusnya.
Alis Jung Heewon terangkat samar. Mereka pernah berbagi meja di tahun pertama sehingga dia cukup terbiasa dengan temperamen Han Sooyoung. Jung Heewon cukup tahu bahwa perihal Kim Dokja, Han Sooyoung selalu punya sisi lembut yang tidak disadarinya. Jika itu menyangkut sahabatnya, biar seseorang menyudutkannya tentu gadis yang sama keras kepalanya itu tidak akan pernah mau membuka suaranya. Tidak ada gunanya menggali apa pun dari mulut Han Sooyoung saat ini.
Jung Heewon memanjangkan tangan mengetuk meja di depan Han Sooyoung dengan ujung jemari, memutus menggeser topik. "Omong-omong, katanya klubmu tidak jadi tampil?"
~
"Aku paham anak seusia kalian punya jiwa impulsif yang menggebu tapi tidak bisakah kau sedikit hargai dirimu sendiri? Berkelahi bukan satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah."
Kim Dokja meringis pelan ketika dokter ruang kesehatan berinisiatif memberi lukanya pengobatan. Pemuda itu menyentuh lebam di pipinya sembari mengeluh, "Anda sama sekali tidak mengerti."
Wanita yang menginjak usia awal tiga puluhan itu mendengus sembari mengusapkan salep di pipi lebam muridnya dengan penekanan lebih banyak. "Aku juga pernah muda, apa yang tidak bisa kumengerti?"
"Miss, itu sakit!" Kim Dokja menarik wajahnya dan menutup sebelah pipinya. Dia merengut pada dokter Aileen.
Tadinya dia tidak menolak dirawat sebab tahu itu lebih baik dibanding dengan perawatan asal-asalan yang dia lakukan sendiri di rumah. Belum lagi siapa yang tahu kapan ibunya akan pulang. Bisa habis dirinya jika wajahnya ditemukan babak belur.
"Kau tahu itu sakit dan masih mencari pertengkaran?" Aileen menghela napas keras, tidak habis pikir dengan kelakuan remaja itu.
Kim Dokja tidak bisa membantah. Dia juga sadar tingkahnya kemarin cukup kekanakan. Emosinya terlalu membawanya hanyut dan lepas kendali. Namun, bukan berarti dia menyesalinya. Bagi lelaki itu, Yoo Jonghyuk memang pantas diberi pelajaran atas omongannya.
Aileen menggeleng pelan lantas beralih mengganti plester baru di luka muridnya. "Aku bisa memahami temperamen Yoo Jonghyuk, anak itu memang kaku tapi kuyakin dia tidak akan menolak berdiskusi baik-baik selama kau tidak mengusiknya."
Sejauh yang diketahui olehnya, Yoo Jonghyuk bukan tipe yang akan memberi kesulitan jika orang-orang tidak menghalangi jalannya lebih dulu. Sebaliknya, Yoo Jonghyuk sendiri merupakan remaja yang terhitung dewasa dan selalu berpikiran hati-hati. Dia tidak akan impulsif mau pun menarik masalah tanpa alasan.
Aileen membubuhkan plester terakhir sambil menutur heran, "Bukankah kalian pernah sekelas? Dia bahkan pernah membopongmu dan mengkhawatirkanmu saat kau pingsan tahun lalu. Bagaimana bisa sekarang kalian malah beradu pukulan?"
Dokter wanita tersebut kemudian bergerak membereskan peralatannya dan berbalik untuk mengaturnya kembali ke tempat semula.
Kim Dokja mengusap sisi wajahnya yang masih meninggalkan denyutan. Matanya mengerjap tak mengerti. "... Kapan?"
Aileen menoleh, tak sengaja melihat kening tertekuk bingung di paras remaja itu. "Kau tidak ingat?"
Kim Dokja mencoba menggali kenangannya, butuh waktu lama hingga samar dia menemukan memang ada saat dirinya pernah pingsan. Jika tidak salah, itu dulu terjadi sewaktu dia demam tinggi dan masih memaksakan dirinya ke sekolah karena tak tahan tinggal di rumah seusai berselisih pendapat dengan ibunya.
"Saat itu ... Yoo Jonghyuk yang membawaku?" Suaranya melirih, mendadak tenggorokannya terasa berat.
Aileen tidak berniat menyembunyikan apa pun dan mengangguk. "Iya, kau menghilang di tengah jam olahraga, Yoo Jonghyuk kebetulan menyadari itu dan mencarimu."
Sejauh yang Kim Dokja ingat, kesadarannya sudah diujung batas kala penglihatannya menggelap. Dia memang sedikit sadar ada derap langkah yang mendekat tetapi tidak menyangka itu adalah Yoo Jonghyuk.
Kenapa pemuda itu tidak pernah memberitahunya?
Kim Dokja yang terbangun di ruang kesehatan menemukan Sun Wukong yang membolos kelas tertidur di ranjang sebelah dan secara sepihak menyimpulkan bahwa kaptennya yang membawanya.
Jika dipikir kembali, seniornya itu memang tidak pernah mengaku bahwa dia yang menolongnya hari itu, justru Kim Dokja sendirilah yang langsung berterima kasih tanpa menanyakan apa pun.
Kenyataan baru ini memukulnya pada satu rasa sesal yang perlahan menyusupi hatinya. Jika itu benar, maka orang yang menaruh obat di laci mejanya hari itu mungkin saja ....
Kim Dokja mengubur wajahnya di kedua telapak tangan, merutuki kebodohannya yang selalu berpikir seenaknya sendiri.
Tapi kenapa?
"Kupikir dia membenciku," lirihnya tak habis mengerti.
~
Jika membahas Yoo Jonghyuk, Kim Dokja punya setumpuk kesan baik padanya di awal.
Tidak peduli bagaimana gelapnya rumor mengalir, Kim Dokja hanya selalu percaya dengan apa yang dilihatnya dan baginya, Yoo Jonghyuk itu luar biasa. Tidak hanya pemuda jangkung itu menangkap atensinya lewat pembawaannya yang tenang dan dewasa, paras menawan pemuda itu saja sudah cukup buat Kim Dokja sulit berpaling.
Nyatanya, Kim Dokja tahu tentang Yoo Jonghyuk jauh sebelum mereka ditempatkan di kelas yang sama.
Pertama kali atensi Kim Dokja beradu tatap dengan Yoo Jonghyuk, itu adalah musim dingin di tahun terakhirnya masa SMP.
.
.
.
Bersambung.
Yang kangen ayo merapat! ✓
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Their Story (JongDok)
Fanfic[Omniscient Reader's Viewpoint Fanfiction] Katanya, masa SMA itu waktu paling terkenang. Jadi apa masa sekolah Kim Dokja juga begitu? . Atas cetusan bodoh, Kim Dokja bertaruh dengan Han Sooyoung. Han Sooyoung bertaruh bahwa Yoo Jonghyuk, sosok palin...