******
Kami sarapan dalam diam. Sungguh ironi sekali, apa yang terjadi tadi pagi justru menjadi bahan becandaan seisi rumah ini.
Ranu sendiri sudah menekuk wajahnya sejak tadi saat Rinjani mulai mengejeknya. Dan selalu mendelik padaku tiap mata kami tak sengaja saling bertemu.
Aku sama sekali tak ada niatan untuk mempermalukan dia. Tapi aku yang sama sekali tak tahu menahu tentang per dedek-bayian milik pria itu bisa apa.
Saat Ranu minta diambilkan sesuatu untuk mengompres anunya, sebenarnya yang ada di dalam kepalaku adalah kompresan handuk yang diisi es batu. Benar kan yang itu? Karena biasanya itulah yang digunakan orang-orang untuk mengompres sesuatu, entah itu memar atau bekas tendangan seperti tadi. Tapi aku berpikir lagi, kalau miliknya ditempelin air dingin terlalu lama apa akan baik-baik saja? Bagaimana jika nanti malah jadi mati rasa? Mengkerut gitu misalnya.
Kan! Pusing, kan?! Aku juga pusing memikirkannya.
Makanya tadi aku bilang sama Bunda tentang apa yang terjadi. Karena biasanya orang tua banyak tahu tentang sesuatu yang kita belum tahu. Kalau peribahasanya lebih banyak makan asam garam. Tapi dasar akunya saja yang tulul tidak bisa menyampaikannya dengan baik. Sekarang mereka semua justru salah paham dan akhirnya menjadikan kesialan Ranu sebagai candaan.
"Mau tambah lagi, Mas?" tawarku pada Ranu yang sudah hampir selesai memakan seluruh sarapannya, sambil bersiap mengambil secentong nasi goreng untuknya.
Tidak ada niatan apa-apa sebenarnya, hanya ingin memperbaiki suasana hatinya saja. Siapa tahu dengan aku bersikap manis seperti ini sedikit meluluhkan hatinya Ranu agar tidak selalu mendelik padaku.
Uhuk! Uhuk!
Itu suara Rinjani yang mulai rese lagi. Dan kini giliran aku yang mulai mendelik pada Rinjani.
"Tuh, Mas. Diperhatiin sama istri," godanya.
"Tidak terima kasih."
Aku mencebik pada Ranu yang terang-terangan menolakku. Dan tambah kesal padanya saat dia mulai mengabaikanku lagi. Rinjani sendiri sudah cekikikan kayak kunti.
Sebel banget rasanya, kena marah atas hal yang tidak sepenuhnya kita salah.
Huh!
Akhirnya aku juga meniru apa yang Ranu lakukan. Makan dalam diam. Bodo amat lah mau kena marah kek. Didiamkan kek. Aku tak peduli. Toh kalau dipikir-pikir Ranulah yang salah. Di sebelahnya ada nakas kenapa menaruh hape di nakas yang ada di sebelahku? Tahu hapenya bunyi seharusnya bisa kan bilang, "tolong ambilkan hape saya dong." Eh ini malah main sudruk aja. Ya bukan salah saya kalau rudalnya kena tendang sebelum diluncurkan.
Aku benar-benar menahan geram terhadap Ranu. Jengkel dan sebal padanya. Ingin marah dan mencakar-cakar wajahnya tapi tak tega. Jadi sekarang aku melampiaskan kekesalanku terhadap nasi goreng di piringku. Membayangkan kalau di sana ada wajah Ranu yang menjengkelkan. Jadi aku ambil banyak-banyak nasi goreng itu lalu kumasukkan ke dalam mulut layaknya orang kelaparan. Puas banget rasanya bisa membayangkan mengunyah Ranu.
Uhuk! Uhuk!
Dan sekarang aku justru kesedak nasi goreng rasa Ranu. Sialan memang!
"Makannya pelan-pelan nggak usah buru-buru. Nggak ada yang mau minta," kata Ranu datar sembari menyodorkan segelas air putih miliknya padaku. Tangannya mengusap punggungku.
Aku mendelik padanya tapi juga menerima gelas yang ia berikan padaku. Meminumnya dan menaruhnya kembali ke atas meja.
Entah apa yang dipikirkan Ranu saat itu karena begitu gelas itu mendarat di atas meja dia sudah mengambilnya lagi, meminumnya dan menandaskan isinya.
Aku hanya bisa bengong melihatnya. Aku tahu aku bukan ABG lagi yang menganggap tindakan Ranu sebagai hal istimewa. Tapi untuk pasangan suami-istri yang terpaksa menikah bukankah itu terlalu berlebihan?
"Kamu jadi mau tinggal di Depok, Mas?" tanya Bunda tiba-tiba membuyarkan keterkejutanku terhadap tindakan Ranu tadi.
Ranu mengusap bibirnya dengan tisu sebelum menjawab Bunda. "Jadi, Bund. Ini juga rumahnya sudah mulai dibersihkan. Mungkin minggu depan sudah bisa pindah," kata Ranu sembari membuang tisu bekasnya di atas piringnya yang sudah kosong.
"Bunda pikir kalian bakal tetap tinggal di sini," kata Bunda lagi.
"Nggak lah Bund. Kan sudah aku bilang waktu itu."
Bunda mengagguk-angguk. Ranu masih membersihkan mulutnya dan aku masih terbengong tak paham.
"Mas Ranu mau pindah dari rumah ini?" tanyaku penasaran yang langsung mendapat tatapan-tatapan aneh dari Bunda, Ranu dan Rinjani.
Apakah pertanyaanku salah? Kurasa tidak. Tapi kenapa Bunda, Rinjani dan Ranu menatapku aneh.
"Iya," jawab Ranu dengan terkekeh geli. Lantas ia mengambil ponselnya dan mulai mengetik di layarnya. Kembali mengabaikanku.
"Oh." Jujur aku merasa lega kalau dia pindah dari rumah ini karena aku tak harus bertemu dengannya setiap hari.
Tapi saat aku hendak menyuap nasi ke dalam mulutku kurasakan tatapan Ranu yang menusuk. Sendok yang sudah menggantung di depan mulut kuturunkan kembali lalu menoleh ke arah Ranu yang menatapku dengan alis berkerut.
"Ada apa, Mas?" tanyaku.
Lalu dia mendesah. Bunda tersenyum ke arah kami.
"Apa kamu belum bilang ke Aru, Mas?" tanya Bunda.
Ranu menggeleng sambil menatap Bunda. "Belum, Bund. Selama ini dia mengurung diri di kamar Binar. Baru semalam mau tidur di kamarku. Itu pun karena ketiduran. Jadi memang belum ada waktu untuk berbicara dengannya," jawab Ranu panjang lebar.
Aku masih menyimak belum mengerti dengan obrolan mereka. Memangnya apa yang mau Ranu bicarakan denganku? Apa tentang kepindahannya dari rumah ini? Ya, kalau memang dia mau pindah silakan. Aku nggak akan melarang. Meskipun sekarang kita sudah menjadi suami istri, nggak apa-apa jika berbeda tempat tinggal, kan?
"Minggu depan kita pindah Aru," kata Ranu tiba-tiba.
"Kita?"
"Ya, kita."
"Kenapa aku harus ikut Mas Ranu? Aku bisa di sini saja tinggal sama Bunda."
"Jelas lah Kak. Kalau Mas Ranu pindah Kak Aru harus ikut pindah juga. Kan sekarang sudah jadi suami istri. Sudah sewajarnya istri ikut suami kemanapun dia berada." Yang menjawab adalah Rinjani.
Kutatap Ranu yang sedang asyik menikmati secangkir teh yang baru saja diantarkan Mbak Nani. Kenapa orang ini suka sekali memutuskan sesuatu tanpa berunding dulu. Nggak dulu di saat dia mau menikahiku. Nggak sekarang saat dia mau mengajakku pindah dari rumah Bunda. Kenapa dia suka seenaknya saja.
"Kenapa Mas Ranu baru bilang sekarang? Kenapa selalu memutuskan sesuatu sendiri?!" tanyaku agak sedikit terbawa emosi. Tapi respon Ranu masih tetap santai seolah gerutuanku bukanlah masalah baginya.
"Dua hari yang lalu aku baru saja diterima di sanggar yoga di JL Bulevart untuk jadi instruktur di sana. Kalau pindah ke Depok nanti bagaimana dengan kerjaanku?" gerutuku.
Kini akhirnya Ranu menoleh padaku setelah menaruh cangkirnya di atas meja. Menatapku dengan tatapan datarnya.
"Kamu kembali bekerja?" tanya Ranu.
"Ya."
"Kenapa baru bilang sekarang?" Katanya menirukan ucapanku tadi.
Menyebalkan.
TBC
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Jodoh Tak Bisa Memilih
Romance#odocthe_wwg #projectRomance Tanggal 15 Mei seharusnya menjadi hari yang bahagia bagi Arunika, justru menjadi hari yang menyedihkan baginya. Karena pada hari itu ia gagal menikah dengan Binar, kekasihnya karena sebuah kecelakaan yang membuat Binar m...