Aku tidak pernah takut menemui orang tua Renata, bahkan di saat-saat paling kritis sikap orang tuanya kepadaku, aku tetap berusaha untuk bisa bertemu mereka. Meski aku harus mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan, mulai dari diabaikan, hingga tidak dianggap ada.
Aku mungkin keras kepala, tapi dengan tidak melakukan apa-apa, apakah aku masih bisa berteriak dengan lantang bahwa aku sungguh-sungguh mencintai Renata?
Terserah kalian mau beranggapan bagaimana, yang jelas aku hanya berusaha memperjuangkan apa yang pantas untuk aku perjuangkan.
Pukul 03.00 sore, aku dan Renata menuju ke salah satu kolam renang umum yang ada di kota kami. Sekedar melepas penat dan segala hal yang saat ini terus mengganggu pikiran kami.
Kukira, dengan liburan bisa sedikit membantu kami untuk rileks dan sejenak melupakan masalah. Nyatanya tidak demikian, usai berenang aku dan Renata malah berdebat.
Perdebatan yang entah datangnya dari mana, dan entah sejak kapan Renata mulai memikirkan kata-kata yang sebelumnya tidak pernah aku dengar.
"Orang tuaku mau merestui Far" katanya.
"Alhamdulillah Ta, serius?" tanyaku.
"Iya Far" jawab Renata.
"Tapi?" lanjut Renata.
"Tapi apa Ta?" tanyaku.
"Kamu harus ikut aku" ucap Renata.
"Ikut? Maksudnya? Ikut kemana?" tanyaku.
"Ikut agama yang dianut keluarga aku Far" jawab Renata.
"Loh, kok gini Ta?" kataku.
"Kenapa?" tanya Renata.
"'Ya, kan selama ini kita sudah sepakat. Ya kalau kita nikah, ya kamu yang ikut aku" jawabku.
"Kan kamu sendiri tahu, kamu juga sudah pernah setuju. Kok tiba-tiba kamu berubah sih Ta?" tanyaku.
"Ini bukan mau ku, ini kemauan orang tuaku. Aku ingin apapun Far, asal itu bisa buat aku terus sama-sama kamu" jawab Renata.
"Tapi aku gak bisa" kataku.
"Kenapa?" tanya Renata,
"Ya gak bisa, kalau gak ya gak bisa Ta" jawabku.
"Iya tahu, tapi atas alasan apa? Karena orang tuamu? atau karena keinginanmu sendiri?" tanya Renata.
"Semuanya Ta, aku ini lelaki Ta. Mana mungkin aku harus ikut kamu, ya kamu lah yang harus ikut aku" tegasku.
Saat itu situasi mendadak memanas, tensi bicara kami pun terus naik. Dan akhirnya, semuanya pecah. Pertengkaran yang seharusnya tidak pernah ada, kini menjadi ada.
"Apa yang salah dari agamaku Far?" tanya Renata dengan marah.
"Gak ada, apa yang salah?" jawabku.
"Lantas, mengapa keras kepala tidak ingin ikut denganku?" tanya Renata.
"Ya karena aku gak bisa, karena yang harus membimbingmu itu adalah aku. Bukan kamu yang membimbingku" jawabku.
Entah alasanku tepat atau tidak, tapi hanya itu yang bisa aku katakan. Karena sejak awal aku tidak pernah siap untuk berada dalam pilihan yang sulit ini. Sehingga sejak awal aku selalu menegaskan pada Renata, jika kelak kami menikah maka Renata harus bersedia ikut denganku. Namun, pada akhirnya waktu berjalan semua berubah. Dan aku baru menyadari itu.
"Aku capek Far" ucap Renata kemudian menangis.
"Sama, aku juga capek" jawabku.
"Setiap saat aku terus mendapat tekanan dari orang tua ku, mereka terus mengancamkan bila aku masih terus bersamamu" katanya.
"Aku selalu berjuang untuk kita Far, aku selalu menentangkan orang tuaku demi kita. Dan kali ini, ketika kita memiliki kesempatan, kamu malah keras kepala" ucap Renata.
"Maaf Ta, bukannya aku keras kepala. Tapi sejak awal kita kan sudah sepakat, dan kamu juga sudah setuju" kataku.
"Lantas aku harus bagaimana" jawab Renata.
"Orang tua ku gak bakal mau kalau aku pindah agama dan ikut agama mu" lanjut Renata.
"Sabar Ta, semua pasti ada jalannya. Kita usaha lagi ya Ta, buat meyakinkan orang tuamu" jawabku.
"Karena, aku juga gak akan mungkin ikut agama mu" lanjutku.
"Aku mau pulang" minta Renata.
"Ya sudah, ayo kita pulang" kataku.
Beberapa hari setelahnya, Renata tiba-tiba menelponku. Ia memberiku kabar yang cukup mengejutkan, kabar dari orang tua Renata yang sontak membuat kami untuk pertama kalinya merasa putus asa.
"Far" panggil Renata dengan suara sendu.
"Iya, ada apa?" tanyaku.
"Orang tua ku jahat Far" ucapnya.
"Kok jahat, kenapa memangnya?" tanyaku.
"Mereka memaksaku menikah dengan lelaki yang mereka pilih" kata Renata.
"Tadi pagi lelaki itu datang ke rumah bertemu ayah ku dan ibuku, aku sempat mendengarkan beberapa pembahasan mereka. Sebelum ibuku memberitahuku, bahwa lelaki itu akan dinikahkan denganku" lanjut Renata.
Aku terdiam, seolah-olah semua yang ada di hadapanku runtuh. Pandanganku terasa gelap, kepalaku terasa berat, di pikiranku terbayang wajah
"Ta, kamu terima?" tanyaku.
"Gak Far, aku sudah bilang ke ibu. Aku gak mau nikah kalau bukan sama kamu" jawab Renata.
"Lalu apa kata ibumu?" tanyaku.
"Ibuku marah, mereka gak mau kalau sama kamu. Mereka bersikeras untuk menjodohkan aku" jawabnya.
"Aku ketemu orang tuamu ya Ta, aku gak bisa terus-terusan gini. Diam, menunggu dan tidak berbuat apa-apa" kataku.
"Jangan, nanti kamu malah dikasari mereka. Aku gak mau kamu kenapa-kenapa" jawab Renata.
"Lantas, aku harus bagaimana Ta. Aku gak mau pasrah, aku gak mau aku terlambat untuk berjuang, aku gak peduli apapun resiko yang akan aku dapatkan" kataku.
"Aku siap Ta, untuk apapun itu. Asal tidak kehilangan kamu" ucapku.
Tapi Renata terus melarangku, ia tahu betul karakter orang tuanya. Ibunya sangat keras, juga ayahnya. Mungkin, Renata hanya tidak ingin melihatku harus menderita dan memohon seperti seorang yang tidak memiliki harga diri.
Tapi di satu sisi, hanya itu pilihan terakhir yang harus kami tempuh. Karena semua upaya Renata seperti menemui jalan buntu.
Jika kalian berpikir bahwa Renata tidak sungguh-sungguh berjuang dan terkesan menghalangi ku, maka harus ku katakan bahwa Renata hanya menghindari hal buruk yang bisa menimpaku.
Terlebih orang tua Renata saat itu, sangat membenciku dan tidak ingin lagi melihat wajahku. Alasannya hanya satu, karena Renata baru saja mengalami parah dan orang tua Renata berpikir aku lah penyebabnya.
Meski Renata terus membelaku dan menampik semua tuduhan itu, namun sikap keras kepala orang tua Renata membuat semua penjelasan Renata tidak berarti apa-apa.
Terlebih lagi, beberapa tetangga Renata ikut mendukung pikiran orang tuanya yang terus menyudutkan ku sebagai orang yang paling berhak disalahkan atas sakit Renata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seamin Tak Seiman
Saggistica"Kalau pada akhirnya kita tidak bisa bersama, jangan salahkan siapapun. Sebab kita telah melewati banyak hal bersama, kita sudah berjuang sekuat yang kita bisa. Kita se amin dalam doa, tapi tak seiman" "Hari ini, aku ingin kita berdoa sama-sama untu...