Seamin Tak Seiman

9 0 0
                                    

Aku dan Renata terus berjuang untuk sembuh, mencoba berbagai macam pengobatan. Aku memanjatkan doa di setiap sembah sujudku. Sementara Renata syahdu merayu Tuhan, sembari dagu mungilnya bertumpu pada jari jemari yang saling merangkul, menyatukan kedua telapak tangannya.

Kadang, aku juga berpikir dan berkeinginan Renata berdiri di belakangku sebagai makmum dalam sholatku. Namun, itu tampaknya terlalu jauh, sejauh jarak antara kami yang meski

"Seamin dalam doa, namun tetap saja kami tidak Seiman dalam agama".

Bagi sebagian orang, jarak terjauh dalam menjalani sebuah hubungan bukanlah beda kota, tapi beda tempat ibadah. Dan itu lah yang kami rasakan saat ini yang kami sadari, di titik nadir kami.

Aku menuju pelataran masjid, menuju tempat berwudhu dan melaksanakan sholat berjamaah, memanjatkan doa dalam setiap sujudku. Sedangkan Renata, pelan-pelan langkah kecil Renata memasuki altar gereja dan mulai duduk bertekuk lutut syahdu merayu Tuhan.

Dalam doaku, aku selalu menyelipkan nama Fransisca Ayunda Pratama, semoga Allah terus melindunginya, menyembuhkan sakitnya, menjaganya, menyayanginya, dan tentu agar menyatukan abadi.

"Sudah sejauh ini Ya Allah, terima kasih karena Engkau masih terus memberikan kami kekuatan dan kesabaran. Hamba tau Ya Allah untuk bisa mencapai kebahagiaan, butuh pengorbanan dan perjuangan yang tidak mudah. Semoga kami mampu melaluinya"

"Ya Rabbi hilangkanlah rasa sakit kami, di tangan-Mu lah segala kesembuhan, dan tidak ada yang dapat menyingkap penyakit kami melainkan Engkau. Aamiin"

Ucapku menutup doa.

"Selamat pagi Tuhan, hamba datang ke hadapanmu melalui doa ini. Hamba tau banyak dosa yang melukaimu, tapi saat ini hamba bertekuk lutut meminta pertolongan, pengampunan dan penyembuhan untuk orang terkasih hamba"

Renata terus berdoa pada Tuhan -nya, dengan khidmat dan penuh ketenangan.

"Tuhan, sembuhkan Farhan, sembuhkan aku, sehatkan kami, bantu kami, jaga kami dan jauh-jauhkan lah kami dari orang-orang jahat. Tuhan, hamba tidak dapat berbuat banyak, tapi hamba menyerahkan seluruhnya ke hadapan mu, sebab engkau yang lebih berkuasa atas segalanya"

"Terima kasih Tuhan, ampuni segala dosa hamba, dengarkan dan berkati keluarga hamba, amin"

Renata menutup doa-doanya.

Meski kami berbeda, namun kami terus berusaha untuk mengingatkan satu sama lain agar tetap menjaga ibadah masing-masing. Walau sebenarnya aku sendiri tidak mengetahui secara tepat waktu-waktu Renata berdoa atau pun beribadah, tapi setiap sabtu sore atau minggu pagi aku selalu mengingatkannya.

"Sudah ke gereja?" tanyaku.

"Nih lagi siap-siap, tinggal tunggu ibu" jawab Renata.

Atau Renata yang kerap mengomel, bila mendapatiku sedang malas-malasan untuk melaksanakan sholat.

"Udah sholat belum?" tanya Renata.

"Hehe bentar lagi" kataku.

"Gak mau tau ya, sekarang berdiri ke masjid ambil wudhu terus sholat" pinta Renata.

"Iya Ta, iya" jawabku.

"Mau bergerak sendiri, atau aku bantu dengan menyeretmu?" ancamnya.

"Iya Ta, ini udah mau jalan kok" kataku.

"Jangan lupa berdoa" pintanya.

"Siap bos" jawabku.

Kami selalu menikmati momen kebersamaan, hingga membuat kami lupa bahwa jarak di antara kami sangatlah jauh dan sulit untuk ditempuh.

Kami menjalaninya tanpa rencana apa-apa, hanya berusaha mengikuti arus takdir yang entah seperti apa.

Tapi apakah kami salah? Mungkin ia, mungkin juga tidak.

Karena pada akhirnya, kami tetap memiliki rencana baik. Dan seperti apa akhir dari rencana kami, hanya waktu lah yang bisa menjawabnya.

Seamin Tak SeimanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang