Posesif

6 1 0
                                    

Seiring kami terus bersama, semakin kami saling memahami, dan semakin bertumbuhnya perasaan di antara kami. Membuat perasaan saling memiliki begitu kuat, ketakutan-ketakutan yang seharusnya tidak ada, kecurigaan-kecurigaan yang semestinya tidak perlu, kini mulai tumbuh subur.

Sikap posesif Renata, juga aku mulai tumbuh. Ke mana pun, dengan siapa pun aku pergi Renata selalu menguntitku.

Aku berusaha memahami dan membuang perasaan yang tidak semestinya ada, namun tidak pernah berhasil. Renata juga sudah mulai berbohong padaku. Juga aku tentunya.

Karena terlalu menjaga hati dan perasaan satu sama lain, kami akhirnya melupakan satu hal yang paling penting dalam sebuah hubungan, yakni sikap saling percaya.

"Di mana?" tanya Renata lewat sambungan telepon.

"Di kantor" jawabku.

"Sama siapa?" tanya Renata.

"Sama orang-orang kantor lah" jawabku.

Tiba-tiba Renata video call.

"Disampingmu siapa?"

"Aku mau lihat semua isi ruangan di situ, awas saja kalau ada perempuan lain di sampingmu"

Ucap Renata.

Lalu, aku memperlihatkan seluruh isi ruangan pada Renata. Setelah merasa puas karena hanya melihat orang-orang yang sibuk bekerja, ia akhirnya mematikan panggilan video call tersebut.

"Ya sudah, selamat bekerja"

"Semangat"

Katanya menutup percakapan singkat kami.

"Iya" jawabku.

Ku kira semuanya akan sesederhana ini, tapi ternyata semakin ke sini semuanya semakin rumit. Ruang gerak kami semakin terbatas dengan sifat posesif ini.

Apapun yang kami lakukan, harus selalu saling lapor. Bahkan dalam bekerja, dan menjalani kehidupan bersosial pun terganggu.

Baik aku juga Renata, seperti seekor burung yang hidup di dalam sangkar. Padahal hakikatnya, burung adalah hewan yang hidup di alam bebas, daya jangkauannya seluas langit di atas kepala kita.

Sama seperti manusia, hakikat manusia adalah hidup bersosial tanpa harus takut akan hal apapun.

Sifat posesif ini terus berlanjut, apapun selalu berujung pada pertengkaran dan perdebatan panjang.

"Siapa ini?"

"Kok kamu like foto perempuan lain?"

"Kok kamu duduknya sama perempuan lain?"

"Kenapa memfollow akun sosial media perempuan lain?"

"Siapa perempuan itu? Kok kalian terlihat sangat dekat"

"Kamu di mana? Sama siapa? Coba foto! Eh video call deh"

Dan masih banyak hal lagi, hal yang seharusnya biasa saja berubah menjadi masalah besar.

Aku paham, bahwa rasa sayang kadang membuat kita takut untuk kehilangan. Tapi dengan merawat sikap posesif, justru hanya akan membuat kita semakin luka dan capek dalam menjalani hubungan.

Tanpa mau tahu lebih jauh dan mendengarkan penjelasan, manusia dengan sikap egois selalu merasa benar dengan apa yang ia pikirkan.

Padahal, kita sama-sama tahu bahwa jauh sebelum kita berkenalan dan memutuskan untuk berpacaran kita sudah memiliki banyak teman.

Sayangnya, hal itu tidak akan bisa diterima oleh orang-orang yang lebih mementingkan egonya. Dan pada akhirnya, kebenaran akan selalu terlihat sebagai kebohongan, dan kebohongan akan selalu menjadi jalan pintas untuk menghindari pertengkaran.

Jika sudah seperti itu, lantas apa gunanya saling percaya?

"Ta, percaya deh mereka itu hanya teman. Tidak lebih" kataku.

"Iya teman, lama-lama jadi suka terus jadian kan"

"Kita juga dulu cuma teman, terus saling suka akhirnya jadian"

Jawab Renata.

"Ta, aku kan sudah punya kamu. Jadi buat apa lagi nyari yang lain? Saling percaya ya, Ta"

"Aku jaga hati untuk kamu, kamu juga hati untuk aku"

"Kita hanya perlu saling menghargai, dan saling menjaga batasan satu sama lain terhadap orang lain"

Kataku.

"Halah, ucapanmu memang manis. Tapi tindakanmu belum tentu. Bisa saja kau berbohong padaku" jawabnya.

"Ya sudah, aku minta maaf. Sekarang maumu aku harus bagaimana" tanyaku.

"Jangan dekat-dekat sama perempuan lain" tegasnya.

"Sekalipun kawanku?" tanyaku.

"Iya, siapapun itu" jawabnya.

"Baiklah kalau maumu itu" kataku.

"Janji" tanyanya.

"Iya jani" jawabku.

Aku berusaha memahami bahwa mungkin aku adalah dunianya, sehingga ia selalu ingin terus bersamaku.

Lambat laun, aku juga berusaha memahami Renata lebih dalam lagi dengan menjadikan ia sebagai pusat duniaku.

Aku mulai membatasi diri dengan dunia luar, aku mulai membatasi diri menghabiskan waktu bersama kawan-kawanku.

Semua waktuku selain bekerja kini ku habiskan dengan Renata. Kemanapun aku pergi Renata selalu ku ikut sertakan, juga sebaliknya ke mana pun Renata pergi ia selalu membawaku.

Renata juga mulai melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan. Tentu itu atas permintaanku sebagian. Karena aku merasa betapa hubungan ini sangat tidak adil, ketika Renata mengekangku tapi ia malah bebas seenaknya.

Jadilah kami hidup dalam sangkar yang sama, yang meski terdengar membosankan dan tidak wajar. Tapi kami menikmati itu, kami tetap bahagia, kami bahkan semakin dekat dan semakin memahami satu sama lain.

Kami juga tidak pernah mempermasalahkan itu, mungkin itu lah yang orang-orang katakan bahwa cinta itu buta. Entahlah, ini hanya argumen ku saja, kalau kalian tidak sependapat tidak apa-apa.

Apakah aku atau Renata pernah merasa tertekan?

Tentu saja, kami pernah merasakan itu. Tapi kami berhasil melewati fase itu, setelah kami saling meluapkan isi hati dan emosi masing-masing.

"Aku capek, Far" ucap Renata.

"Sama, aku juga capek" jawabku.

"Kita perbaiki semuanya ya, Ta" kataku.

"Iya Far, pelan-pelan" jawabnya.

"Harus saling percaya" kataku.

"Tapi jangan bohong" ucap Renata.

"Iya, tidak" jawabku.

"Janji?" tanyanya.

"Janji" jawabku.

Tapi percayalah, semua tidak semulus yang kalian bayangkan. Karena nyatanya kami masih terlibat pertengkaran karena hal-hal yang menimbulkan kecemburuan yang berlebihan.

Apakah itu salah? Bisa ia bisa juga tidak!

Karena cara pandang ku, cara pandang Renata juga cara pandang kalian tentu berbeda.

Namun satu hal yang aku pelajari bahwa, sikap posesif hanya akan menimbulkan kekecewaan dan melahirkan banyak kebohongan.

Kebohongan yang selalu dibungkus atas nama kebaikan, atau agar pasangan kita tidak marah. Padahal tidak ada kebohongan yang baik, kebohongan tetaplah kebohongan yang menyisakan rasa sakit.

Percayalah, sepahit-pahitnya kejujuran akan lebih baik daripada semanis-manisnya kebohongan.


Seamin Tak SeimanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang