18

171 42 3
                                    

*****

Perjalanan ke rumah Ranu kami habiskan dalam diam. Ranu sibuk menyetir, tidak bersusah-payah untuk mengajakku mengobrol seolah aku hanya patung hiasan yang ia bawa. Sedangkan aku terlalu malas untuk mengajaknya berbicara. Entah apa yang sedang Ranu pikirkan saat ini. Yang jelas dari dulu Ranu memang seperti ini. Terlalu fokus menyetir dan mengabaikan sekitarnya. Makanya aku sangat benci jika bepergian dengan Ranu, karena sepanjang perjalanan pasti akan menjadi sangat membosankan karena hanya ada keheningan. Apalagi ditambah macet seperti sekarang. Hadeeh ... makin membosankan dan menjengkelkan, deh.

Aku memajukan badan, menyalahkan musik agar suasana di dalam mobil ini tidak terlalu begitu hening. Tapi justru lagunya Rizki Fabian yang berjudul Kini Kau Tinggalkan Diriku yang terputar di sana. Segera saja aku mengganti chanelnya karena aku sedang tidak ingin mendengarkan lagu sedih di saat seperti ini, sebab hal itu hanya akan mengingatkanku dengan Binar.

Tapi lagi-lagi lagu sedih yang kutemukan. Sound Car Ranu kini memutar lagunya Judika yang berjudul Tak mungkin bersama. Sepertinya Radio milik Ranu itu mempunyai alter ego yang bisa mengerti keadaan sekitar karena rasanya sejak tadi musik-musik bernada melow yang selalu terputar, seolah itu semua ditujukan untukku yang baru ditinggalkan oleh kekasihnya. Bahkan kini setelah mengganti chanelnya lagi, justru lagu Cinta Sejati milik BCL yang diputar.

Sialan memang!

Sontak aku memukul sound car tak bersalah itu. Ranu langsung menoleh padaku tapi aku abaikan. Aku tetap saja mendumel kesal, merasa sebal dengannya juga pada sound car miliknya. Kenapa dua-duanya sama menyebalkannya, sih! Nggak pemilik, gak mobilnya sama-sama menjengkelkan.

"Ini kapan sampainya sih, Mas?" Aku menggerutu setelah mematikan audio mobil milik Ranu. Aslinya bukannya aku tidak suka dengan musik-musik lokal tapi kenapa mereka harus memutar musik mellow yang mengingatkanku akan Binar. Tapi kalau musik yang menghentak-hentak begitu aku juga kurang terlalu suka. Jadi memang lebih baik audio sound-nya dimatikan saja.

Ranu menoleh padaku. "Sabar. Baru juga jalan lima belas menit," katanya.

"Lima belas menit apaan? Kita dari rumah Bunda sejak pukul empat sore sekarang sudah hampir pukul enam. Sudah hampir dua jam tauu!" dumelku sembari memajukan bibir dan melipat tangan di dada. Kepalaku menoleh ke arah sisi kiri jalan.

"Bagaimana bisa dua jam. Kita berangkat pukul empat lebih empat lima, sekarang baru lima dua enam," katanya sambil melihat jam di tangannya.

"Itu namanya beda lima belas menit?" Tanyaku mencibir. "Bisa menghitung nggak seeh?"

"Ya, kan cuma beda sedikit, Aru. Setidaknya nggak sampai dua jam seperti kata kamu."

"Beda dua puluh enam menit itu namanya lama, Mas. Kalau perbedaannya cuma lima menit, nah itu baru dikit."

"Setidaknya baru dua puluh enam menit belum sampai dua jam."

"Bales teroos!"

"Salah siapa dari tadi nggak kelar-kelar beres-beresnya," katanya santai.

Seketika aku menoleh padanya. "Oh, jadi sekarang jadi salahku?" sungutku.

Ranu mendesah. "Bukan begitu, Aru. Kan kepindahan kita sudah aku kasih tahu satu minggu yang lalu. Harusnya kamu bisa beres-beresnya dari seminggu yang lalu juga. Tapi tadi kamu malah sibuk ini sibuk itu. Aku juga sudah mengabarimu sejak tadi siang. Tahu sendiri Jakarta sore hari itu macetnya kayak gimana."

"Iya, iya, sekarang salahku."

Ranu berdecak, tapi kuabaikan. Aku semakin mendumel sebal padanya. Kenapa Ranu harus mengajakku pindah? Tidak bisakah kami tinggal di rumah Bunda saja. Toh itu juga rumah yang ia beli setelah dia sukses menjadi pengacara kondang yang sering menangani kasus-kasus besar. Ditambah di sana kan nyaman. Setidaknya ada Rinjani dan Bunda yang nantinya akan menemaniku. Sedangkan nanti di rumah baru Ranu aku akan sendirian jika ia bekerja. Untung saja aku sudah mendapatkan pekerjaan lagi jadi nantinya tidak akan terlalu kesepian di sana.

Sekitar pukul enam Maghrib kami tiba di Jl TB Simatupang dan Ranu mulai mencari Masjid di daerah sana. Setelah mendapat Masjid dia memarkirkan mobilnya di sana.

"Salat nggak?" tanyanya.

Aku lekas ikut turun dan mengambil mukena yang ada di jok belakang.

Kami salat berjamaah bersama karena jamaah di sana sudah mulai tak ada. Setelah salat kami melanjutkan perjalanan.

"Mampir makan dulu yuk," ajakku.

Ranu yang masih mencoba keluar dari lokasi parkir Masjid mengabaikanku. Setelah mobilnya turun ke jalan raya dia menoleh padaku.

"Mau makan apa?" tanyanya.

"Apa aja deh yang seger-seger," jawabku.

Lalu dia kembali diam. Dan setelahnya tak ada percakapan. Memang selalu seperti ini. Hingga akhirnya Ranu mengajakku mampir ke restoran yang menyajikan aneka makanan seafood.

"Ini nggak apa-apa kan?" tanyanya lagi.

Kalau dipikir-pikir kenapa dia musti bertanya padaku kalau mobilnya sudah di parkirkan di sana?

Akhirnya aku menjawab Ranu dengan anggukan. "Iya, nggak apa-apa kok."

Kami pun turun dari mobil. Ranu segera mengunci mobilnya begitu kami turun dari sana. Dia menungguku di depan mobil lalu meraih tanganku untuk digenggamnya masuk menuju restoran.

Jujur, aku agak gimana gitu tanganku digandeng oleh Ranu. Tapi tak enak juga mau menepis tangannya.

Hingga akhirnya kami masuk ke dalam restoran dengan tangan saling menggenggam seolah pasangan beneran dan setelahnya kami makan dengan diam. Malam ini dia memesan Lobster Thermidor sedangkan aku memesan aneka makanan kerang Moules Au Curry.

Setelah hampir tiga puluh menit makan malam kami melanjutkan perjalanan.

Tapi belum ada lima belas menit mobil Ranu turun ke jalan raya aku melihat penjual dimsum di pinggir jalan. Dan sepertinya enak. Akhirnya aku meminta Ranu untuk berhenti mampir membeli dimsum dulu untuk di makan di dalam mobil.

Ranu berdecak melihatku makan di dalam mobilnya. Dia berpesan agar jangan sampai mengotori mobilnya.

"Dasar pelit," gerutuku saat dia mengatakan itu. Dan Ranu hanya berdecak kembali tapi tak lagi bersuara.

Dan saat aku melihat penjual durian di pinggir jalan, aku pun meminta Ranu untuk berhenti kembali. Setelah memilih-milih dan membeli dua buah durian monthong yang besar-besar kami pun melanjutkan perjalanan.

"Kamu ini lagi ngidam apa gimana, Aru. Dari tadi kayaknya apa pun yang kamu lihat semua kamu inginkan," tanya Ranu saat mobil kami sudah tiba di JL. Andara Raya. Tinggal sedikit lagi akan sampai di rumah Ranu.

"Sembarangan," semburku.

Ranu terkekeh.

"Gini-gini aku masih perawan tau."

Dia menoleh padaku. Tapi aku pura-pura tak melihatnya.

"Oh. Syukurlah kalau begitu."

"Dan kalaupun aku hamil. Mau hamil sama siapa coba. Pernikahanku sama Binar saja gagal begitu," celetukku. Dan seketika aku diam karena rasanya aura di mobil ini berubah suram.

Aku menoleh ke arah Ranu yang masih fokus terhadap jalan di depan. Tapi aku tahu wajahnya tak sesantai biasanya. Matanya berkilat marah sedangkan rahangnya terlihat mengeras. Apakah aku salah berbicara?

TBC
*****

Ketika Jodoh Tak Bisa MemilihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang