5.

189 49 1
                                    

*****

RANU BIRU ARYASATYA

Masih teringat jelas bagaimana bayi kecil mungil itu saat baru lahir. Matanya yang mengerjap-ngerjap dan mulutnya yang mencecap-cecap seperti mulut ikan itu terlihat sangat menggemaskan.

Aku memandangi bayi kecil mungil itu dengan perasaan takjub. Bagaimana bisa ada makhluk sekecil ini dan masih hidup? Bergerak-gerak. Tersenyum-senyum dan menangis. Kutoel-toel pipinya yang bulat dan menggemaskan itu, lalu kutaruh telunjukku di tangannya yang seketika ia genggam. Ajaib! Hanya dengan gerakan sekecil itu bisa membuat dadaku rasanya meletup-letup layaknya ada kembang api yang meletus di sana.

"Namanya siapa, Bun?" tanyaku pada Bunda kala itu yang masih terlihat lemah di ranjang pasien.

"Bagusnya dikasih nama siapa, Mas?" tanya Bunda balik.

Aku jelas tak paham ditanya demikian. Apakah maksud Bunda ingin aku yang memberinya nama?

"Jadi belum dikasih nama, Bun?" tanyaku lagi memastikan.

Bunda menggeleng. "Belum, Mas."

"Kenapa?" Aku masih berusaha ingin tahu.

"Karena Bunda belum punya nama. Kan yang ngasih nama Ayah, Mas," jawab Bunda lagi sambil membetulkan selang infusnya. "Kenapa, Mas?"

Aku menggeleng menjawab pertanyaan Bunda. "Nggak apa-apa." Lalu sesaat kemudian aku mencoba menimbang-nimbang sesuatu. "Kalau Mas yang kasih nama boleh nggak, Bun?"

Bunda menatapku heran. Aku mencoba nyengir lucu di depan Bunda. "Memang Mas punya nama?" tanya Bunda.

"Kalau sekarang belum ada, tapi kalau Mas dibolehin ngasih nama Mas akan cari."

Bunda terlihat menimbang-nimbang sejenak, lalu kemudian mengatakan, "Tunggu Ayah dulu ya, Mas. Nanti diputuskan sama-sama sama Ayah."

"Siap, Bun."

******

Dua hari kemudian Bunda dan adik kecil yang belum diberi nama itu akhirnya pulang ke rumah. Jangan ditanya bagaimana bahagianya aku. Aku bahkan ikut menyiapkan box bayinya sendiri bersama Nenek yang saat itu masih hidup. Di rumah juga ada Tante Santi dan Tante Diana, adik Bunda yang datang dari luar kota. Di rumah, mereka sedang ada acara masak-masak yang katanya untuk syukuran memberikan nama untuk adik bayi nanti.

Begitu sampai di rumah, aku menyambut kedatangan mereka. Adik bayi masih sama seperti dua hari yang lalu saat aku menjenguk Bunda di rumah sakit. Kecil. Imut. Menggemaskan. Matanya masih suka terpejam dan sekalinya dia melek hanya akan mengerjap-ngerjap lucu.

Lagi, aku menaruh telunjukku di tangannya agar dia genggam karena rasanya aneh. Seolah dia mengatakan 'Mas, ayo main sama aku.' Ha ha.

"Namanya siapa, Bun?" tanyaku lagi pada Bunda yang sudah terlihat lebih segar dibanding dua hari yang lalu.

"Bunda belum tahu, Mas. Coba tanya Ayah," jawab Bunda setelah mendudukkan dirinya dengan agak kesusahan di ranjang. Agaknya Bunda masih belum sembuh benar setelah melahirkan adik.

"Namanya siapa, Yah?" tanyaku balik pada Ayah. Ayah yang masih memisahkan pakaian kotor di dekat pintu menoleh.

"Katanya Mas yang mau kasih nama buat Adik," kata Ayah.

Aku mengerjap-ngerjap antara merasa senang dan bingung. Senang karena dikasih kesempatan dan bingung kira-kira dia mau aku kasih nama siapa. "Emang boleh, Yah?" tanyaku memastikan.

"Boleh lah. Coba sini Ayah mau tahu nama yang sudah Mas siapkan untuk adik itu siapa?" tanya Ayah lagi sambil berjalan ke arah kami dan duduk di sebelah Bunda di atas ranjang. Aku pun ikut duduk di atas ranjang, dengan tangan yang masih digenggam oleh si adik bayi.

Ketika Jodoh Tak Bisa MemilihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang