15

161 46 5
                                    

******

Aku tidak ikut Ranu masuk ke kamarnya. Tapi langkahku berhenti tepat di depan kamar Binar yang lebih dekat dengan tangga. Sedangkan kamar Ranu sendiri  masih agak ke sana dekat dengan balkon utama.

"Mas, aku ... malam ini tidur di kamar Binar dulu ya?" pintaku pada Ranu yang berjalan di sampingku.

Ranu yang sejak tadi diam sambil menggandeng tanganku lantas berhenti mengikuti langkahku yang berhenti tepat di depan pintu kamar Binar yang tertutup. Dia diam sembari menatapku Raut wajahnya tidak terbaca.

"Tapi aku lebih suka kalau kamu tidur denganku malam ini," jawabnya.

Aku sontak terkejut dengan apa yang ia katakan. Jangan bilang kalau Ranu akan meminta haknya malam ini? Meskipun ini memang malam pertama kami dan aku mempunyai kewajiban melayaninya tapi pernikahan ini karena terpaksa. Binar juga baru dua hari ini tiada. Setidak sabarkah dia menungguku hingga aku siap menerimanya?

"Tapi Mas. Aku belum siap untuk tidur denganmu?" kataku jujur. Karena aku berharap Ranu mengerti dengan keadaanku saat ini. Dan bukankah tidak etis melakukan hubungan suami-istri di saat masih dalam kondisi berkabung seperti ini? Ranu benar-benar orang yang tak punya hati jika benar ingin melakukannya malam ini.

"Aku tahu," jawabnya.

Kalau tahu kenapa dia bilang ingin aku tidur dengannya? Aku menatap Ranu tak paham.

"Bukan tidur itu yang kumaksud, Aru." katanya lagi.

Aku diam menunggu Ranu melanjutkan ucapannya.

"Setidaknya jika kamu tidur denganku aku bisa menjagamu," ucapnya. "Jujur sebenarnya aku juga lelah, Aru. Dari kemarin aku sendiri yang mengurus Binar ke sana kemari. Ditambah dengan kamu yang selalu pingsan dan menangis terus menerus bahkan saat kamu tidur itu benar-benar melelahkan," ungkapnya.

Aku tidak tahu kalau Ranu punya pemikiran seperti itu. Jadi selama ini aku sudah merepotkannya?

"Maaf jika aku sudah merepotkan Mas Ranu," kataku sinis.

Ranu menghela napas panjang mendengar kesinisanku. "Aku sama sekali tak merasa repot, Aru. Tapi aku hanya berharap kamu juga paham situasiku. Binar juga adikku. Jadi bukan kamu saja yang kehilangan. Aku juga. Dan jika kamu mau tidur di kamarnya aku tidak yakin kamu akan benar-benar bisa istirahat di sana. Yang ada kamu akan menangis semalaman. Sedangkan kamu butuh istirahat. Kumohon mengertilah Aru."

Aku menatap Ranu yang kini menatapku. Tatapannya lembut meskipun ucapannya agak terdengar kasar.

Dan sekarang aku baru sadar kalau aku sudah egois selama ini. Ranu juga kehilangan. Di saat aku, Bunda dan Rinjani bisa bersandar padanya lalu kepada siapa Ranu akan bersandar. Aku tak boleh egois.

"Aku janji bakal benar-benar tidur. Mas Ranu nggak perlu khawatir," kataku meyakinkan Ranu. "Kumohon Mas biarkan aku mengenang Binar untuk terakhir kalinya," aku menjeda. Menimbang-nimbang dan berpikir.  "Seminggu saja. Kasih aku waktu seminggu tidur di kamar Binar. Setelahnya aku akan tidur di kamar Mas Ranu."

Ranu diam menatapku. Matanya menyorot dalam ke arah mataku. Mencari kesungguhanku di sana.

"Ya?" pintaku lagi

Setelah menghela napas panjang sekali lagi, akhirnya Ranu mengangguk dengan berat hati. "Oke. Satu minggu," jawabnya.

Aku tersenyum lega mendengarnya.

"Aku kasih kamu waktu satu minggu tidur di lamar Binar. Setelahnya pindah ke kamarku," ujarnya tegas.

Aku mengangguk menerima titah dari Ranu.

Ketika Jodoh Tak Bisa MemilihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang