19

162 45 0
                                    

*****

Kami tiba di rumah Ranu sekitar pukul sembilan malam. Kurang lebih empat jam perjalanan. Lumayan lama sebenarnya kalau dihitung dari kami mulai berangkat dari rumah Bunda. Bahkan tadi Bunda berkali-kali menelepon menanyakan apakah kami sudah tiba atau belum.

Heran saja aku sama Bunda. Ranu sudah segede ini tapi masih juga diperhatikan sampai seperti itu. Apa mungkin karena Binar meninggalnya karena kecelakaan, jadi Bunda hanya masih parno saja takutnya terjadi apa-apa terhadap kami karena sampai selarut ini baru sampai di tempat tujuan?

Setibanya di rumahnya, Ranu langsung mengeluarkan koper-koperku yang ada di bagasi mobilnya sedangkan aku masih mengamati rumah yang nantinya akan aku tinggali ini.

Rumah itu bermodel Scandinavian yang terlihat modern dan elegan. Bercat putih, berlantai dua dan beratap limas dengan kemiringan kurang lebih 40 derajat. Ini yang sejak tadi menarik perhatianku. Karena model rumah yang seperti ini aku merasa seolah sedang berada di Eropa. Dan karena ini adalah tipe perumahan jadi seluruh unit di sini bentuk bangunannya sama semua.

Aku harus mengingat nomor rumah dan letak rumah Ranu di bagian mana agar nanti tidak salah masuk ke rumah orang. Kan tidak lucu kalau tiba-tiba diteriaki maling sama si pemilik rumah. Meskipun itu tidak mungkin. Karena untuk masuk ke dalam perumahan ini saja prosesnya sangat ribet dan tidak bisa asal keluar masuk sesuka hati. Ada satpam yang bertugas di depan sana, mengawasi dan mengecek tamu-tamu yang keluar masuk perumahan.

"Masuk, Aru."

Aku menoleh ke arah Ranu yang sudah lebih dulu masuk membawa dua koperku. Aku segera mengikutinya masuk ke dalam rumah.

"Welcome. Ini rumah kamu juga sekarang," kata Ranu mirip saat aku pertama kali masuk ke dalam kamarnya tempo hari begitu aku masuk ke dalam rumah.

Kuamati rumah Ranu yang katanya menjadi rumahku juga ini. Rumah ini begitu elegan dan terlihat seperti Ranu sekali. Perpaduan antara putih dan cokelat. Sepertinya Ranu memang menyukai warna itu. Karena di kamarnya pun lebih dominan warna cokelat. Dan rumah ini pun sama.

"Mas Ranu suka warna cokelat ya?" komentarku sembari menyentuh kursi ruang tamu yang berwarna cokelat juga.

Dia menoleh, tidak menjawab secara langsung tapi hanya tersenyum.

"Ada berapa kamar di lantai bawah?" tanyaku lagi.

"Satu untuk kamar tamu. Dan satu kamar pembantu di belakang."

Aku mengangguk dan mengecek kamar-kamar yang ditunjukkan Ranu. Juga sekalian mengecek ruang tengah dan dapur. Meskipun rumah ini tak terlalu luas seperti rumah Bunda tapi isinya lumayan lengkap juga.

"Kamu nggak capek? Perjalanan tadi kan lumayan lama. Kamar kita ada di atas kalau kamu mau istirahat."

Aku yang sedang mengecek isi kulkas mengernyit saat mendengar kata 'kamar kita'. Dan saat aku menoleh ke arah Ranu dia sudah mulai menaiki tangga dan membawa dua koperku juga.

Setelah mengecek isi kulkas yang isinya ternyata penuh aku segera mengikuti Ranu naik ke lantai atas juga.

"Kalau di lantai atas ada berapa kamar, Mas?" tanyaku lagi sembari mengekorinya di belakang.

Ranu terlihat sama sekali tak kesusahan membawa dua koper bersamaan. Apa karena badannya yang besar ya? Ternyata ada untungnya juga mempunyai suami berbadan besar, disuruh membawa barang-barang berat seperti tak terasa baginya.

"Dua."

"Oh."

Akhirnya kami sampai di lantai atas yang memang hanya ada dua kamar yang dipisahkan ruang santai yang lumayan luas. Yang satu agak di belakang. Dan satunya lagi di depan. Dan yang dituju Ranu adalah yang di depan.

Ketika Jodoh Tak Bisa MemilihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang