Meski saat itu Renata masih berusia 20 tahun, tapi ia jauh lebih dewasa dari usianya. Ia selalu bisa menjadi apa saja di waktu yang sama.
Ia bisa menjadi kekanak-kanakan saat sedang bercanda dengan adik-adiknya, ia juga bisa sangat keibuan saat mengajari adik-adiknya belajar dan mengurus seluruh keperluan dapur di rumahnya.
Ia bisa menjadi sangat bijaksana saat menghadapi banyak persoalan-persoalan berat di hidupnya. Ia bisa sangat dewasa saat berbicara dengan orang yang jauh lebih tua dengannya.
Dan ia juga bisa menjadi monster paling mengerikan saat marah. Aku sering menjadi korban kebrutalan Renata. Ia bisa menghantam dengan sangat keras di bagian mana pun di tubuhku.
Tapi ia juga adalah orang yang sangat penyayang dan perhatian padaku.
Bahkan, sesekali ia membawakan aku makan siang di kantor ku. Ia tak ingin aku terlihat kurus, katanya.
"Awas saja kalau badanmu kurus" ucap Renata.
"Badanku kan memang kurus, Ta" jawabku.
"Pokoknya harus gemuk" ucap Renata.
"Hahahah iya bawel" kataku.
Renata juga sering membawa ku untuk bertemu kawan-kawannya. Ia juga memperkenalkan aku pada semua teman dan sahabatnya.
Sesekali aku menemaninya untuk berkunjung ke rumah sahabatnya. Tapi diantara itu semua, entah mengapa kami lebih sering menghabiskan waktu di rumah. Entah di rumahku atau di rumah Renata.
Aku tidak terlalu menyukai keramaian, sedangkan Renata juga tidak boleh keseringan keluar rumah selain untuk bekerja, beribadah, atau mengantar adik ke sekolah dan ibunya ke pasar.
Oleh karena itu, setiap kali kami akan bepergian. Aku selalu datang menjemput Renata di rumahnya dan meminta izin ke ibunya.
"Bu, kami izin keluar sebentar yah" kataku
"Iya nak, kalian hati-hati yah" jawab Ibu Renata.
"Iya bu" jawabku.
"Jangan pulang kemaleman" kata Ibu Renata.
"Iya bu" kata Renata.
"Iya bu, gak kok. Kami gak bakal pulang malam, tapi pulang pagi" kataku berbisik ke Renata.
"Apa?" sahut ibu Renata.
"Iya bu, kami gak bakal pulang larut malam" jawabku
"Farhan, goblok" kata Renata berbisik padaku.
"Hahahaha" aku tertawa. "Ibumu dengar yah?" tanyaku.
"Dasar goblok" kata Renata lagi.
"Hahahah" aku tertawa.
Lambat laun, hubungan kami semakin diketahui banyak orang. Renata juga sering membagikan kebersamaan kami di akun media sosial miliknya.
Aku tahu, hubungan tidak harus selalu di umbar ke publik. Orang-orang yang tidak menyukai itu melabeli kami dengan kalimat norak, lebay atau bucin singkatan dari budak cinta.
Tapi sesekali menurut ku juga perlu, itu adalah bagian daripada mengakui dan menghargai keberadaan orang yang kita sayangi.
Hari itu, kami sedang liburan di salah satu kolam renang yang ada di luar kota. Untuk menikmati hari libur berdua.
Meski Renata tidak pandai berenang, tapi ia tetap antusias ingin segera menceburkan diri ke air.
"Ajari aku berenang" pintanya.
"Iya" jawabku.
Setelah mengganti pakaian renang, kami pun turun ke air. Berbaur dengan pengunjung lain yang juga sedang liburan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seamin Tak Seiman
Non-Fiction"Kalau pada akhirnya kita tidak bisa bersama, jangan salahkan siapapun. Sebab kita telah melewati banyak hal bersama, kita sudah berjuang sekuat yang kita bisa. Kita se amin dalam doa, tapi tak seiman" "Hari ini, aku ingin kita berdoa sama-sama untu...