Tidak terasa, hubungan kami sudah berusia tiga tahun. Banyak cerita yang sudah kami buat, banyak hal yang sudah kami lewati, kebahagiaan, kesedihan, hal manis hingga hal terpahit.
Meski di tengah banyaknya cobaan yang datang silih berganti, namun kami terus berusaha untuk saling menguatkan. Meski pikiran kami terus dibuat kacau, tapi kami tidak pernah lupa untuk saling mengingat hari-hari spesial kami.
Saling bertukar kado di hari ulang tahun, atau Renata tetap berkunjung ke rumahku di Hari Raya Lebaran. Meski aku, sudah tidak dapat lagi ke rumah Renata.
Keluargaku, masih menyambut hangat Renata. Renata selalu punya tempat istimewa di hati orang tua dan adik-adikku. Dan Renata selalu merasa bahagia saat berada di rumahku.
Namun satu hal yang akhirnya aku sadari, pelan-pelan sikap Renata padaku mulai berubah. Hingga suatu hari, ia akhirnya jujur.
"Far, bagaimana kalau akhirnya aku terpaksa menikah dengan lelaki pilihan orang tuaku?" tanya Renata.
"Jangan Ta, aku gak pernah mau. Aku masih ingin terus berjuang" kataku.
"Percuma Far, gak ada gunanya. Aku pasti akan tetap dinikahkan" ucap Renata.
"Aku capek Far, aku ingin nyerah. Gak mau terus-terusan kek gini" kata Renata.
"Itu yang kamu mau Ta?" tanyaku.
"Aku sudah tidak punya pilihan Far" jawabnya.
"Dalam waktu dekat, lelaki itu sudah akan datang melamarku" kata Renata.
"Kamu yakin?" tanyaku.
"Far, jangan marah. Maaf" katanya.
Aku diam sejenak, berusaha menenangkan hati dan pikiranku. Rasanya sangat kacau, rasanya ingin teriak, rasanya ingin lari tapi entah harus lari ke mana?
Hingga akhirnya, aku teringat pada semua pesan ibuku untuk bisa menerima dengan ikhlas semua hal yang mungkin bisa terjadi.
"Ya sudah, apapun yang saat ini menjadi keputusanmu semoga itu yang terbaik. Aku akan tetap mendukungmu, dan berusaha untuk terus menemanimu" ucapku.
"Far, maaf" ucap Renata.
"Sudah ah, jangan maaf terus. Sekarang tugasmu adalah tetap tersenyum" kataku.
"Oh iya, kapan lelaki itu akan datang melamarmu?" tanyaku.
"Dua minggu lagi kata ayahku" jawab Renata.
"Sudah dekat ya, yaudah sekarang kita persiapkan semuanya dengan baik ya" kataku.
"Nanti kamu harus tampil cantik, wangi, dan satu lagi gak boleh judes loh ya. Harus tersenyum menyambut semua orang yang datang" pintaku.
"Ingat, hari itu adalah hari terbaik dalam hidupmu. Jadi aku ingin kamu melakukan semua hal terbaik yang kamu bisa" ucapku.
"Biar calonmu dan keluarganya senang. Mereka pasti sangat bahagia melihatmu Ta" kataku.
Renata diam, menatapku dalam kemudian menangis sejadi-jadinya. Ia memelukku erat, sangat erat. Tapi aku berusaha melepaskan pelukan itu.
"Ingat, sampai hari itu tiba aku akan terus menjagamu. Akan terus berada disampingmu, ini adalah janjiku" kataku.
Aku sendiri bahkan tidak pernah tau, se bisa apa aku menerima semua keadaan ini. Aku tak ingin membayangkan itu, aku hanya berusaha tetap terlihat baik-baik saja di depan Renata, agar perasaan bersalahnya tidak semakin besar juga agar ia bisa segera mempersiapkan semua hal yang ia butuhkan di hari lamarannya nanti.
Tentang sebuah luka, dan bagaimana rasanya jadi aku saat ini. Aku sendiri bahkan bisa mengatakannya dengan kalimat apapun, atau untuk sekadar aku gambarkan. Aku hanya ingin bilang, jika kalian jadi aku, apa yang akan kalian lakukan, atau bagaimana perasaan kalian?
"Lihat aku" pintaku.
Aku memegang wajah Renata, berusaha mengangkatnya, menghapus air matanya dan memintanya untuk tersenyum.
"Senyumnya" kataku.
Tapi Renata tetap menunduk dan terus menangis, tanpa mau menatap mataku atau sekadar melihat wajahku. Lalu
Sejak hari itu, hubungan kami mulai renggang, pelan-pelan kami sudah jarang berkomunikasi. Walau begitu, sesekali kami masih biasa bertemu untuk beberapa alasan tertentu.
Hubungan kami? Saat itu kami tidak memutuskan apa-apa, baik aku atau pun Renata tak pernah membahas tentang perpisahan atau putus.
Janjiku untuk tetap ada dan menemani Renata hingga hari lamarannya pun ku tanaikan, kapanpun ia membutuhkan ku, aku selalu ada untuknya.
"Far, di mana?" tanya Renata lewat telepon.
"Di kantor, kenapa?" jawabku.
"Aku ingin ketemu" minta Renata.
"Boleh" kataku.
Waktu itu, kurang dari seminggu hari di mana Renata akan lamaran. Renata menemuiku dengan raut wajah yang beda dari biasanya.
"Aku batal laraman" ucap Renata.
"Hah? Batal? Kok bisa Ta?" tanyaku.
"Aku yang memintanya, kalau lamaran tetap dilanjutkan aku bakal kabur dari rumah" ucap Renata.
"Astaga, kamu kenapa Ta. Ada apa sih?" tanyaku.
Renata lalu menarikku dan memelukku.
"Bagaimana bisa aku meninggalkanmu, yang bahkan masih berlaku baik padaku saat aku memilih meninggalkanmu" ucapnya.
"Bagaimana bisa aku hanya mementingkan diriku sendiri tanpa peduli dengan kondisimu"
"Apakah kamu akan baik-baik saja melihatku dengan orang lain? Apakah aku akan bahagia setelah memilih menyerah?"
"Lantas bagaimana denganmu, siapa yang akan mengurusmu, siapa yang akan merawatmu ketika sakit, siapa yang akan menenangkanmu ketika sedih"
Renata meluapkan semua perasaannya, sambil terus memelukku erat. Sementara aku hanya diam membisu.
Hatiku tentu senang, tapi di satu sisi aku takut Renata akan kembali mendapatkan tekanan mental dari orang tuanya.
"Maafkan aku karena sudah egois, hanya mementingkan diriku sendiri. Aku hanya ingin kamu Far" katanya.
"Iya, sudah ya nangisnya" jawabku.
Setelah puas memelukku dan merasa sedikit tenang, Renata melihat wajahku kemudian tersenyum.
"Kamu sudah makan?" tanya Renata.
"Hehehe belum" jawabku tersenyum.
"Tuh kan kebiasaan, kalau kamu kurus lagi gimana" kata Renata.
"Hehe gak kok, bentar lagi mau makan kok" jawabku.
"Alesan ajah terus" katanya.
"Yuk cari makan, aku yang traktir" ucap Renata sambil menarik tanganku.
"Asik di traktir kutil" kataku.
"Komodo tua" balasnya.
"Dasar kutil" kataku.
"Bodo amat" balasnya.
"Yuk berangkat sekarang" ucapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seamin Tak Seiman
Non-Fiction"Kalau pada akhirnya kita tidak bisa bersama, jangan salahkan siapapun. Sebab kita telah melewati banyak hal bersama, kita sudah berjuang sekuat yang kita bisa. Kita se amin dalam doa, tapi tak seiman" "Hari ini, aku ingin kita berdoa sama-sama untu...