1.

346 44 8
                                    


Hai, hai. Ah sumpah deg-degan banget mau publish ini. Secara ini cerita perdanaku setelah sekian lama. Dan excited tentunya. 😁

Untuk Kakak-kakak yang sudah bersedia mampir ke cerita ini, vote, coment dan memasukkannya ke library, aku mengucapkan banyak-banyak terimakasih. Dukungan kalian sangat berarti untukku.

Jadi langsung aja ya ... Cekidooot.

Playlist untuk Bab ini : Beautiful in White By. Westlife

*****

Arunika Himallaura Putri

Aku membuka mata saat mendengar kokok ayam milik Papa saling bersahutan. Kulirik jam di atas nakas baru pukul 04.00 subuh. Masih terlalu pagi dan sebuah keajaiban seorang Arunika bisa bangun sepagi ini. 

Sebenarnya, bukannya aku bangun terlalu pagi, tapi karena aku memang tidak tidur sama sekali. Mata ini sungguh tak mau berkompromi. Padahal semalaman aku sudah berusaha menutup mata, berdoa, mendengar musik sampai mendengar cerita wayang di YouTube agar lekas tertidur, tapi tetap saja, mata ini seolah seperti ikan yang tak mempunyai kelopak mata yang membuatku semalaman terjaga. 

Aku mendengus keras, tidak tidur membuat tubuhku terasa kaku-kaku. 

Menyibak selimut, lantas bangun dari tiduranku. Dengan tubuh yang terasa berat aku berjalan dengan gontai ke kamar mandi dan lekas membersihkan diri, sekalian mengambil wudhu dan melaksanakan salat subuh. Mumpung ingat.

Seandainya hari ini aku tidak ada acara, aku akan tidur sepuasnya seperti setelah marathon nonton drakor seperti biasanya, tapi aku tidak bisa melakukan itu, karena hari ini aku mempunyai acara dan acara ini sangat penting untukku. 

Setelah selesai salat aku keluar kamar dan langsung menuju dapur di mana Mama sudah ada di sana sedang memasak sesuatu. 

"Pagi, Ma," sapaku.

Mama malah berjengkit kaget saat mendengar suaraku. Tangannya mengelus dada dan berulang kali mengucap istighfar seolah aku adalah setan yang baru debut. Aku tahu Mama pasti tidak menduga anak gadisnya yang biasanya bangun siang ini bisa bangun sepagi ini. 

"Tumben sudah bangun?" tanya Mama dengan suara yang terdengar meremehkan.

Aku mendelik. "Harusnya Mama bangga anak gadisnya bisa bangun pagi," jawabku ketus. 

Mama tertawa tapi tawanya seolah mengejek. "Paling nggak tidur, 'kan?" tebak Mama dengan benar. 

Aku mendengkus, merasa sebal pada Mama yang sudah seperti cenayan ini dan juga pada mataku yang sekarang malah terasa berat. 

"Kan sudah Mama bilang bikin nyantai aja kayak di pantai," ujar Mama menasehati. Ucapannya sama persis seperti kemarin saat aku curhat padanya tentang masalah ini.

"Itu 'kan, Mama. Aru mana bisa begitu." 

"Lah, kenapa nggak bisa?"

"Ya, 'kan ... nervous Mama. Takut."

"Kenapa harus takut?"

"Ish ... Mama, gitu deh. Kayak nggak pernah ngalamin aja."

Aku pikir Mama akan menertawakanku lagi, tapi perkiraanku salah. Mama yang tadinya sedang mengiris bawang merah berhenti, ia menaruh pisaunya ke atas talenan bersebelahan dengan bawang-bawangan yang sedang diiris Mama. Kemudian bersandar pada kitcen set menghadap padaku.

Ketika Jodoh Tak Bisa MemilihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang