*****
Satu jam lebih perjalanan yang kami tempuh dari rumahku yang ada di Bekasi ke rumah Binar yang ada di Kelapa Gading. Kami tiba di sana sekitar pukul sepuluh pagi. Dan setibanya di sana Binar langsung memasukkan mobilnya ke dalam garasi yang gerbangnya sudah terbuka seolah memang sudah menunggu kedatangan kami.
Setelah Binar mematikan mesin mobilnya aku tak langsung turun. Bukan karena menunggu Binar membukakan pintu mobil layaknya film-film FTV, aku hanya merasa gugup. Bahkan tanganku sudah berkeringat dingin.
Binar menatapku bertanya lewat tatapan matanya, dan saat aku menunjukkan telapak tanganku yang basah, akhirnya Binar paham kenapa aku masih diam di dalam mobilnya, tak mau beranjak sedikitpun.
"Nervous," kataku kemudian.
Binar mendengus, tak percaya akan sikap konyolku, mungkin. Tapi mau bagaimana lagi jika aku benar-benar tidak bisa menyembunyikan rasa gugupku ini.
"Astaga, Aru! Aru! Bunda nggak bakal gigit kamu. Sumpah!" gelaknya.
Aku membuang napas pasrah menatap jengkel pada Binar yang seolah tak tahu akan kegugupanku. "Aku juga nggak tahu kenapa bisa segugup ini."
Binar menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkahku. Tangannya mengambil tanganku lalu menggenggamnya dengan tangannya yang besar dan hangat. Sesaat aku merasa sedikit tenang.
"Sebenarnya apa sih yang kamu takutkan. Hmm?" tanyanya pelan sarat akan pengertian. "Lihat sini."
Aku menuruti instruksinya. Kutatap mata hitam kecokelatan milik Binar yang kini juga sedang menatapku.
"Apa pun yang terjadi nanti, ada aku. Ingat! Dan aku akan selalu ada di sampingmu," kata Binar. "Kamu juga udah pernah ketemu Bunda, 'kan?"
Aku mengangguk mengiyakan. Aku sudah pernah dua kali bertemu dengan mamanya Binar. Satu kali saat aku dan Binar tak sengaja bertemu dengannya yang sedang makan di restoran, dan satu lagi di rumahnya Binar saat aku diajak main olehnya. Tapi yang satu ini sudah lama sekali. Dan saat itu Binar belum tinggal di rumah ini.
Dan sebenarnya bukan mamanya Binar yang membuatku takut, karena aku tahu beliau orang yang sangat baik, melainkan kakaknya yang menyeramkan itu.
Bagaimana jika dia tidak merestui kami dan menyuruh kami putus seperti kejadian bertahun-tahun lalu karena rasa tak sukanya padaku?
"Udah. Dibuat santai aja. Apa pun yang nanti Bunda tanyakan ya tinggal dijawab aja apa adanya," putus Binar pada akhirnya memberikan solusi di saat aku hanya diam membisu tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun.
Aku menatap Binar lagi dengan cemas, Binar balas menatapku, tangannya mengelus pipiku, menenangkan.
"Nggak usah khawatir lagi. Aku bakal bantuin kamu nanti," ujarnya sebelum keluar dari mobil dan berjalan ke sisi pintu di sebelahku. Binar membukakan pintu untukku. "Yuk!" ajaknya sembari mengulurkan tangan.
Sebelum menyambut tangan itu berulang kali aku mengambil napas lalu membuangnya perlahan. Dan Binar masih setia menungguku di luar pintu mobil layaknya gentleman.
Dan setelah menyambut tangan Binar yang terasa hangat di tanganku. Turun dari mobil lagi-lagi aku aku meyakinkan diri, apa pun yang terjadi nanti aku nggak akan melepaskan Binar. Aku akan meyakinkan mereka kalau aku layak untuk menjadi istrinya, layak menjadi bagian dari keluarga mereka dan layak bersanding dengan orang yang bernama Binar Cahaya Aryasatya, yang paling kucinta.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Jodoh Tak Bisa Memilih
Romance#odocthe_wwg #projectRomance Tanggal 15 Mei seharusnya menjadi hari yang bahagia bagi Arunika, justru menjadi hari yang menyedihkan baginya. Karena pada hari itu ia gagal menikah dengan Binar, kekasihnya karena sebuah kecelakaan yang membuat Binar m...