Sambil berjalan kaki menuju gereja, Renata terus menggenggam handphone miliknya. Ia tengah memberiku kabar, kalau nanti pesan ku tak dibalasnya itu berarti ia sedang melaksanakan ibadah minggunya di gereja.
Kebiasaan Renata memang seperti itu, apapun itu ia tak pernah lupa memberiku kabar. Juga aku, yang selalu memberinya kabar, dimanapun dan kapanpun, untuk menjaga kepercayaan satu sama lain.
Kami paham, kami punya kehidupan masing-masing yang juga tetap harus berjalan. Namun demi menjaga komitmen satu sama lain, kami lebih memilih untuk mengambil jalan tengahnya.
Untuk tetap saling berkabar, berjaga-jaga agar tidak saling mengecewakan.
Di tengah perjalannya menuju gereja, Renata dihampiri seorang pria yang mengendarai sepeda motor. Pria tersebut menanyakan sebuah alamat, lalu dijawab oleh Renata dengan memberinya petunjuk untuk menuju alamat yang di maksud.
Namun tiba-tiba, saat pria tersebut hendak pergi. Ia merampas handphone milik Renata yang sedang digenggam.
Renata panik, ia tak tahu harus berbuat apa. Ia hanya bisa menangis sendirian dan melihat pria tersebut kabur.
Hingga tak berselang lama, setelah melaksanakan ibadah Renata bergegas menemui ku di kantor. Saat itu hari sudah mulai gelap dan entah mengapa saat itu aku tiba-tiba teringat dengannya.
Aku berusaha meneleponnya, namun tak ada jawaban. Bahkan handphone miliknya tidak aktif. Tanpa berpikir panjang, aku segera menuju Renata.
Saat aku baru keluar dari kantor, Renata terlebih dahulu tiba dengan diantar oleh ayahnya. Aku segera memarkir motorku.
"Bapak pulang saja, aku menyusul setelah ini" kata Renata kepada ayahnya.
"Biar aku yang mengantar Renata pulang om" kataku.
Ayah Renata hanya mengangguk, lalu berbalik arah dan pulang. Setelah ayahnya pulang, Renata langsung memelukku.
Ia terlihat sangat sedih. Aku berusaha menenangkannya, membujuknya agar ia terlebih dahulu cerita apa yang sedang terjadi.
"Kamu dari mana? Kenapa tergesah-gesah" tanyaku.
"Handphone ku hilang" jawab Renata.
"Kok bisa? Bagaimana ceritanya?" tanyaku.
Renata lalu menceritakan kejadiannya kepadaku, meski begitu ia tetap melaksanakan ibadah dan menemuiku setelah semuanya selesai.
"Lalu, sekarang kamu pake apa?" tanyaku.
"Gak tahu, itu handphone ku satu-satunya" jawab Renata sambil menangis.
"Ya sudah jangan sedih" ucapku.
"Pake punya ku saja, kebetulan aku punya dua handphone" timpalku.
"Tapi" jawab Renata.
"Gak usah pake tapi-tapi. Kalau kau rindu macam mana? Masa iya harus kirim surat dulu" kataku.
"Hahaha gak gitu juga goblok" jawab Renata.
"Yah udah, gak usah protes kalau gitu" kataku.
"Tapi kartu ku kan juga hilang, ikut di handphone ku" ucap Renata.
"Ribet amat, yang jualan kartu pra bayarkan banyak kutil" kataku.
"Iya iya iya" jawabnya.
Dan sejak hari itu, aku melarang Renata untuk bepergian sendirian. Aku tak ingin sesuatu hal yang lebih buruk menimpanya.
Tentu saja awalnya ia menolak, sebab tak ingin membuatmu repot. Terlebih aku juga harus bekerja, juga dirinya.
"Aku ini tameng buatmu, jangan keras kepala. Kalau sesuatu kembali terjadi padamu, aku akan sangat merasa bersalah"
KAMU SEDANG MEMBACA
Seamin Tak Seiman
Non-Fiction"Kalau pada akhirnya kita tidak bisa bersama, jangan salahkan siapapun. Sebab kita telah melewati banyak hal bersama, kita sudah berjuang sekuat yang kita bisa. Kita se amin dalam doa, tapi tak seiman" "Hari ini, aku ingin kita berdoa sama-sama untu...