Dipecat

17 1 2
                                    

Setelah semua hal yang kami lewati, kami kembali pada rutinitas harian. Aku sibuk bekerja, Renata fokus pada kuliah dan pekerjaanya.

Oh iya, di pertengahan 2018 Renata memilih untuk kuliah sambil tetap bekerja. Ia mengambil jurusan informatika di salah satu kampus swasta di Kota Kendari.

Di kampus, Renata jadi idola banyak lelaki. Kawanku Wandi yang mengatakan itu, kebetulan Wandi senior Renata di kampus tersebut.

"Far, pacarmu jadi idola di kampusku" cerita Wandi padaku.


"Hahaha serius?" tanyaku.

"Serius, kawan-kawanku selalu menanyakan Renata" katanya.

"Lalu kamu jawab apa?" tanyaku.

"Jangan diganggu, itu pacar kawanku Farhan" jawabnya.

"Hahaha terus apa kata kawanmu" ucapku.


"Kata mereka, oh sudah punya pacar" jawab Wandi.

"Tapi emang sih, Renata cantik banget. Modis lagi" katanya.

"Kamu mau Wan?" tanyaku.

"Emang gak sehat kamu Far" ucap Wandi kesal.

"Hahahaha canda Wan" jawabku.

Oh ia, sejak orang tua Renata melarang kami berhubungan. Aku sudah tidak pernah lagi mengantar dan menjemputnya kerja.

Walau begitu, sesekali jika Renata pulang larut malam aku selalu mengawasi dan mengikuti Renata diam-diam dari kejauhan.

Hal itu aku lakukan hanya untuk memastikan Renata selalu baik-baik saja.

Suatu hari, keributan terjadi di tempat Renata bekerja. Aku juga tidak mengetahui secara jelas apa penyebab keributan tersebut, namun akibat keributan itu Renata terkena imbasnya.

Renata dipecat dari pekerjaannya, ia dituduh menggelapkan uang ratusan ribu dari tamu-tamu hotel.

Renata sudah menjelaskan dan memberikan laporan sesuai data, namun bosnya tidak menerima alasan apapun.

"Aku dipecat" cerita Renata lewat telepon.

"Kok bisa Ta?" tanyaku.

Lalu Renata menjelaskan semua duduk perkara dan apa yang sebenarnya terjadi. Namun sayangnya, dalam kejadian itu Renata lah yang dipecat.

Ia sempat merasa marah, karena merasa dijadikan kambing hitam. Namun pada akhirnya ia bisa menerimanya dengan ikhlas.

Dan sejak saat itu, Renata mulai bekerja serabutan. Ia bahkan tak malu menjadi kurir pengantar paket, dari satu titik ke titik lainnya.

Meski bayarannya hanya RP 10 ribu per satu antaran paket. Namun Renata tidak pernah malu, ia menikmatinya.

Sesekali, jika ada waktu luang, aku menemani Renata mengantar paket. Entah panas atau hujan. Kadang Renata merasa sungkan bila harus merepotkanku, tapi aku tidak pernah merasa keberatan.

"Besok gak usah anterin aku lagi ya" kata Renata.


"Loh kenapa Ta?" tanyaku.

"Aku gak mau kamu susah, aku gak mau pekerjaanmu jadi terganggu" katanya.

"Gak kok, kan aku nemenin kamu juga setelah kerjaanku kelar" jawabku.

"Tapi aku gak enak" kata Renata.

"Ya sudah, kalau begitu aku gak bakal temenin kamu lagi" jawabku.

"Gak gitu" kata Renata.


"Loh terus aku harus gimana" tanyaku.

"Kalau gak sibuk gak apa-apa, tapi kalau sibuk gak usah" jawabnya.


"Kan emang kek gitu sayangku" ucapku.

"Hehehe iya deh" jawabnya.

"Nah, sekarang aku traktir makan bakso" kataku.

"Serius?" tanya Renata.

"Ya masa bohong si Ta" jawabku.

"Hehehe laper soalnya" jawabnya.

"Hahaha dasar, yuk kita berangkat" kataku.

"HayuK" jawabnya.

Satu hal yang membuatku bangga pada Renata, meski ia dalam keadaan yang susah. Tapi ia tidak pernah mengeluh padaku atau bahkan pada orang tuanya.

Dia adalah perempuan mandiri, bahkan biaya kuliahnya pun ia tanggung sendiri.

Meski sudah tidak mendapatkan gaji bulanan, namun ia tetap bekerja sebagai kurir. Dan ia tidak pernah malu melakukan itu. Padahal ia salah satu mahasiswi idola di kampusnya kala itu.

Renata juga tidak pernah sungkan mengenalkan aku pada teman-teman kampusnya. Seingatku Renata memiliki empat orang teman dekat.

Mereka adalah Rini, Nita, Desi serta satu orang lelaki bertulang lunak yang akrab di sapa Agnes alias Diki.

"Ta, ada Farhan" ucap Rini pada Renata.

"Hai" kataku menyapa Renata dan kawan-kawannya.

"Hai kak Far" jawab kawan-kawan Renata.

"Kamu dari mana" tanya Renata.

"Dari kantor" jawabku.

"Oh, ya udah" jawabnya.

"Gak jelas" jawabku.

"Aku jalan dulu ya, nanti kita lanjut lagi ceritanya" kata Renata pada kawan-kawanya.

"Iya Ta, hati-hati" jawab kawan-kawan Renata.

"Kita duluan ya dek" kataku.

"Iya kak" jawab mereka.

"Itu si Diki cowo kan" tanya ke Renata.

"Iya, kenapa?" jawab Renata.

"Lebih cantik dari kalian, lebih fenim juga" kataku.

"Hahahaha bangsat" jawab Renata.

"Ya emang kan, itu kenyataan loh" kataku.

"Tau gak, di tas Diki isinya make up semua" beber Renata.

"Anjir, serius Ta?" tanyaku.

"Iya, bahkan dia lebih sering dandan dari pada kami" kata Renata.

"Hahaha bangsat, pantesan" ucapku.

"Pantesan kenapa" tanya Renata.

"Lebih aduhai dari kalian" jawabku.

"Hahahaha" Renata.

"Eh tapi dia kawan kami, dia juga baik" kata Renata.

"Iya baik, baik untuk dibinasakan. Mempermalukan kaum lelaki" jawabku.

"Hahaha ngawur ah" kataku.

"Hahaha canda Ta" jawabku.

Aku pernah makan siang bersama Renata dan kawan-kawannya, juga termasuk Diki. Kami ngobrol banyak hal, kecuali Diki yang tidak banyak bicara.

Usai makan, Renata, Rini, Nita dan Desi bergegas mengambil cermin di dalam tas mereka lalu memakai ulang lipstik mereka yang terhapus karena kuah Mie Ayam.

Awalnya, aku menganggap itu hal biasa. Hingga tiba-tiba Diki berkata.

"Des, aku pinjam cermin kamu ya" pinta Diki.

"Ok" jawab Desi.

Diki mulai meraba kantung tasnya, beberapa detik setelahnya ia menarik benda serupa bolpoin.

"Ih, Diki beli lipstik baru ya" seru Renata dan lainnya.

"Hehehe yang kemarin agak kurang terang" jawab Diki tersipu malu.

Aku yang melihat itu hanya tersenyum, sambil menahan diri agar tidak tertawa di tempat itu juga.

"Heh si kampret, pake lipstik juga dong" gumamku.



Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 09, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Seamin Tak SeimanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang